Akankah Praperadilan Jilid Dua Novanto Digelar?
Hingga saat ini, publik masih menunggu kepastian apakah praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto benar-benar akan digelar atau tidak. Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak hanya menyiapkan diri untuk menghadapi mekanisme praperadilan yang diajukan Novanto, tetapi juga menyiapkan pemberkasan Novanto untuk maju ke pengadilan.
Sebelumnya, pengajar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, praperadilan Novanto dengan sendirinya akan gugur kalau pemberkasan perkara Novanto ke pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) telah dilimpahkan (Kompas, 23/11).
Ketua KPK Agus Rahardjo, Jumat akhir pekan lalu, juga belum memastikan langkah mana yang akan diambil KPK. Yang pasti, KPK mengupayakan yang terbaik dalam penanganan kasus dugaan korupsi KTP-el.
”Ya, nanti dilihat dulu mana yang lebih memungkinkan. Namun, dua-duanya sama-sama berjalan dan kami persiapkan,” katanya.
Juru bicara KPK Febri Diansyah menegaskan, pihaknya tidak akan terburu-buru dalam menangani perkara dengan tersangka Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini. Berkas praperadilan juga dicermati KPK dan pemberkasan perkara Novanto sebagai tersangka juga sedang disiapkan melalui penguatan bukti-bukti.
”KPK menangani kasus ini semaksimal mungkin. Sumber daya yang diperlukan sudah dialokasikan. Namun, tentu penegak hukum tidak boleh tergesa-gesa ataupun mempercepat suatu perkara tetapi berisiko pada kekuatan bukti. Kalaupun nanti penanganannya dapat dilakukan dalam waktu yang lebih pendek, hal tersebut tetap harus dengan bukti yang solid,” katanya.
Sidang pertama praperadilan Novanto ”jilid dua” yang diagendakan pada 30 November akan gugur bila KPK sebelum waktu itu sudah melimpahkan berkas pemeriksaan Novanto ke pengadilan tipikor. Artinya, hanya tersisa empat hari bagi KPK untuk merampungkan pemberkasan Novanto naik ke tahap persidangan atau penuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Pertanyaannya, apakah waktu yang tersedia itu cukup?
Kiranya kejutan masih bisa saja terjadi dalam empat hari ke depan mengingat pemeriksaan terhadap Novanto sebagai tersangka juga telah tiga kali dilakukan. Kejutan oleh KPK pun bukan kali ini saja terjadi sebab lembaga itu terbukti telah bertindak tegas dengan penjemputan dan penangkapan Novanto, Minggu (19/11) lalu, saat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, pascakecelakaan yang dialaminya, Kamis (16/11) malam.
Kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi, mengatakan, penangkapan KPK terhadap Novanto itu tak diduganya akan dilakukan mengingat saat itu Novanto dirawat di RS akibat kecelakaan mobil yang dialaminya. Novanto yang sebelumnya dirawat di RS Medika Permata Hijau dipindahkan ke RSCM untuk menjalani CT Scan. Minggu malam, dokter menyatakan Novanto tidak lagi memerlukan perawatan inap di RS.
”Ada dua tempat di mana penangkapan oleh polisi (penegak hukum) tidak bisa dilakukan, yakni di RS dan tempat ibadah. Kalau penangkapan itu tetap dilakukan di RS dan tempat ibadah, itu artinya mereka tidak paham hukum,” kata Fredrich saat itu.
Namun, Minggu malam seusai pemeriksaan oleh dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Novanto dinyatakan tidak memerlukan rawat inap dan layak untuk diperiksa atau proper to be questioned.
Kini setelah menghuni rumah tahanan KPK, kuasa hukum Novanto yang baru, Otto Hasibuan, berdasarkan Pasal 65 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengajukan saksi dan ahli yang meringankan bagi Novanto untuk diperiksa KPK. Permintaan itu dipenuhi dan KPK pun sudah mengagendakan pemeriksaan untuk 9 saksi dan 5 ahli dari Novanto, Senin (27/11) besok.
Namun, kepastian soal kedatangan para saksi dan ahli itu masih dalam tanda tanya. Saat dikonfirmasi mengenai saksi dan ahli yang akan dihadirkan pihak Novanto, Senin besok, Otto malah berencana mengirimkan surat penundaan pemeriksaan lantaran merasa belum ada kejelasan tindak pidana yang dituduhkan kepada kliennya itu.
