Perjuangan Tanpa Henti Anak-anak Papua
Di tengah sulitnya kondisi geografis, sarana-prasarana belum memadai, dan kondisi keamanan yang tak menentu, hadir sejumlah sosok tenaga pengajar yang mengabdikan hidupnya di daerah pedalaman Papua. Bagi mereka, segala kendala bukanlah hambatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak didiknya.
Jumat (24/11) sekitar pukul 06.00 WIT, kabut masih menyelimuti Kampung Kuopaga. Hujan deras pun belum berhenti mengguyur salah satu kampung di Distrik Tiomneri, Kabupaten Lanny Jaya,Papua, dari tadi malam.
Suhu di kampung itu sangat dingin, sekitar 10 derajat celsius. Dari Jayapura ke Lanny Jaya, yang beribu kota di daerah Tiom ini, yang termasuk salah satu kabupaten di kawasan pegunungan tengah Papua, hanya dapat diakses dengan menggunakan pesawat berbadan kecil.
Tampak Lenaci Giri bersama empat rekannya yang berprofesi sebagai guru kontrak dari Lembaga Indonesia Cerdas tengah mempersiapkan diri di dua rumah mes guru di Kampung Kuopaga.
Satu jam kemudian setelah sarapan, wanita asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, ini beserta teman-temannya mulai berjalan kaki ke SMP dan SMA Satu Atap Negeri 1 Tiomneri. Jarak dari mes ke sekolah hanya 5 meter.
Selama setengah jam, Lenaci bersama para guru beserta sekitar 100 murid bahu-bahu membersihkan sekolah. Tepat pukul 07.30, kegiatan belajar-mengajar pun dimulai.
Para murid SMP dan SMA Satu Atap Negeri 1 Tiomneri mengikuti aktivitas di sekolah dengan antusias. Meski telah mencapai jenjang SMP dan SMA, banyak siswa yang belum membaca dan berhitung dengan baik. Hal ini disebabkan jumlah guru di tingkat sekolah dasar yang minim sehingga banyak siswa yang masih buta aksara.
Lenaci bersama rekan-rekan gurunya dengan telaten dan sabar mendidik para siswa di Kuopaga. Mereka menggunakan pendekatan kekeluargaan agar para siswa tidak merasa rendah diri dan terus bersemangat untuk belajar.
Mereka menggunakan pendekatan kekeluargaan agar para siswa tidak merasa rendah diri dan terus bersemangat untuk belajar.
Jumlah guru di sekolah itu sekitar 20 orang. Karena itu, Lenaci tak hanya sebagai guru biologi, tetapi juga mengajar mata pelajaran Geografi dan Ekonomi.
Jarak Kuopaga ke Tiom sekitar 20 kilometer. Biasanya Lenaci bersama empat rekannya berjalan kaki melewati jalan berbukit selama dua jam ke Tiom untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras dan minyak goreng.
Harga barang di Tiom sangat tinggi. Misalnya 1 kilogram gula seharga Rp 25.000, minyak goreng di kemasan 5 liter seharga Rp 115.000, dan 1 karung beras seberat 15 kilogram dijual dengan harga Rp 300.000.
Rutinitas ini sudah dijalani Lenaci dan empat rekannya sejak bulan Juni 2015 hingga kini. Pada awalnya ia masih kesulitan beradaptasi dengan kehidupan di kampung yang sepi dari keramaian dan minim sarana-prasarana, seperti listrik. Seiring berjalannya waktu, ia telah terbiasa dan semakin mencintai anak-anak Kuopaga.
Dalam setahun, Lenaci hanya sekali pulang ke kampung halamannya untuk merayakan hari Natal dan Tahun Baru bersama keluarga. Sebab, biaya transportasi yang memakan biaya hingga Rp 10 juta.
Dalam setahun, Lenaci hanya sekali pulang ke kampung halamannya untuk merayakan hari Natal dan Tahun Baru bersama keluarga. Sebab, biaya transportasi yang memakan biaya hingga Rp 10 juta.
Selain kendala-kendala itu, Lanny Jaya termasuk salah satu dari tiga wilayah di Papua menjadi basis gerakan kelompok sipil bersenjata yang menyatakan Organisasi Papua Merdeka. Dua wilayah lainnya adalah Puncak Jaya dan Puncak.
Polisi menyebut ketiga daerah itu dengan julukan segitiga hitam. Banyak warga sipil dan aparat keamanan tewas karena ditembak anggota kelompok separatis tersebut.
