Cirebon dan Ambisinya Menjadi Kota Cerdas
Kota Cirebon, Jawa Barat, di usianya yang mencapai 648 tahun berambisi menjadi kota cerdas. Aneka program yang mengandalkan teknologi informasi pun disiapkan dengan janji pelayanan publik lebih baik. Namun, infrastruktur mendasar, seperti jalan dan sarana transportasi, masih menjadi kendala.
Pemerintah Kota Cirebon belakangan gencar menyosialisasikan aneka program menuju kota cerdas (smart city) di media, kampus, dan pemerintah pusat. Hari Rabu (22/11), di Universitas Swadaya Gunung Jati, Kota Crebon, misalnya, pemkot memaparkan rencananya menuju kota cerdas.
Turut hadir sebagai pembicara Kepala Dinas Komunikasi Informasi dan Statistik Kota Cirebon yang juga ketua tim pelaksana Cirebon menuju kota cerdas Iing Daiman, Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Cirebon Gunawan, dan Martinus Agus dari Unswagati Cirebon.
Menurut Iing, Cirebon termasuk 25 kota pilihan dalam skala nasional yang menuju kota cerdas. Pemkot Cirebon juga menandatangani 17 nota kesepahaman dengan sejumlah instansi, badan usaha milik negara (BUMN), perguruan tinggi, dan pihak swasta. Nota kesepahaman itu mendukung Kota Cirebon sebagai kota cerdas.
Pemkot saat ini menyiapkan 12 program kota cerdas yang berbasis kearifan lokal. Makna kearifan lokal terletak antara lain pada penamaan program yang menggunakan bahasa dan budaya setempat.
Program tersebut antara lain Cirebon Jeh (jaringan edukasi hukum), Cirebon Lengko (layanan elektronik kesehatan online), dan Cirebon Brojol Aja Klalen (pembuatan akta kelahiran melalui daring). Ada juga Cirebon Tangi (layanan pengaduan warga dalam jaringan) yang dapat digunakan untuk mengecek sekaligus memesan ruangan di rumah sakit. Program ini akan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ini.
Pendanaan program kota cerdas ini bersumber dari dana tanggung jawab sosial perusahaan dan APBD Kota Cirebon sebesar Rp 2,6 miliar.
Untuk mewujudkan kota cerdas, jaringan internet gratis akan dipasang di 12 rukun warga dan ruang publik, seperti Taman Krucuk. Setiap kelurahan juga bakal mendapatkan komputer agar pelayanan publik lebih mudah, seperti pendaftaran puskesmas secara daring.
Begitu pun pembuatan dokumen kependudukan, seperti akta kelahiran. Data tersebut terhubung ke pusat komando (command center) di Gedung Sekretariat Daerah Kota Cirebon. Gedung yang menelan biaya lebih dari Rp 80 miliar itu saat ini masih dalam tahap kontruksi.
Adapun pendanaan program kota cerdas ini bersumber dari dana tanggung jawab sosial perusahaan dan APBD Kota Cirebon sebesar Rp 2,6 miliar. ”Kami tidak membuat aplikasi lagi karena Cirebon sudah mendapat hibah sekitar 300 aplikasi dari Pemkot Bandung,” ujar Iing yang optimistis program kota cerdas terwujud di Cirebon.
Kendala
Di balik ambisi menuju kota cerdas, infrastruktur dasar, seperti jalan dan sarana transportasi, saat ini cukup memprihatinkan. Gunawan mengakui, sejumlah ruas jalan masih tergolong jelek untuk arus lalu lintas saat jam padat seperti pagi dan sore hari.
Setidaknya ada 10 ruas jalan yang masuk kategori itu. Bahkan, di Jalan Karanggetas, kecepatan hanya 7 kilometer per jam. Ini sudah tergolong jelek.
Arus lalu lintas yang tidak sesuai standar antara lain volume beban jalan mencapai lebih dari 0,8 poin dan rata-rata kecepatan kurang dari 40 kilometer per jam. ”Setidaknya ada 10 ruas jalan yang masuk kategori itu. Bahkan, di Jalan Karanggetas, kecepatan hanya 7 kilometer per jam. Ini sudah tergolong jelek. Nilai rapornya E,” ujar Gunawan.
Kondisi bisa lebih buruk ketika hujan turun. Ruas Jalan Cipto Mangunkusumo, yang dipadati hotel, mal, dan rumah toko, misalnya, ketinggian air bisa mencapai lebih dari 20 sentimeter kala hujan deras.
Saluran pembuangan berukuran beberapa sentimeter di daerah itu tak berdaya di antara bangunan vertikal setinggi belasan meter. Lubang jalan juga perlahan menjamur ketika musim hujan.
