Komodo sebagai Hadiah untuk Negara Sahabat
Sepasang komodo dikirimkan ke Malaysia untuk mengganti komodo yang sudah lebih dulu dikirimkan ke negara tersebut, tetapi mati. Menurut Ketua Perhimpunan Kebun Binatang Indonesia, Harsono RM, sepasang komodo yang dikirimkan tersebut belum setahun usianya dan dianggap sebagai saat terbaik untuk pemindahannya ke lingkungan baru.
Sebelumnya, tanggal 14 Oktober 1976 sepasang komodo juga dikirimkan ke Muangthai (kini Thailand), dan ditempatkan di Dusit Zoo, Bangkok. Mengutip koran Bangkok Post disebutkan bahwa kedua komodo itu tidak mau makan. Pihak kebun binatang tengah berusaha mencarikan makanan yang cocok untuk kedua komodo tersebut, yakni daging rusa dan daging babi hutan.
Komodo lain yang dihadiahkan kepada negara sahabat, yakni Swiss, bertahan hidup. Komodo itu merupakan hasil pengembangbiakan komodo di Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta.
Berita dengan judul ”Sepasang Komodo Dikirim ke Malaysia” itu dimuat Kompas yang terbit tanggal 24 November 1976, atau tepat 41 tahun lalu.
Hewan langka komodo (Varanus komodoensis) diyakini telah ada di tanah Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak jutaan tahun lalu. Inilah habitat asli komodo satu-satunya di dunia yang tetap bertahan. Penduduk setempat menyebut satwa itu ora. Mengutip Craig Jung dalam artikel ”The Biogeography of the Komodo Dragon” disebutkan bahwa komodo adalah reptil karnivora terbesar yang diperkirakan berasal dari era dinosaurus.
Komodo tiba di Pulau Flores, Rinca, dan Giling Motang, NTT, sekitar 10.000 tahun lalu (Kompas, 2 Februari 2011). Soeparmi Surahya, seorang ahli komodo dan mantan dosen Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada, yang melakukan penelitian pada 1977-1989 memberi nama komodo Mosasaurus komodoensis, bukan Varanus komodoensis.
”Terjadi kesalahan konvergensi. Komodo memang mirip biawak, tetapi bukan termasuk genus Varanus,” kata Soeparmi yang hasil studinya dipublikasikan dalam buku Komodo: Studi Anatomi dan Kedudukannya dalam Sistematik Hewan (Kompas, 4 Februari 2011).
Komodo tak hanya menarik untuk kajian ilmiah, tetapi juga berperan penting dalam percaturan politik dan persahabatan antarbangsa. Presiden Soeharto menjadikan komodo sebagai salah satu tanda persahabatan Indonesia dengan bangsa lain. Sebagai satwa langka, hadiah komodo untuk bangsa sahabat sungguh berarti.
Kompas, 28 Oktober 1970, mencatat salah satu penerima hadiah komodo dari Pemerintah Indonesia adalah Amerika Serikat (AS). Komodo dari Kebun Binatang (KB) Surabaya itu ”ditukar” dengan sepasang angsa amerika. Kemudian, pada 1975, sepasang komodo diberikan kepada Singapura dan ditempatkan di Singapore Zoological Gardens.
”Pasangan komodo berumur sekitar satu tahun itu ditangkap bulan lalu bersama 9 pasangan muda lainnya. Ini untuk dihadiahkan kepada negara-negara sahabat. Penangkapan hewan langka dan dilindungi itu atas izin Presiden, berdasarkan petunjuk adanya ’kelebihan penduduk’,” demikian dicatat Kompas, 15 Agustus 1975.
Tahun berikutnya, 1976, sepasang komodo hadiah untuk Thailand diterbangkan ke Bangkok. Komodo berusia sekitar dua tahun dengan panjang 1,25 meter dan berat masing-masing 7 kilogram itu berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma (Kompas, 15 Oktober 1976).