Seorang guru honorer SD Kulirik bernama Ezra Patatang tewas tertembak di Kampung Karubate, Distrik Mulia, Puncak Jaya, pada 12 September 2016. Pria yang berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan, tewas tertembak di bagian leher dan punggung saat sedang mencari penghasilan tambahan sebagai tukang ojek.
Bekerja di daerah konflik bukanlah hambatan menjadi Lenaci dan rekan-rekannya agar terus mengabdi bagi ratusan anak Kuopaga. ”Saya meninggalkan Kupang untuk mendapatkan pengalaman terbaik sebagai seorang tenaga pengajar di tanah Papua. Anak-anak di sini menbutuhkan kami,” tutur wanita berusia 27 tahun ini.
Membawa anak
Di Distrik Mbua, salah satu daerah pedalaman di Kabupaten Nduga, terdapat lima lembaga pendidikan, yakni satu lembaga Paud, SD Inpres Mbua, SMP Inpres Mbua, dan dua SMA.
Jumlah tenaga pengajar di sana 29 orang, yang meliputi 20 guru pegawai negeri sipil, 5 guru kontrak, dan 4 orang berstatus guru bantu. Adapun jumlah siswa SD sebanyak 281 orang, siswa SMP 91 orang, dan siswa SMA 26 orang.
Para guru bermukim di tiga rumah dinas yang disediakan pemda setempat. Rata-rata para guru ini berasal Wamena, Kabupaten Jayawijaya, yang berjarak sekitar 90 kilometer dari Mbua.
Dulu para guru harus menggunakan pesawat berbadan kecil dari Wamena ke Mbua. Setelah pembukaan Jalan Trans-Papua berdasarkan kebijakan Presiden Joko Widodo pada tahun 2015, banyak kendaraan umum membuka rute Mbua-Wamena dengan biaya sewa Rp 3,5 juta untuk sekali perjalanan.
Dulu para guru harus menggunakan pesawat berbadan kecil dari Wamena ke Mbua. Setelah pembukaan Jalan Trans-Papua berdasarkan kebijakan Presiden Joko Widodo pada tahun 2015, banyak kendaraan umum membuka rute Mbua-Wamena dengan biaya sewa Rp 3,5 juta untuk sekali perjalanan.
Terdapat lima guru perempuan yang membawa anaknya yang masih bayi dan anak balita ke tempat tugas di Mbua. Salah satunya adalah Selviana, seorang guru Matematika di SMA Negeri Mbua.
Ia bertugas sejak SMA Negeri Mbua dibuka tahun 2014. Suami Selviana dan dua anaknya bermukim di Makassar, Sulawesi Selatan. ”Saya tetap membawa anak yang ketiga karena ia masih membutuhkan ASI eksklusif. Di sini cuacanya sangat dingin hingga di bawah 5 derajat celsius. Mudah-mudahan anak saya tetap sehat,” ujarnya.
Selviana mengaku tetap bertahan di Mbua walau terpisah dari keluarga karena terharu dengan semangat juang para siswa untuk meraih pendidikan.
”Tahun ini kami akan menamatkan angkatan pertama SMA Negeri Mbua. Para guru akan berupaya maksimal agar seluruh siswa kelas XII bisa meraih nilai yang baik dan diterima di perguruan tinggi,” tutur wanita berusia 38 tahun ini.
Tiga faktor
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Papua Protasius Lobya mengatakan, terdapat tiga faktor yang menghadang para guru yang bertugas di daerah pedalaman di Papua.
Ketiga faktor itu antara lain keterlambatan pembayaran gaji, belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, seperti rumah guru, serta kondisi keamanan yang tidak stabil.
Banyak guru yang meninggalkan tempat tugasnya karena ketiga faktor ini. Pemda setempat harus mengatasi masalah-masalah itu agar mereka nyaman ketika bertugas di daerah pedalaman.
”Banyak guru yang meninggalkan tempat tugasnya karena ketiga faktor ini. Pemda setempat harus mengatasi masalah-masalah itu agar mereka nyaman ketika bertugas di daerah pedalaman,” tutur Protasius.
Pengamat pendidikan di Papua, John Rahail, berpendapat, seorang guru yang bertugas di daerah pedalaman tak hanya memosisikan sumber untuk memberikan ilmu pengetahuan. Namun, ia juga harus mampu bergaul dengan warga setempat sehingga tercipta suasana kekeluargaan.
”Apabila tercipta kedekatan dengan warga setempat, guru tersebut tak akan merasa kesepian di tempat ia bertugas,” kata John.