Ratusan peserta terpaku ke arah panggung. Mereka mendengar dengan saksama. Sutradara ternama Nia Dinata semangat menceritakan masa kecilnya. Bagaimana ia bertumbuh mewujudkan mimpi menjadi perempuan yang bebas mengekspresikan diri dalam industri kreatif. ”Nurani kuncinya,” ujarnya.
”Coba bayangkan, saya tinggal di Jeddah, Arab Saudi, tahun 1976. Untuk ke pasar saja harus menutup diri, sampai terlihat mata saja,” kata Nia saat wawancara seusai acara diskusi Kejar Mimpi, Rabu (22/11), di Museum Nasional, Jakarta Pusat.
Keinginannya berekspresi pun menyeruak, lagi-lagi karena Jeddah. Ketika itu, saat Nia berusia 6 tahun, adiknya yang masih dalam kandungan meninggal karena ibunya tidak boleh mengendarai mobil.
Ibu Nia yang saat itu hamil delapan bulan harus menyetir sendiri ke rumah sakit. Namun, mobil itu ditilang polisi. Karena terlalu lama mendapat penanganan medis, janin itu gugur.
Pengalaman di negeri orang itu menjadi guncangan pada nurani sutradara film Arisan ini. ”Sejak itu, mimpi saya adalah bisa mengekspresikan diri,” ucapnya.
Ekspresi dalam karya
Menurut Nia, lewat film, seorang sutradara mampu memancing empati peserta. Bisa jadi menangis, marah, bahkan bahagia. Dari celah emosi itu, Nia bisa menawarkan penggambaran situasi sosial yang tidak dilihat penonton sebelumnya.
Contohnya, film An Inconvenient Truth. Kisah yang diangkat adalah tentang perubahan iklim karena perilaku manusia. Film itu menyadarkan orang-orang bahwa penting untuk sadar pada lingkungan sekitar. ”Habis nonton itu, mau pakai tisu saja jadi takut,” lanjut Nia, diikuti anggukan peserta.
Kekuatan film itu yang membuat sutradara bernama asli Nurkurniati Aisyah Dewi berubah haluan. Dulunya, ia mengambil kuliah jurnalistik di Amerika Serikat. Nia baru sadar pengaruh besar film saat bertemu teman sekamarnya yang berasal dari Italia. Francesca Romana, yang kuliah di jurusan film, membuat Nia tertarik akan dunia itu.
Dari cerita Romana, Nia pun menyelesaikan kuliah jurnalistiknya. Baru setelah itu, dia menyeriusi dunia perfilman. Nia menilai, kekuatan film lebih besar daripada jurnalistik. Sebab, film dibuat dengan riset mendalam dan mencerminkan keadaan asli sebuah peristiwa. Terlebih, karya yang dia buat tidak lekang dimakan zaman.
Berbagi Suami adalah salah satu film terbaik yang pernah dibuat Nia. Film layar lebar yang tayang pada 2006 itu menceritakan kisah istri-istri yang dipoligami. Meski tabu saat itu, Nia berani berekspresi karena itu adalah tujuannya menjadi sutradara, untuk menerjemahkan kegelisahan.
Dengar nurani
Pada acara itu, hadir juga penggagas gerakan sosial Kejar Mimpi, artis cantik Maudy Ayunda. Ia mengatakan, nurani adalah yang pertama kali harus didengar.
Saat Maudy lulus kuliah di luar negeri, orang di sekitarnya banyak beropini. Ada yang menyuruh Maudy bekerja saja di perusahaan besar karena memiliki gelar sarjana. Ada pula yang menyesalkan keputusannya keluar sejenak dari dunia hiburan.
Tidak selalu melalui politik. Dengan menulis lagu di musik, bisa juga berpengaruh.
Namun, Maudy yakin, dengan musik, mimpinya sejak kecil untuk memberi pengaruh kepada banyak orang bisa diwujudkan. ”Tidak selalu melalui politik. Dengan menulis lagu di musik, bisa juga berpengaruh,” katanya.
Salah satu peserta, Rizki (26), yang berasal dari Banda Aceh, sengaja mengikuti acara ini. Ia ingin mencari nuraninya yang hilang saat bekerja di sebuah bank nasional. Ia merasa pekerjaannya hanya untuk uang dan tidak memberi efek kepada orang lain.
Untuk itu, belum lama ini Rizki berhenti. Ia ingin mengejar mimpinya yang baru di Jakarta. ”Saya ingin di industri kreatif, berakting. Atau, kalau tidak mungkin, jadi guru,” lanjutnya.
Sekitar 150 orang hadir dalam acara tersebut, mulai dari anak sekolah sampai yang sudah bekerja. Mereka duduk rapi dan menyaksikan diskusi Kejar Mimpi. Tujuannya, agar bisa mengikuti jejak Nia dan Maudy.
Nia berpesan kepada ratusan pemimpi itu, nurani merupakan hal yang utama. Mimpi akan selalu berubah. Saat sekolah mau jadi ini, kerja mau ini. Ikuti nurani saja, lanjutnya, kalau yakin, kejarlah. (DD06)