Utang Besar, Penerimaan Pajak Tak Optimal untuk Kesejahteraan
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan pajak untuk program pembangunan dan kesejahteraan rakyat dinilai belum optimal. Sebab, pemerintah juga harus mengalokasikan sebagian penerimaan pajak untuk membayar utang, yang tiap tahun nilainya terus membengkak.
”Penerimaan pajak seharusnya digunakan untuk program-program pembangunan, bukan untuk membayar utang pemerintah,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda dalam acara bincang-bincang yang diadakan Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia, Kamis (23/11), di Jakarta.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pemerintah pusat per September 2017 sebesar Rp 850,7 triliun. Pada periode yang sama, pemerintah membayar kewajiban utang senilai Rp 172,8 triliun. Ini berarti 20,3 persen penerimaan pajak harus digunakan untuk membayar utang.
Kewajiban utang yang harus dibayar pemerintah cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada 2013, anggaran APBN yang dialokasikan untuk pembayaran utang sebesar Rp 113 triliun. Namun, pada 2018, berdasarkan RAPBN 2018, alokasi anggaran untuk membayar bunga utang mencapai Rp 247,6 triliun atau tumbuh 119 persen dibandingkan tahun 2013.
Pada periode yang sama, pemerintah membayar kewajiban utang senilai Rp 172,8 triliun. Ini berarti 20,3 persen penerimaan pajak harus digunakan untuk membayar utang.
Sementara pada periode yang sama, penerimaan negara hanya tumbuh 30,5 persen dari Rp 1.439 triliun pada 2013 menjadi Rp 1.878 triliun berdasarkan RAPBN 2018.
Pembayaran kewajiban utang yang terus membengkak terjadi karena utang baru yang ditarik pemerintah dalam tiga tahun cukup besar. Pada 2015, pemerintah berutang Rp 318,1 triliun. Selanjutnya pada 2016, pemerintah menambah utang Rp 331 triliun. Pada 2017, utang baru pemerintah akan bertambah lagi menjadi Rp 451,7 triliun.
Jika anggaran utang tersebut terealisasi, pada akhir 2017, outstanding utang pemerintah akan mencapai Rp 3.962,86 triliun. Hingga akhir Mei 2017, utang pemerintah telah mencapai Rp 3.672,33 triliun. Rinciannya Rp 2.163,55 triliun dalam denominasi rupiah dan Rp 780,18 triliun dalam valuta asing (valas).
Pembayaran kewajiban utang yang terus membengkak terjadi karena utang baru yang ditarik pemerintah dalam tiga tahun cukup besar.
Dengan demikian, dalam kurun 2015 sampai saat ini, pemerintahan Jokowi telah menambah utang baru senilai Rp Rp 1.063,55 triliun. Penambahan utang selama kurang lebih 2,5 tahun tersebut sudah lebih besar dibandingkan penambahan utang selama periode 2010-2014 yang sebesar Rp 932 triliun. Utang yang cukup besar itu digunakan pemerintah untuk membangun infrastruktur secara besar-besaran di Tanah Air.
Menurut Candra, penggunaan penerimaan pajak untuk membayar kewajiban utang seharusnya jangan terlalu besar. Jika terlalu besar, alokasi untuk program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat menjadi tidak optimal.
”Pajak dibayarkan masyarakat secara langsung. Karena itu, pemerintah sebaiknya juga langsung menggunakan pajak untuk program-program yang menyejahterakan masyarakat, contohnya di bidang kesehatan, pendidikan, dan sosial,” tutur Candra.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irwadi menambahkan, pemerintah sekarang seharusnya belajar dari pemerintahan sebelumnya soal pengelolaan anggaran. Menurut Didi, pemerintahan sebelumnya mampu menyeimbangkan pembayaran kewajiban utang dan program pembangunan. (DD09)