JAKARTA, KOMPAS – Hari Guru Nasional diperingati sekitar 3,1 juta guru yang tersebar di seantero Tanah Air, Sabtu (25/10. Di tingkat nasional peringatan ini dipusatkan Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam pidatonya pada acara itu mengingatkan kembali bahwa tugas pokok dan peran guru sejatinya ialah sebagai pendidik, bukan pengajar. Dalam menjalankan fungsi yang kompleks ini, guru harus senantiasa didukung oleh sarana dan prasarana yang baik, termasuk peningkatan kapasitas secara berkesinambungan. Untuk itu guru perlu berefleksi jika mereka sudah menjadi teladan, tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi masyarakat.
“Jika diumpamakan dengan militer, guru adalah pasukan infantri. Mereka yang terdepan di dalam peperangan melawan musuh, yakni kebodohan dan kejumudan,” kata Muhadjir.
Ia menegaskan, kodrat guru sebagai pendidik berarti tidak hanya menyampaikan materi pelajaran. Hal yang harus pertama kali dilakukan lagi ialah membangun karakter siswa dan menjadi teladan. Untuk itu, ia meminta guru agar berefleksi jika mereka sudah menjadi teladan, tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi masyarakat.
Menurut Muhadjir, paket lengkap guru sebagai pendidik sesuai dengan semboyan dunia pendidikan nasional yang dibuat oleh Ki Hadjar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Mandyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (Di depan menjadi pemimpin, di tengah memberi inspirasi, di belakang memberi dorongan). “Tampaknya, sering kali kita lupa dengan falsafah di depan dan di tengah. Selama ini, kesannya guru hanya sekadar pemberi dukungan,” ucapnya.
Oleh sebab itu, untuk menjadikan guru sebagai pendidik tulen, dibutuhkan kecakapan pedagogis, penguasaan materi pelajaran, dan keterampilan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang 14/2005 tentang Guru dan Dosen, setiap guru harus melalui tiga tahap kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi.
Muhadjir menjabarkan, pada tahun 1974-1994 terjadi pengangkatan guru besar-besaran, seiring dengan program instruksi presiden (inpres) yang bertujuan memberantas buta huruf. Tercatat ada 160.000 sekolah inpres, mayoritas adalah SD, yang didirikan. Sebagai konsekuensi program yang fokus ke pengajaran membaca, menulis, dan berhitung, mutu sekolah dan guru yang dihasilkan tidak sesuai dengan Standar Pendidikan Nasional.
Guna meningkatkan kapasitas guru, terlepas cara pengangkatan mereka, pemerintah melaksanakan Uji Kompetensi Guru (UKG). Ia mengakui, penilaian UKG selama ini terlalu berat di skor.
“Ada guru-guru senior yang tidak mencapai skor rata-rata, tetapi bukan berarti mereka tidak kompeten. Mereka sudah memiliki pengalaman mendidik yang panjang,” tutur Muhadjir. Menurut dia, akan dicari rumusan penghitungan UKG yang juga mewadahi sisi pengalaman guru mendidik, keterampilan, dan nilai ujian.
Tidak linear
UKG merupakan faktor penting dalam meningkatkan kompetensi guru. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad beberapa waktu lalu mengungkapkan, terdapat 3,1 juta guru. Baik berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan guru tidak tetap (GTT).
“Akibat moratorium PNS di tahun 2011, kepala-kepala sekolah mengangkat GTT untuk menutupi kekurangan guru di sekolah. Akibatnya, seleksi GTT banyak yang tidak sesuai standar kompetensi,” ujarnya.
Di samping itu, pemerintah pusat dan daerah sudah memberikan tunjangan kepada guru-guru yang tersertifikasi. Akan tetapi, pemberian tunjangan tidak linear dengan meningkatnya kapasitas guru.
Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo mengatakan, UKG dan sertifikasi merupakan faktor penting dalam peningkatan kompetensi guru. “Namun, harus dilakukan secara bertahap. Saat ini, skor minimal yang harus dicapai guru adalah 80. Terlalu tinggi bagi mayoritas guru,” tuturnya.
Ia mengusulkan agar pemerintah menurunkan skor UKG sembari bekerja sama dengan organisasi-organisasi guru untuk mengadakan pembinaan kepada para guru. Setelah itu, secara bertahap, skor minimum UKG bisa dinaikkan.