JAKARTA, KOMPAS — Pengurusan administrasi secara tatap muka di pengadilan perlu dikurangi karena berisiko dimanfaatkan menjadi lahan praktik pungutan liar oleh para petugas pengadilan. Sejumlah 202 dari 277 responden penelitian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia permisif terhadap praktik itu dari lima pengadilan negeri yang ada di Jakarta. Rekomendasi mengubah pengurusan administrasi menjadi daring sebaiknya dipertimbangkan oleh pemerintah.
Muhammad Rizaldi, peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI), mengatakan, dengan jumlah sebanyak itu, dirinya melihat bahwa para responden itu permisif terhadap praktik pungutan liar (pungli). Sikap permisif itu dihasilkan karena mereka menganggap pembayaran pungli sebagai suatu hal yang wajar.
Pembayaran pungli itu diikuti dengan kemudahan pendaftaran perkara karena 67,3 persen responden yang membayar pungli itu tidak mendapatkan hambatan atas proses pendaftaran perkaranya.
Rizaldi menambahkan, mayoritas responden itu membayar pungli saat proses pendaftaran perkara dan mendapatkan salinan putusan. Ia mengindikasikan, pembayaran pungli itu diikuti dengan kemudahan pendaftaran perkara karena 67,3 persen responden yang membayar pungli itu tidak mendapatkan hambatan atas proses pendaftaran perkaranya.
Responden yang dipilih merupakan orang-orang yang menggunakan layanan hukum pengadilan. Mereka terdiri dari advokat, peneliti, mahasiswa, pegawai negeri sipil, konsultan hukum, dan lain-lain. Advokat merupakan responden yang jumlahnya paling banyak dengan persentasi sebesar 61 persen. Alasan dipilihnya advokat sebagai salah satu kelompok responden karena mereka merupakan pihak yang paling sering menggunakan layanan hukum.
Penelitian yang dilakukan MaPPi ini berlangsung dari Februari hingga Agustus. Metode yang digunakan adalah kuesioner. Wawancara kepada para respondennya dilakukan dengan dua cara, yaitu tatap muka dan secara daring.
Besaran pungli bervariasi mulai dari Rp 100.000 hingga lebih dari Rp 1 juta. Untuk mendapatkan salinan putusan, 63 persen dari responden itu ditarik biaya sekitar Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008, pengadilan hanya berhak membebani Rp 300 per halaman untuk tiap salinan putusan. Namun, MaPPi menemukan, dalam praktik yang berlangsung selama ini, kerap kali orang ditarik biaya hingga Rp 500.000 tanpa perincian yang jelas.
Besaran pungli bervariasi mulai dari Rp 100.000 hingga lebih dari Rp 1 juta. Untuk mendapatkan salinan putusan, 63 persen dari responden itu ditarik biaya sekitar Rp 500.000 sampai Rp 1 juta
Ketua Harian MaPPi FH UI Choky Ramadhan mengatakan, seharusnya paling banyak yang dibayarkan untuk sebuah salinan putusan itu hanya Rp 150.000. Ia menganalogikan dengan sebuah kasus yang laporan putusannya menghasilkan 500 halaman.
”Perlu dilakukan pemangkasan rantai birokrasi. Caranya bisa dengan mendigitalisasi proses pengurusan administrasi ini. Tentu saja dengan transparansi supaya biaya yang dikeluarkan selama proses mencari keadilan ini dapat dipantau,” kata Choky dalam peluncuran hasil penelitian MaPPi FH UI, di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (20/11).
Perlu dilakukan pemangkasan rantai birokrasi. Caranya bisa dengan mendigitalisasi proses pengurusan administrasi ini.
”Pengurusan yang tatap muka ini sebaiknya dikurangi. Perasaan-perasaan tidak enak untuk tidak memberikan pungli bisa dihindari. Pengguna layanan hukum juga bisa tidak terintimidasi dengan tidak bertemu langsung karena tidak mendapat paksaan untuk membayarkan pungli,” ujar Choky. Ia mengharapkan Mahkamah Agung (MA) mereformasi aturan terkait dengan salinan putusan karena masih rawan praktik pungli dalam praktik pelaksanaannya. (DD16)