Jepang juga mendapat hadiah sepasang komodo sebagai tanda persahabatan tahun 1977. Agar mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, komodo yang diberikan kepada Jepang berusia dua tahun dengan badan sepanjang 1,5 meter (Kompas, 18 April 1977).
Sebelum menjadi penghuni KB Ueno, Tokyo, kedua komodo tersebut dibawa ke beberapa kota di Jepang untuk memudahkan warga yang ingin melihat langsung hewan purba tersebut. Sepasang komodo itu pun terbang ke Osaka, Nagoya, Kyushu, Sapporo, dan Sendai.
Tahun 1983, saat Presiden AS Ronald Reagan berkunjung ke Indonesia, Presiden Soeharto kembali memberi hadiah komodo (Kompas, 23 Agustus 1983). Setahun sebelumnya, sepasang komodo juga dikirim ke Madrid, Spanyol, sebagai tanda persahabatan.
Menjadikan komodo sebagai hadiah kembali dilakukan tahun 2012 (Kompas, 8 Oktober 2012). Kali ini sepasang komodo diserahkan kepada Pemerintah China. Sebagai gantinya, Indonesia mendapat sepasang panda (Ailuropoda melanoleuca).
Tidak bertahan
Namun, tak semua komodo mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Komodo yang dipelihara di Washington, AS, dan Kuala Lumpur, Malaysia, misalnya, semuanya mati. Nasib serupa menimpa komodo betina di Singapura (Kompas, 15 Oktober 1976).
Kondisi tersebut memunculkan perdebatan tentang perlu tidaknya komodo dihadiahkan kepada negara-negara sahabat. Pertimbangan lain adalah fakta bahwa komodo termasuk hewan dunia yang dilindungi dan hanya terdapat di Indonesia. Jumlah komodo di habitat aslinya pada 1975 sekitar 5.000 ekor.
”Binatang ini telah masuk ’buku hitam’ Badan Perlindungan Alam Internasional (International Union for Conservation of Nature). Artinya, termasuk binatang yang sudah berada di ambang kemusnahan,” demikian ditulis Kompas, 23 Oktober 1976.
Populasi komodo relatif stabil, antara lain, karena tak termasuk hewan yang sering diburu manusia. Satwa berbadan besar dengan kulit bersisik kasar ini panjangnya bisa mencapai 5 meter, dengan berat badan 110 kilogram. Hewan bergigi runcing dan berlidah panjang menjulur itu bisa hidup sampai 40 tahun.
Di habitat aslinya, di Pulau Komodo yang luasnya sekitar 600 kilometer persegi, komodo memangsa babi, kerbau liar, rusa, monyet, juga sesama komodo. Di Pulau Rinca, kadang komodo pun memangsa kambing dan ayam peliharaan warga setempat (Kompas, 23 Agustus 1983).
Keberadaan komodo diketahui pada 1912 saat seorang pilot Belanda melakukan pendaratan darurat di tempat yang kemudian diketahui bernama Pulau Komodo (Kompas, 13 Maret 1983). Mayor PA Ouwens, Direktur Kebun Raya Buitenzorg Bogor, kemudian melakukan ekspedisi dan membawa beberapa komodo ke Pulau Jawa untuk diteliti.
Komodo suka bersembunyi di lubang di dalam tanah. Hewan ini bisa bersembunyi sampai sekitar satu bulan tanpa makan sekalipun (Kompas, 17 Juni 1983). Di KB Gembira Loka Yogyakarta, seekor komodo betina mati tertimbun tanah di dalam lubang galiannya sendiri.
Selain di habitat aslinya, komodo juga dipelihara dan mampu bertahan antara lain di KB Surabaya, KB Gembira Loka Yogyakarta, dan KB Ragunan Jakarta. Di KB Ragunan, misalnya, terdapat tiga komodo, seekor berusia 25 tahun, dan dua lainnya sekitar 5 tahun (Kompas, 23 Agustus 1983).
