Golkar seperti Menggali Kuburannya Sendiri
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Partai Golkar yang mempertahankan Setya Novanto duduk di kursi Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dinilai merugikan Partai Golkar sebagai sebuah organisasi. Masyarakat akan melihat Golkar sebagai partai politik yang lekat dengan kasus korupsi.
Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi menegaskan hal itu dalam acara diskusi ”Kontestasi Ketum Golkar dan Reposisi Pimpinan DPR” yang diselenggarakan PARA Syndicate di kantornya, Jakarta, Jumat (24/11). Turut hadir sebagai pembicara Bupati Purwakarta yang juga Ketua DPD I Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, Sekretaris Jenderal DPP Golkar 1983-1988 Sarwono Kusumaatmadja, dan Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo.
”Keputusan Golkar untuk mempertahankan Novanto sebagai Ketua Umum dan Ketua DPR hingga keputusan praperadilan yang diajukan Novanto itu seperti Golkar menggali kuburannya sendiri,” ujar Kristiadi.
Keputusan Golkar untuk mempertahankan Novanto sebagai Ketua Umum dan Ketua DPR hingga keputusan praperadilan yang diajukan Novanto itu seperti Golkar menggali kuburannya sendiri.
Sebelumnya, rapat pleno DPP Partai Golkar yang digelar selama delapan jam di Kantor DPP Golkar, Selasa (21/11), memutuskan posisi Novanto aman sampai diperoleh hasil praperadilan yang diajukan pengacaranya. Apabila Novanto menang di praperadilan, posisinya akan aman di Golkar. Namun, jika putusan praperadilan memenangkan KPK, DPP Partai Golkar akan segera menggelar musyarawarah nasional luar biasa untuk mengganti Novanto sebagai ketua umum.
Menurut Kristiadi, perilaku Golkar yang masih mempertahankan Novanto dapat mencerminkan citra semua partai politik yang tidak menjalankan fungsinya secara murni dan konsekuen. Ia menilai, partai sebagai institusi demokrasi hanya digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan, tetapi tidak dapat berpihak kepada kepentingan rakyat. Padahal, menurut dia, masyarakat sebagai pemilih partai merupakan pihak yang lebih berdaulat terkait masa depan partai.
”Jika hal ini terus dipertahankan, institusi demokrasi yang berkinerja buruk, baik partai maupun DPR, maka negara kesepakatan ini akan terancam. Mereka yang tidak sepakat dengan Pancasila akan menawarkan alternatif baru selain negara republik yang becermin dari institusi demokrasi kita yang saat ini buruk,” tutur Kristiadi.
Kristiadi berharap, berbagai institusi demokrasi dapat memperbaiki diri, khususnya partai politik. Sejumlah figur muda yang memiliki integritas dapat diajak bekerja sama untuk berpolitik.
Sementara itu, Sarwono Kusumaatmadja menilai, keberadaan Novanto merupakan cerminan elite politik di Indonesia yang cenderung korup. Bahkan, menurut dia, bertahannya Novanto di posisi Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR didukung oleh banyak pihak, yaitu pihak di elite Partai Golkar dan perwakilan partai politik lain di DPR.
”Misalnya saja Panitia Angket KPK di DPR. ”Kucing” pun tahu, itu ada kaitannya dengan pengusutan kasus korupsi proyek KTP elektronik. Lihat partai yang mendukung. Akan tetapi, bukan jaminan partai yang tidak mendukung angket juga partai yang bersih di kasus itu,” ujar Sarwono.
Saat ini momentum untuk melakukan perubahan kepemimpinan. Siapa pun pemimpin baru Golkar nantinya, itu akan lebih baik daripada Setya Novanto.
Sarwono menyebutkan, masalah yang menimpa Golkar saat ini merupakan momentum untuk melakukan perubahan kepemimpinan. ”Siapa pun pemimpin baru Golkar nantinya, itu akan lebih baik daripada Setnov (Setya Novanto),” ujarnya.
”Suara hati partai harus didengar. Partai harus melakukan perubahan. Jika tidak, Partai Golkar akan mengalami penurunan jumlah kursi di DPR,” ucap Dedi.
Menurut Dedi, keputusan Partai Golkar untuk mendukung kepemimpinan Presiden Joko Widodo harus diikuti seluruh pimpinan dan kader partai. Semua bagian Partai Golkar harus mengikuti gaya kepemimpinan Joko Widodo. Semua kader Golkar harus berperilaku seperti Joko Widodo, yang selalu turun ke masyarakat mendengarkan keresahan masyarakat dan bekerja demi rakyat.
”Mendukung Joko Widodo tidak cukup dengan menempelkan foto Joko Widodo di setiap poster Golkar, tetapi juga ikuti perilaku kepemimpinannya,” lanjut Dedi.
