Masyarakat di Daerah Langganan Bencana Diimbau Peka Lingkungan
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sudah mulai memasuki musim hujan. Untuk itu, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana harus memerhatikan lingkungan sekitar. Sebab, cuaca ekstrem Desember-Januari berpotensi tinggi memunculkan bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung.
Sebelumnya, Kamis lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengumumkan 61 persen wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan. Cuaca ekstrem pun diperkirakan mulai pada 23 November. Setelah itu, sampai Februari 2018, Indonesia akan memasuki kondisi curah hujan yang lebih tinggi dari tahun lalu.
Kepala Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia Sutopo Purwo Nugroho mengimbau warga untuk lebih peka terhadap lingkungan. Terutama pada wilayah yang sudah menjadi langganan bencana. ”Kenali lingkungan sekitarnya,” ucapnya saat dihubungi pada Jumat (24/11).
Curah hujan yang tinggi, dinilai Sutopo, sangat berpotensi menyebabkan banjir dan longsor. Untuk itu, masyarakat yang bermukim di daerah rawan harus memantau tanda-tanda bencana.
Masyarakat yang tinggal di pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, Kalimantan, sebagai contoh, harus waspada terhadap banjir. Apalagi, jika hujan deras di bagian hulu atau daerah yang lebih tinggi. Selain itu, anak-anak juga perlu diawasi saat bermain di kala banjir. ”Anak-anak sering terseret arus saat bermain air,” kata Sutopo.
Masyarakat yang tinggal di pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, Kalimantan, harus waspada terhadap banjir.
Sementara, untuk longsor, masyarakat yang tinggal di perbukitan, pegunungan, dan lereng harus berhati-hati ketika hujan deras. Pemantauan lingkungan sekitar dibutuhkan, seperti memerhatikan adanya retakan dan amblesan tanah, air yang mulai berubah keruh, dan tiang listrik menjadi miring.
Puting beliung
Selain banjir dan longsor, Sutopo juga mengingatkan warga untuk berhati-hati terhadap puting beliung. Sebab, puting beliung pada skala mikro belum bisa diprediksi.
Apalagi, kejadian puting beliung selalu meningkat setiap tahun. Data BNPB, hingga November, sudah terjadi 624 kali, pada 2008 hanya 166 kali, tahun 2010 sebanyak 404 kali, dan meningkat pada 2016 mencapai 663 kali.
Sutopo mengatakan, peningkatan itu terjadi karena perubahan penggunaan lahan hutan yang menjadi daerah permukiman. Hal itu mengakibatkan perbedaan suhu antara permukaan tanah dan atmosfer cukup tinggi sehingga mengakibatkan tekanan udara. Setelahnya, muncullah puting beliung saat mendung.
Ketika melihat awan tebal kehitaman, masyarakat jangan mendekati pohon, papan reklame, atau bangunan yang lemah. Puting beliung juga bisa dipastikan dengan munculnya angin dingin yang semakin kencang dan diikuti hujan deras. Biasanya diawali pada daerah yang datar dan luas.
Untuk itu, ketika melihat awan tebal kehitaman, masyarakat jangan mendekati pohon, papan reklame, atau bangunan yang lemah. Puting beliung juga bisa dipastikan dengan munculnya angin dingin yang semakin kencang dan diikuti hujan deras. ”Biasanya diawali pada daerah yang datar dan luas,” kata Sutopo.
Sebelumnya, puting beliung juga melanda tiga wilayah di Sidoarjo, Rabu (22/11). Angin menyebabkan 754 rumah rusak di Desa Tambak Rejo, Tambak Sawah, dan Tambak Sumur. Korban luka ringan berjumlah 36 orang dan sedikitnya 100 warga mengungsi.
Untuk mengatasi bencana banjir, longsor, dan puting beliung, Sutopo mengatakan, BNPB sudah berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk melakukan antisipasi, seperti prediksi dan informasi cuaca. Selain itu, disiapkan juga alat berat dan logistik apabila terjadi bencana.
Bisa terjadi lagi
Kamis lalu, Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Herizal mengatakan, puting beliung masih berpotensi terjadi. Terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
Herizal menjelaskan, indikasi penyebab cuaca ekstrem karena munculnya bibit siklon tropis di Samudra Hindia di selatan Jawa Timur. Adanya sirkulasi siklonik di perairan barat Sumatera, Laut Banda, dan di Laut China Selatan mengakibat secara tidak langsung membentuk pola belokan dan pertemuan angin di wilayah Indonesia.
Herizal menambahkan, wilayah Jawa akan mengalami potensi tertinggi mengalami cuaca ekstrem. Sebab, penetrasi angin monsun atau angin baratan membawa hujan di Laut Jawa dan pesisir utara Jawa. ”Oleh karena itu, waspadai banjir, longsor, dan puting beliung,” katanya.
Cuaca ekstrem dimulai
Berdasarkan analisis perkembangan musim hujan, 61 persen wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan. Sementara yang masih dalam musim kemarau adalah sebagian Lampung, Jawa Timur, sebagian Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Kepala Pusat Meteorologi Maritim Nelly Florida Riama memperkirakan cuaca ekstrem akan dimulai pada 23-28 November 2017. Akan ada beberapa daerah berpotensi hujan lebat disertai angin kencang dan petir.
Sumatera: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung.
Jawa: Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.
Kalimantan: Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah bagian Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Sulawesi: Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo,
Maluku dan Papua: Maluku, Papua, dan Papua Barat. (DD06)