Bandung Paling Tinggi Angka Suap
JAKARTA, KOMPAS — Bandung di Jawa Barat menjadi kota dengan persentase suap paling tinggi dari 12 kota besar yang diukur indeks persepsi korupsinya pada 2017. Biaya suap untuk menjalankan usaha di Kota Bandung mengambil porsi 10,8 persen dari total biaya produksi.
Data mengenai tingginya suap di Kota Bandung itu mengemuka dalam paparan hasil survei indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2017, yang diselenggarakan Transparency International Indonesia (TII) bekerja sama dengan Bappenas dan Kantor Staf Presiden, Rabu (22/11) di Jakarta.
Sebanyak 1.200 responden yang terdiri atas kalangan pengusaha disurvei selama rentang waktu Juni-Agustus 2017 di 12 kota besar, yaitu Jakarta Utara, Pontianak, Pekanbaru, Balikpapan, Banjarmasin, Padang, Manado, Surabaya, Semarang, Bandung, Makassar, dan Medan. Survei dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat korupsi di tingkat kota di Indonesia, terutama di kalangan pengusaha. Survei menyasar lima komponen, yaitu prevalensi korupsi, akuntabilitas publik, motivasi korupsi, dampak korupsi, dan efektivitas pemberantasan korupsi.
Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mengatakan, IPK 2017 yang diluncurkan TII ini berbeda dengan corruption perception index (CPI) yang diluncurkan tahunan secara global oleh Transparency International. IPK secara detil mencatat rerata indeks korupsi di kota-kota besar di Indonesia yang digelar setiap dua tahun sekali. Adapun CPI menunjukkan angka indeks korupsi negara-negara di dunia, termasuk ranking atau posisi Indonesia di antara negara-negara lain di dunia.
"Kami menyadari CPI saja tidak cukup untuk melihat sebenarnya bagaimana indeks korupsi di Indonesia itu secara riil di lapangan. Maka perlu dibuat survei yang secara langsung mengukut rerata indeks korupsi di kota-kota besar di Indonesia secara detil," kata Dadang.
Survei IPK yang dilakukan setiap dua tahunan ini mengambil responden dari kalangan pengusaha untuk melihat relasi antara suap dan korupsi di kalangan usahawan terhadap praktik korupsi di daerah. Sebab, ada kecenderungan korupsi dan suap yang filakukan oleh penyelenggara negara selalu melibatkan kalangan swasta atau pengusaha.
Survei ini menunjukkan, pengusaha perlu menjadi mitra untuk menghapus korupsi, sekaligus menghilangkan stigma pengusaha sebagai pelaku korupsi
"Survei ini menunjukkan bahwa pengusaha perlu menjadi mitra untuk menghapus korupsi, sekaligus menghilangkan stigma pengusaha sebagai pelaku korupsi," kata Dadang.
Kecenderungan suap di kalangan pengusaha masih tinggi. Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan, sebanyak 17 persen pelaku usaha yang disurvei mengakui pernah gagal dalam mendapatkan keuntungan karena pesaing memberikan suap.
Dari 12 kota yang disurvei, Bandung menjadi kota dengan persentase biaya suap tertinggi. Makassar di Sulawesi Selatan menjadi kota dengan persentase biaya suap terendah, yakni 1,8 persen dari total biaya produksi.
Kalangan pengusaha yang disurvei menilai Jakarta Utara adalah kota yang paling bebas korupsi (73,9 poin), diikuti Pontianak (66,5 poin), Pekanbaru (65,5 poin), Balikpapan (64,3), Banjarmasin (63,7 poin), Padang (63,1 poin), Manado (62,8 poin), Surabaya (61,4), Semarang 58,9 poin), Bandung (57,9 poin), Makassar (53,4 persen), dan Medan (37,4 poin). Rerata skor IPK per kota di Indonesia 60,8 poin.
Kecenderungan suap di kalangan pengusaha masih tinggi. Sebanyak 17 persen pelaku usaha yang disurvei mengakui pernah gagal dalam mendapatkan keuntungan karena pesaing memberikan suap.
Wawan mengatakan, dibandingkan dengan survei dua tahun lalu (2015), rerata IPK per kota di Indonesia tahun 2017 naik. Rerata tahun 2015 adalah 54,7 poin dari 11 kota yang disurvei oleh TII.
Wawan mengatakan, temuan paling mengkhawatirkan dalam survei kali ini ialah adanya anggapan bahwa korupsi bukan dianggap sebagai masalah penting (skor 61,5 dari 100). Selain itu, hal lain yang menjadi kendala dalam pemberantasan korupsi di kalangan pengusaha ialah adanya anggapan bahwa korupsi diboarkan (58,7 poin), bukan masalah prioritas (57,8 poin), dianggap kebiasaan (53,9 poin), dan tidak dipidanakan dengan tegas (45,8 poin).
Diani Sadiawanti, staf ahli Menteri PPN bidang hubungan Kelembagaan Bappenas, mengatakan hasil survei yang dilakukan oleh TII itu diharapkan bisa menjadi masukan bagi pemerintah pusat untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi (PPK) di daerah. Selama ini upaya kerja sama juga terus dilakukan antara Bappenas dengan KSP dan KPK untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di daerah melalui suatu kesekretariatan bersama (Seknas bersama) antikorupsi.
"Kementerian Dalam Negeri perlu dilibatkan untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," kata Diani.
Bimo Wijoyanto dari KSP mengatakan, IPK per kota ini akan didorong supaya menjadi indeks nasional sebagai bentuk implementasi dari Inpres Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK).
"Presiden berkomitmen pada pemberantasan korupsi. Inpres itu perlu diterjemahkan dalam aksi-aksi riil, termasuk dengan mengukur sejauhmana indeks korupsi nasional," ujarnya.
Penasihat KPK Mohammad Tsani yang hadir mewakili Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, korupsi merupakan suatu kejahatan yanh terorganisir, sehingga persekongkolan hampir selalu terjadi. Upaya pemberantasan korupsi pum harus dimulai dari pemerintah daerah atau unit terkecil dari pemerintahan.