Tahun 1976, sebanyak 20 pasang komodo ditangkap, lalu dipindahkan ke KB Surabaya. Satwa tersebut untuk sementara dititipkan di KB Surabaya sebelum diterbangkan ke negara sahabat. Kompas, 15 Oktober 1976, mencatat, dari jumlah tersebut, tinggal tujuh pasang komodo yang masih menghuni KB Surabaya.
Penangkaran
Tahun 1975, jumlah komodo di NTT sekitar 5.000 ekor, tetapi pada 1980 atau dalam tempo lima tahun kemudian jumlahnya menyusut menjadi sekitar 2.000 ekor (Kompas, 21 Mei 1980). Tahun 1997, jumlahnya sekitar 2.600 ekor dengan panjang rata-rata 1,83 meter (Kompas, 11 Mei 1997).
Jumlah komodo menurun meskipun tak semua komodo yang dihadiahkan untuk negara sahabat ditangkap dari habitat aslinya di NTT. Sebagian komodo itu merupakan hasil tetasan telur komodo yang dipelihara di KB Gembira Loka Yogyakarta (Kompas, 15 Agustus 1975).
Keberhasilan penangkaran komodo di KB Gembira Loka menjadi berita dunia karena inilah pertama kalinya komodo bertelur dan menetas di luar habitat aslinya (Pulau Komodo, Rinca, Padar, dan Wae Wuul). Dalam kurun 1987-1995, tiga kali komodo menetas di KB Gembira Loka.
Pada 1995, sebanyak 10 komodo kecil dipisahkan dari induknya. Satwa ini berada di kandang karantina sampai sekitar dua tahun. Sebelumnya, tahun 1994, dari 28 anak komodo, yang bertahan hidup sebanyak 20 ekor (Kompas, 10 April 1995). Akhir 1995, KB Gembira Loka memiliki 73 komodo yang berasal dari penangkaran lima komodo betina dan empat komodo jantan (Kompas, 7 Desember 1995).
Penangkaran juga dilakukan di KB Wonokromo, Surabaya, yang memiliki dua pasang komodo hasil tangkapan Juli 1975. Komodo berusia 8-9 tahun itu panjangnya 2,2 meter-2,7 meter (Kompas, 13 Maret 1983). Titik terang penangkaran di sini muncul pada Juli 1982, saat komodo betina mengeluarkan puluhan butir telur. Telur komodo sempat diambil petugas karena khawatir dimangsa komodo jantan.
Penetasan telur komodo dicoba dengan mesin penetas unggas, tetapi gagal. Cara lain, meletakkan telur pada ruang dengan kelembaban tertentu, pun gagal. Telur kemudian dikembalikan di kandang, di lubang tersembunyi agar tak ditemukan oleh komodo jantan. Selama masa penetasan itu, komodo betina bersikap galak terhadap apa pun yang mendekati telurnya.
Baru pada 28 Februari 1983 dua komodo lahir, disusul dengan komodo-komodo kecil lainnya. Komodo-komodo itu dirawat petugas KB Surabaya dengan hati-hati. Makanannya berupa daging lumat bercampur telur puyuh yang disuapkan ke mulut komodo kecil.
Ironisnya, penangkaran komodo di KB Gembira Loka dihentikan seiring dengan terbitnya UU No 5 Tahun 1990 yang mewajibkan adanya izin Presiden untuk pemanfaatan atau penjualan 11 hewan langka, termasuk komodo. KB bisa merugi kalau harus mendanai sendiri kehidupan semua komodo hasil penangkaran (Kompas, 13 Desember 2000).
Taman nasional
Sejak tahun 1931, komodo sudah ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi. Adapun Pulau Komodo dinyatakan sebagai taman nasional (TN) pada 1982 (Kompas, 23 Agustus 1983). Sebagai salah satu daerah tujuan wisata, sebenarnya Pulau Komodo sudah masuk dalam program Badan Pengembangan Pariwisata Daerah NTT sejak tahun 1976 (Kompas, 2 September 1976).