Kota Cirebon Dalam Angka 2017 menunjukkan, pada 2015, panjang jalan di Kota Cirebon tercatat 193.911 kilometer. Namun, 79.231 kilometer dalam keadaan rusak sedang dan berat. Artinya, hampir 40 persen jalan di Kota Cirebon rusak.
Memang, sejumlah ruas jalan sudah dibeton, tetapi tambalan jalan juga mulai menganga seiring musim hujan. Kemacetan pun masih menjadi langganan sekitar 310.000 warga kota.
Belum lagi, kendaraan pribadi yang parkir seenaknya di bahu jalan seperti di Jalan Cipto, Jalan Wahidin, dan Jalan Kartini. Kondisi semakin semrawut ketika angkutan umum ngetem tiba-tiba. Angkutan berbasis daring juga menjamur. Meski sudah ada titik penjemputan khusus penumpang angkutan daring, kemacetan belum terlihat berkurang.
Sebenarnya, dishub sudah menerapkan sistem pemantauan lalu lintas melalui (area traffict control system/ATCS). Sistem tersebut diterapkan dengan memasang kamera pemantau di simpang jalan yang langsung terhubung dengan aplikasi khusus di dishub setempat. Ketika terjadi kepadatan, petugas langsung mengetahuinya dan dapat bertindak langsung ke lokasi atau mengatur waktu lampu lalu lintas.
Problem utama ialah belum adanya transportasi massal yang memadai.
Sejak diterapkan pada 2012, kini delapan simpang di Kota Cirebon masuk dalam ATCS. Untuk menerapkan sistem itu, dibutuhkan biaya hampir Rp 800 miliar. Namun, kata Gunawan, ATCS tidak serta-merta menyelesaikan persoalan transportasi di kota seluas 37 kilometer persegi itu.
Menurut dia, problem utama ialah belum adanya transportasi massal yang memadai, seperti bus. Apalagi, letak Cirebon di antara Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Kuningan membuat moda antarkota dan kabupaten sangat dibutuhkan.
Selama ini, terdapat mobil elf yang melayani rute itu. Namun, karena polanya masih menunggu penumpang dan mengejar setoran, layanannya belum memadai, seperti berangkat jika penumpang sudah penuh.
”Untuk mewujudkan ini, Pemerintah Provinsi Jabar yang berwenang. Kami sudah beberapa kali menyampaikannya, tetapi belum ada kepastian,” ujarnya.
Padahal, kepadatan di ”Kota Wali” diperkirakan semakin bertambah seiring dengan pengoperasian Bandara Internasional Jawa Barat di Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, lebih dari 50 kilometer dari Cirebon. ”Saat Jalan Tol Cikopo-Palimanan beroperasi pada 2015, Cirebon semakin macet, utamanya akhir pekan,” ujar Gunawan.
Martinus Agus menilai, berbagai program Pemkot Cirebon untuk menuju kota cerdas seharusnya menekankan pada pelayanan publik. Selama ini, infrastruktur mendasar, seperti jalan dan transportasi, lanjutnya, belum sepenuhnya terpenuhi.
Trotoar, misalnya, kerap diokupasi oleh pedagang kaki lima. Jangankan dilalui difabel, untuk warga biasa pun sulit melintasi trotoar yang berlubang, seperti di depan Gedung Negara, Jalan Siliwangi.
”Yang terpenting, untuk menuju kota cerdas, warga perlu beradaptasi. Caranya, infrastrukturnya dibangun,” ujarnya.
Syarif Arifin dari Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kota Cirebon mengatakan, selain kemacetan, Kota Cirebon juga menghadapi masalah ketersediaan air bersih dan kemiskinan.
Penduduk miskin masih tercatat berkisar 109.000 jiwa. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 102.702 jiwa.
Bahkan, jumlah tersebut sekitar sepertiga dari total penduduk Kota Cirebon tahun 2016, yakni 310.490 jiwa. Warga digolongkan miskin berdasarkan indikator, antara lain, penghasilan yang hanya Rp 600.000 per bulan, pengangguran, dan luasan tempat tinggal hanya sekitar 8 meter persegi.
Ini ironi dengan arus investasi yang masuk ke Cirebon. Investasi yang masuk hingga semester III tahun ini mencapai lebih dari Rp 1,6 triliun. Jumlah ini melebihi capaian investasi tahun lalu, yakni Rp 1,3 triliun. Angka ini juga melonjak dibandingkan total investasi pada 2014, yakni Rp 785 miliar.
Ambisi Pemkot Cirebon untuk menuju kota cerdas harus diapresiasi. Apa pun itu, semua harus bermuara pada pelayanan publik yang baik. Jangan sampai ambisi itu hanya sebatas sosialisasi bukan implementasi. Usia Cirebon sudah lebih dari 6 abad. Jangan sampai kota ini salah urus di usia senja.