Mendukung Joko Widodo tidak cukup dengan menempelkan foto Joko Widodo di setiap poster Golkar, tetapi juga ikuti perilaku kepemimpinannya.
Dedi terus mengupayakan adanya perubahan struktur kepemimpinan dan budaya Partai Golkar dalam hal kandidasi politik. Dedi mengakui, lebih dari 20 DPD menginginkan adanya perubahan struktur kepemimpinan Golkar melalui munaslub. Sebelumnya, Dedi dan beberapa unsur pimpinan DPD Golkar telah bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait permasalahan yang menimpa Golkar. Dari pertemuan itu, semuanya sepakat agar terjadi perubahan struktur kepemimpinan di tubuh Golkar.
”Sebelum langkah konstitusi partai diambil (mekanisme munaslub melalui permintaan 2/3 DPD Golkar), kami mengharapkan DPP Partai Golkar dan DPD duduk bersama terlebih dahulu untuk membicarakan terkait pembaruan Partai Golkar,” kata Dedi.
Ikuti hasil rapat pleno
Secara terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham menyampaikan, semua pihak harus menerima keputusan rapat pleno yang telah digelar DPP Partai Golkar. Menurut dia, rapat tersebut telah berjalan dengan demokratis. Keputusan yang diambil rapat itu pun dinilainya mengedepankan soliditas Partai Golkar.
”Rapat pleno yang telah digelar sudah sangat konstitusional dan demokratis. Harusnya semua pihak dapat memahami dan menerima keputusan tersebut,” ujar Idrus di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Jumat.
Idrus menampik adanya desakan dari beberapa DPD Partai Golkar untuk segera menyelenggarakan munaslub. Ia mengatakan akan mengundang semua ketua DPD esok hari untuk membicarakan terkait kondisi Golkar saat ini, termasuk hasil rapat pleno Partai Golkar.
Mana ada yang meminta munaslub? Lihat besok saja ya, kami undang 34 ketua DPD dan kami harap tidak diwakilkan. Kami akan bertemu untuk duduk bersama membahas konsolidasi Partai Golkar.
”Mana ada yang meminta munaslub? Lihat besok saja ya, kami undang 34 ketua DPD dan kami harap tidak diwakilkan. Kami akan bertemu untuk duduk bersama membahas konsolidasi Partai Golkar,” kata Idrus.
Ia telah menemui para senior di Partai Golkar, seperti Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. ”Saya kemarin siang juga sudah ketemu dengan Pak JK (Jusuf Kalla). Tidak ada perbincangan terkait perubahan kepemimpinan. Kami bicara terkait konsolidasi partai,” lanjut Idrus.
Ihwal undangan DPP Partai Golkar kepada pimpinan DPD, Dedi Mulyadi selaku Ketua DPD I Partai Golkar mengaku belum menerima undangan tersebut. Meski demikian, Dedi menyambut positif langkah yang diambil DPP Partai Golkar untuk bertemu bersama pimpinan DPD.
”Pertemuan dan musyawarah itu yang justru saya tunggu-tunggu. Saya senang sekali mendengarnya,” kata Dedi.
Ubah UU MD3
Adapun Ari Nurcahyo menilai, polemik kasus hukum yang menjerat Novanto dapat dijadikan batu pijakan bagi DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Menurut Ari, UU MD3 dijadikan alasan untuk mempertahankan Novanto sebagai Ketua DPR.
”Ketentuan di undang-undang tersebut, yaitu pergantian ketua yang didasarkan masalah hukum harus berdasarkan keputusan hukum yang inkrah (bersifat tetap). Ini harus diubah agar kejadian seperti ini tidak terulang ke depan,” ujar Ari.
Terkait pengganti Novanto di kursi Ketua DPR, Ari menilai, apabila revisi UU MD3 dapat dilakukan segera, PDI-P dapat mengisi posisi tersebut. Hal itu karena posisi PDI-P sebagai partai pemenang pemilu.
Sosok Airlangga Hartarto paling relevan untuk dipilih. Airlangga menempati posisi teratas dengan 36 persen, diikuti Dedi Mulyadi dengan 29 persen.
Sementara itu, untuk pengganti Novanto di posisi Ketua Umum Partai Golkar, ia menilai sosok Airlangga Hartarto paling relevan untuk dipilih.
”Dari jajak pendapat secara online yang dilakukan oleh kami sejak Rabu hingga Jumat, Airlangga Hartarto menempati posisi teratas dengan 36 persen, diikuti Dedi Mulyadi dengan 29 persen. Saya menilai, Airlangga Hartarto wajar jadi pilihan publik karena ia sosok yang dinilai muda dan juga dekat dengan Presiden karena ia juga sebagai Menteri Perindustrian,” tutur Ari. (DD14)