Namun, entah mengapa, program tersebut seakan berhenti di atas kertas saja. Bukannya membangun fasilitas pendukung sektor wisata alam yang dikembangkan, tetapi kawasan perairan antara Labuhan Bajo dan Pulau Komodo justru rusak akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak (Kompas, 4 Juni 1979).
Tak hanya ikan-ikan kecil yang turut terjaring, tetapi biota laut lainnya pun ikut musnah. Populasi ikan menurun, karang dan kerang mutiara pun semakin berkurang. Maraknya penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan antara lain bisa dilihat dari data pada Maret-Mei 1979 (tiga bulan), yakni 15 kasus.
Itu hanya pengebom ikan yang tertangkap, sedangkan jumlah pengebom ikan lainnya diperkirakan jauh lebih banyak. Rusaknya lingkungan perairan TN Komodo mengkhawatirkan karena sekitar 45 persen dari 17.000 penduduk Kecamatan Komodo bermata pencarian sebagai nelayan. Tangkapannya antara lain ikan tongkol, tembang, terbang, dan ikan selar.
Petugas dan aparat keamanan bukannya tak berusaha menangkap pelaku pengeboman ikan di TN Komodo, tetapi fasilitas yang dimiliki amat terbatas. Sementara pelaku menggunakan kapal cepat dengan fasilitas yang memadai (Kompas, 5 November 1979). Kejadian serupa berulang pada tahun 2003 (Kompas, 10 Maret 2003).
Tak hanya kekayaan laut yang dieksploitasi, tetapi perusakan TN Komodo juga terjadi karena ”eksplorasi” penambangan emas Batugosok oleh investor asal China tanpa analisis dampak lingkungan (Kompas, 2 Juli 2009).
Berita mengejutkan pun muncul. Seorang anak tewas diterkam komodo di Kampung Komodo, Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Padahal, selama berpuluh-puluh tahun bisa dikatakan warga hidup berdampingan dengan komodo (Kompas, 4 Juli 2009).
Potensi wisata
Tahun 1980, fasilitas untuk menunjang wisata TN Komodo baru kelihatan. Misalnya, Pulau Komodo bisa dicapai dengan kapal dari Sabe selama empat jam atau dari Labuhan Bajo sekitar tiga jam. Setiap bulan sekitar 20 turis asing mendatangi TN Komodo (Kompas, 21 Mei 1980).
Seiring dengan berjalannya waktu, kapal yang ada tak lagi mampu memenuhi kebutuhan turis. Kapal yang berlayar ke Pulau Komodo hanya dua kali dalam seminggu, padahal hampir setiap hari ada turis yang ingin pergi ke Pulau Komodo (Kompas, 7 Oktober 1989).
Tahun 1985, baru 1.825 turis yang datang ke Pulau Komodo (Kompas, 15 September 1990). Tahun 1986, terdata 4.844 penumpang kapal ke Pulau Komodo. Tahun 1988, jumlah penumpang kapal naik menjadi 11.706 orang. Pada 1989, sampai Agustus, jumlah penumpang naik tajam menjadi 13.679 orang (Kompas, 7 Oktober 1989).
Penerbangan perintis pun masuk bandara di Labuan Bajo sekitar awal 1990-an. Kompas, 30 Agustus 1990, melaporkan, panjang landasan bandara ini hanya 750 meter sehingga cuma penerbangan perintis dengan Twin Otter MNA yang bisa melayani. Setiap kali terbang, kapasitas penumpangnya 16-18 orang.
Kompas, 7 April 1997, menulis, ”Banyak investor sudah membeli tanah (di Labuan Bajo sebagai pintu masuk TN Komodo), tetapi belum berani membangun karena infrastrukturnya (seperti jalan, listrik, air bersih) belum menunjang.”
