JAKARTA, KOMPAS — Penataan pedagang kaki lima di DKI Jakarta bakal terus menemui jalan buntu apabila aparat penegak hukum, seperti satuan polisi pamong praja, yang bertugas menegakkan peraturan daerah justru turut bermain dalam silang sengkarut pelanggaran peraturan daerah. Hasil kajian dan investigasi Ombudsman RI pada Agustus 2017 menunjukkan adanya peranan petugas satpol PP yang justru memperoleh keuntungan dari pedagang nakal.
Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meilala, Jumat (24/11) di Jakarta, mengatakan, hasil investigasi Ombudsman pada tujuh daerah sampel yang diteliti oleh pihaknya menemukan adanya dugaan keterlibatan petugas satpol PP dalam pelanggaran peraturan daerah (perda). Ketujuh daerah itu ialah Setiabudi, Ambasador, Imperium, Stasiun Jatinegara, Stasiun Tebet, Stasiun Manggarai, dan Tanah Abang.
Hasil investigasi Ombudsman pada tujuh daerah sampel yang diteliti oleh pihaknya menemukan adanya dugaan keterlibatan petugas satpol PP dalam pelanggaran perda. Ketujuh daerah itu ialah Setiabudi, Ambasador, Imperium, Stasiun Jatinegara, Stasiun Tebet, Stasiun Manggarai, dan Tanah Abang.
Adrianus mengatakan, petugas satpol PP melalui penghubung atau middle man yang kerap disebut juga dengan preman mengutip bayaran atau sejumlah uang dari pedagang. Penghubung atau pengurus pedagang ini berhubungan langsung dengan petugas satpol PP dan pedagang nakal yang ingin berjualan di trotoar atau di tempat-tempat yang tidak semestinya.
”Ada dugaan maladministrasi, misalnya dengan menerima uang dan diskriminatif, hingga ketidakpatutan. Ini, kan, menjadi problem bila mereka (satpol PP) sampai menerima uang, sebab biasanya ketika orang sudah menerima uang, kan, menjadi tidak berani menertibkan atau masuk angin. Jadi, untuk menertibkan PKL di Jakarta diperlukan konsistensi petugas,” tutur Adrianus.
Sebagai contoh, PKL di Tanah Abang kerap tidak tertib berjualan di belakang garis kuning yang sudah ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka terus maju melebihi garis kuning sehingga barang dagangan memenuhi badan jalan yang mengakibatkan kemacetan parah di tempat tersebut.
”Lama-kelamaan para pedagang akan memenuhi badan jalan kalau tidak ada yang berani melarang, sedangkan petugas sendiri tidak bertindak tegas. Petugas satpol PP kadang tidak enak kalau mengutip sendiri, jadi ada yang melalui preman,” kata Adrianus.
Sosok ”preman” yang dimaksud Adrianus juga disebut dengan big buddy yang mudah ditemukan di lapangan karena mereka yang menghubungkan pedagang dengan satpol PP. Kadang kala preman yang menjadi pengurus atau penghubung itu merupakan anggota organisasi masyarakat (ormas) tertentu.
Koordinator Tim Bidang Pertahanan dan Keamanan Ombudsman Nyoto Budiyanto mengatakan, investigasi dilakukan oleh pihaknya dengan menyamar sebagai calon pedagang yang ingin mendapatkan tempat berjualan di trotoar pada tujuh titik yang disasar. Di ketujuh titik itu, penyamar ditemui orang-orang yang berperan sebagai pengurus yang mengatur tentang pembagian titik berjualan.
Investigasi dilakukan pihaknya dengan menyamar sebagai calon pedagang yang ingin mendapatkan tempat berjualan di trotoar pada tujuk titik yang disasar. Di ketujuh titik itu, penyamar ditemui orang-orang yang berperan sebagai pengurus yang mengatur tentang pembagian titik berjualan.
”Kepada pengurus itu, tim kami meminta bertemu langsung dengan petugas satpol PP yang menjadi penanggung jawab di sana. Setelah bertemu, tawar-menawar pun dilakukan. Ada yang harganya ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Temuan hasil investigasi ini mengonfirmasi dugaan adanya petugas satpol PP yang memang ikut bermain dalam penataan PKL di Jakarta,” tutur Nyoto.
Menurut dia, hubungan simbiosis mutualisme itu menjadi kurang sehat sebab hal itu justru tidak mendukung upaya penertiban PKL yang sedang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Bahkan, hal ini disinyalir sudah berlangsung lama.
”Bisa dikatakan, fenomena ini sudah terstruktur dan sistematis sebab berlangsung selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada penanganan. Bahkan, ada upaya pengabaian karena di sejumlah titik yang kami investigasi lokasinya sangat dekat dengan pos satpol PP,” ujar Nyoto.
Ombudsman melakukan investigasi ini untuk mendorong kesadaran pemerintah daerah terhadap pelayanan publik. Hak pejalan kaki di trotoar dan pengendara kendaraan di jalan raya terganggu dengan penataan PKL yang tidak serius. Terlebih lagi ada upaya permainan yang dilakukan oleh petugas satpol PP.
Ombudsman menyarankan Pemprov DKI Jakarta melakukan tiga hal. Pertama, meninjau kembali sistem pengawasan kinerja satpol PP guna mendukung efektivitas pengawasan berjenjang; melakukan penataan ruang sesuai peraturan; dan memerintahkan Inspektorat Pemprov DKI Jakarta untuk mendalami lebih lanjut terhadap temuan Ombudsman RI.
Adrianus menyebutkan, apabila saran itu tidak diikuti Pemprov DKI Jakarta, pihaknya akan mengeluarkan rekomendasi yang sifatnya final dan mengikat sehingga harus dipatuhi oleh Pemprov DKI Jakarta.
”Satpol PP wajib melaksanakan tugas dan fungsi dalam penataan dan penertiban PKL sehingga tidak terjadi maladministrasi pelayanan publik yang dapat merugikan masyarakat dan mencemarkan citra aparatur penyelenggara negara,” ujar Adrianus.