”Kami belum tahu secara in concrito (secara konkret) apa kejahatan yang dituduhkan kepada Pak Novanto. Oleh karenanya saya tadi bicara dengan Pak Fredrich (Fredrich Yunadi, kuasa hukum Novanto lainnya), supaya untuk pemeriksaan saksi dan ahli besok (Senin) ditunda saja dulu. Kebetulan saya juga sedang di luar kota sehingga sebaiknya saksi dan ahli itu kami persiapkan agar dihadirkan di pengadilan saja,” kata Otto yang sedang berada di Medan, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (26/11) malam.
Kepastian mengenai praperadilan ini pun semakin kabur karena bila pemeriksaan terhadap saksi dan ahli yang diajukan Novanto benar-benar ditunda, bahkan dibatalkan karena ingin membawa ahli dan saksi di persidangan saja, ”bola” kini sepenuhnya di kaki KPK.
Perkara Novanto sudah pasti seru, dan banyak kejutan menanti di depan, termasuk soal sosok Hakim Kusno yang akan menyidangkan perkara ini, 30 November. Harian Kompas memuat artikel mengenai sosok Kusno yang mengaku belum pernah mengabulkan perkara praperadilan yang ditanganinya (Kompas, 23/11).
Namun, apakah dalam kasus Novanto ini Kusno juga akan menolak permohonan praperadilan? Publik masih akan bertanya-tanya hingga masa pembacaaan putusan praperadilan itu tiba. Namun, penelusuran tentang rekam jejak Kusno, yang juga Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, itu ditemui sejumlah fakta menarik.
Berdasarkan data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) di situs KPK https://acch.kpk.go.id, Kusno tercatat melaporkan harta kekayaan saat menjadi hakim di PN Jakarta Selatan tahun 2011. Total kekayaannya saat itu Rp 1.544.269.000,00. Namun, lima tahun berselang, ketika ia menjadi Ketua PN Pontianak, kekayaan Kusno melonjak drastis menjadi Rp 4.249.250.000,00. Kenaikan kekayaannya hampir tiga kali lipat.
”Tentu lonjakan ini perlu ditelusuri lebih lanjut. Ini penting untuk memastikan bahwa harta kekayaan tersebut diperoleh secara benar oleh yang bersangkutan,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, Minggu, di Jakarta.
Namun, saat menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Selatan, Kusno juga tidak melaporkan harta kekayaannya. Begitu pula ketika ia sebelumnya menjadi Wakil Ketua PN Pontianak. Jika benar Kusno tidak melaporkan LHKPN saat menduduki dua jabatan itu, Kusno melanggar dua aturan, yakni Pasal 5 angka 3 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 03 Tahun 2008 tentang Usulan Promosi dan Mutasi Hakim dan Panitera.
ICW juga merilis catatan kurang sedap Kusno saat menangani sejumlah kasus korupsi. Saat menjabat sebagai Hakim PN Pontianak, Kusno pernah membebaskan empat terdakwa kasus korupsi yaitu:
- Dana Suparta, perkara korupsi Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan di Kabupaten Kapuas Hulu tahun Anggaran 2013 (Vonis tanggal 8 Desember 2015)
- Muksin Syech M Zein, perkara korupsi Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan di Kabupaten Kapuas Hulu tahun Anggaran 2013 (Vonis tanggal 8 Desember 2015)
- Riyu, perkara korupsi Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan di Kabupaten Kapuas Hulu tahun Anggaran 2013 (Vonis tanggal 8 Desember 2015)
- Suhadi Abdullani, perkara korupsi jual beli tanah untuk pembangunan terminal antarnegara di belakang Terminal Induk Singkawang (Vonis tanggal 22 Februrai 2017)
Selain itu, Kusno pada 13 April 2017 juga memvonis ringan Zulfadhli, anggota DPR, dalam perkara korupsi dana bantuan sosial Provinsi Kalimantan Barat tahun anggaran 2006-2008 yang diduga merugikan negara hingga Rp 15 miliar. Zulfadhli hanya divonis satu tahun penjara.
Rekam jejak itu sudah pasti menjadi alasan bagi publik untuk juga mengawasi kinerja Kusno nantinya saat memeriksa perkara Novanto di praperadilan. Segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk apakah praperadilan Novanto itu jadi digelar atau tidak. Yang pasti, publik berharap keadilan ditegakkan.