Memang, untuk mencapai Labuan Bajo relatif sudah jauh lebih mudah. Pengunjung bisa memilih penerbangan dari Denpasar enam kali dalam seminggu atau melalui Kupang (Kompas, 11 Mei 1997). Di sini juga tersedia rumah penginapan dengan 250 kamar (Kompas, 11 Mei 1997).
Tahun 2000, pembangunan 25 tahun TN Komodo dimulai (Kompas, 6 Juli 2000). Kerja sama lintas sektoral dilakukan untuk mengelola kawasan seluas 1.817 km² dengan satwa komodo, lebih dari 1.000 spesies ikan, 260 spesies karang, penyu, dan paus. Ini merupakan tindak lanjut dari penetapan Pulau Komodo sebagai World Heritage Site (1991) serta Man and Biosphere Reserve dari UNESCO (1997).
Sejak tahun 2003, seiring dengan penetapan Manggarai Barat sebagai kabupaten yang otonom, TN Komodo berada di bawah tanggung jawabnya (Kompas, 13 Mei 2004). Selain mengelola Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat juga harus mengurus TN Komodo, kawasan konservasi di sekitarnya seluas sekitar 173 hektar dengan flora dan faunanya yang khas.
Rinciannya, Pulau Komodo seluas 33.937 hektar, Pulau Rinca (19.625 hektar), Pulau Padar (2.017 hektar), dan 60 pulau kecil di sekelilingnya. Keberadaan satwa komodo dan TN Komodo menjadikan Manggarai Barat sebagai salah satu tujuan wisata alam (Kompas, 7 September 1992).
Tahun 2002, misalnya, jumlah pengunjung asal mancanegara tercatat 3.242 orang (Kompas, 13 Mei 2004). Selain hewan komodo, biota laut di TN Komodo juga menjadi salah satu daya tariknya. Tahun 1997, jumlahnya meningkat menjadi 1.000-3.000 orang per bulan. Tahun 2009, tercatat 36.431 wisatawan (Kompas, 10 Desember 2010). Pada 2010, jumlahnya naik menjadi 45.000 orang (Kompas, 5 Oktober 2011).
Promosi TN Komodo pun digenjot, antara lain lewat hajatan Sail Komodo yang berlangsung pada 6-9 September 2012. Untuk menarik lebih banyak pengunjung lewat Sail Komodo, pemerintah daerah mengeluarkan dana sekitar Rp 1,5 miliar (Kompas, 28 April 2012).
Kini, nyaris di sepanjang pantai di Labuan Bajo berdiri hotel dan tempat penginapan. Penerbangan ke Labuan Bajo pun bisa langsung dari Jakarta, tak harus transit di Denpasar, Bali. Kapan saja pengunjung ingin menikmati Pulau Komodo, dengan mudah mendapatkan kapal dari Labuan Bajo menuju habitat sang hewan langka.
Di sisi lain, kebutuhan dasar penduduk di Pulau Rinca dan Pulau Komodo tak kunjung terpenuhi. Mereka masih sulit mendapatkan listrik, air bersih, dan fasilitas kesehatan yang memadai (Kompas, 29 Oktober 2016). ”Warga harus berjalan ke atas bukit selama satu jam untuk mendapatkan air bersih,” kata Sekretaris Desa Pasir Panjang, Ibrahim Hamso. Sementara warga di Pulau Komodo hanya bisa menikmati listrik selama lima jam pada malam hari.
Derap wisata di sekitar TN Komodo terus terdengar. Warga setempat pun perlu dipersiapkan lewat berbagai kesempatan, pelatihan, ataupun pendidikan agar tak hanya menjadi penonton ”kue wisata”. Sisi konservasi harus pula diperhatikan demi keberlangsungannya sebagai taman nasional bagi anak-cucu kita.