PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah dinilai belum memiliki solusi dalam menghadapi banjir yang setiap tahun terjadi di Kalimantan Tengah. Pemerintah daerah sampai saat ini baru mengkaji lebih dalam penyebab banjir tahunan.
Banjir di empat kecamatan di Kabupaten Barito Utara sudah mulai surut. Selama empat hari banjir tersebut menelan dua korban jiwa dan merendam sekitar 780 rumah.
Empat kecamatan itu meliputi Kecamatan Lahei, Teweh Tengah, Teweh Baru, dan Muntalat. Banjir di empat daerah itu disebabkan meluapnya air Sungai Barito karena intensitas hujan yang tinggi (Kompas, 22/11).
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Provinsi Kalimantan Tengah Darliansjah mengatakan, pihaknya baru menyelesaikan rapat kerja tahunan yang meminta semua pihak terkait di kabupaten mencari penyebab terjadinya banjir tahunan. Hasil rapat itu, pemerintah kabupaten/kota diminta merumuskan kebijakan.
”Kebijakan itu untuk mengantisipasi banjir ke depan. Kami baru meminta semua daerah untuk membuat kajian lebih dalam soal penyebab banjir,” kata Darliansjah di Palangkaraya, Kamis (23/11).
Kebijakan itu untuk mengantisipasi banjir ke depan. Kami baru meminta semua daerah untuk membuat kajian lebih dalam soal penyebab banjir.
Menurut Darliansjah, penanganan bencana harus diikat dan diatur oleh kebijakan agar pemerintah kabupaten/kota lebih serius mengantisipasi banjir. Pihaknya juga akan membuat aturan daerah untuk penanganan bencana di Kalimantan Tengah.
”Penanganannya tidak bisa parsial, jadi konsepnya antara lain kerja sama antarkabupaten/kota yang berbatasan,” kata Darliansjah.
Hutan dikonversi
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono mengatakan, banjir tahunan terjadi karena hutan yang terus dikonversi menjadi lahan pertambangan dan perkebunan. Daya dukung alam berkurang seiring dengan alih fungsi hutan.
”Selama ini upaya untuk mengantisipasi banjir hampir tidak ada. Namun, respons lebih cepat dalam mengeluarkan izin ke perusahaan,” kata Dimas.
Selama ini upaya untuk mengantisipasi banjir hampir tidak ada. Namun, respons lebih cepat dalam mengeluarkan izin ke perusahaan.
Sesuai data Walhi Kalimantan Tengah, dari 1990 hingga 2014 tutupan hutan yang hilang mencapai 3,177,671 hektar (ha) atau rata-rata 132,402.98 ha per tahun. Sebagian besar pembukaan hutan terjadi karena adanya alih fungsi lahan ke perkebunan dan pertambangan.
Hingga tahun ini terdapat 327 unit perkebunan besar dengan total luas mencapai 3,9 juta ha. Namun, dari 327 unit baru, 177 unit perusahaan beroperasi di lahan seluas 1,8 juta ha. Di sektor pertambangan terdapat 1.007 izin usaha pertambangan dengan luas lahan konsesi mencapai 3,6 juta ha, tetapi belum mencapai satu juta hektar yang beroperasi.
”Harusnya ada evaluasi izin sehingga yang bermasalah bisa dicabut izinnya dan pemerintah bisa memeriksa izin-izin tersebut apakah sudah menjalankan kewajibannya,” ungkap Dimas.