JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme pemilihan hakim konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dinilai mengalami kemunduran karena tidak dilakukan dengan melibatkan dewan pakar dan ahli yang kompeten dalam menguji kapabilitas dan kelayakan seorang calon. Senin (27/11) ini, Komisi III DPR menggelar uji kelayakan dan kepatutan calon hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Ketua MK Arief Hidayat.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi, Senin di Jakarta, mengatakan, berkaca pada pemilihan beberapa hakim sebelumnya, baik oleh DPR maupun Presiden, seleksi hakim konstitusi selalu dilakukan secara terbuka dan melibatkan pakar di bidangnya. Dewan pakar yang melakukan seleksi dengan menguji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon hakim sebelum merekomendasikan pilihan yang sesuai kepada DPR atau Presiden.
Dalam pemilihan Hakim Konstitusi Aswanto, misalnya, ketika itu DPR membentuk dewan pakar yang diisi sejumlah ahli, misalnya Saldi Isra dari Universitas Andalas. Para pakar itu kemudian memberikan rekomendasi kepada DPR tentang siapa saja calon yang paling layak untuk dipilih.
”Pilihan akhir tetap di tangan DPR. Namun, paling tidak, mekanismenya sudah bagus karena dilakukan secara terbuka dan melibatkan para pakar yang ahli di bidangnya,” ujar Veri.
Mekanisme pemilihan dengan melibatkan ahli juga dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika memilih Hakim I Dewa Gede Palguna. Ketika itu, sebuah tim ahli dibentuk Presiden untuk menjaring calon-calon hakim konstitusi. Nama Ketua MK saat itu, Hamdan Zoelva, juga diusung oleh sejumlah pihak dan elemen masyarakat. Meskipun saat itu posisi Hamdan sebagai Ketua MK, ia tetap harus mengikuti prosedur yang ada, yakni melalui mekanisme seleksi serta uji kelayakan dan kepatutan oleh ahli.
Hamdan akhirnya memilih untuk tidak mengikuti seleksi dan Palguna menjadi salah satu calon yang direkomendasikan ahli kepada Presiden. Palguna yang pernah menjadi hakim konstitusi di era kepemimpinan Jimly Asshiddiqie pun kembali terpilih sebagai hakim konstitusi setelah melewati mekanisme seleksi yang ketat dan terbuka.
Veri menyebutkan, melihat cara dan langkah yang dilakukan DPR saat ini dengan uji kelayakan dan kepatutan hanya kepada Arief, pendekatan itu dinilai justru merupakan kemunduran.
”Mekanisme pemilihan yang dilakukan oleh DPR ini merupakan kemunduran apabila dibandingkan dengan pola-pola pemilihan hakim MK sebelumnya. Undang-undang memang tidak mengatur secara detail bagaimana pemilihan hakim konstitusi dilakukan karena undang-undang hanya mensyaratkan pemilihan dilakukan secara terbuka,” tutur Veri.
Mekanisme pemilihan yang dilakukan oleh DPR ini merupakan kemunduran apabila dibandingkan dengan pola-pola pemilihan hakim MK sebelumnya.
Veri mengatakan, dengan tidak detailnya pengaturan mengenai pemilihan hakim konstitusi, hal itu membuat pola dan mekanisme pemilihan hakim konstitusi sangat bergantung pada kepentingan dan kebutuhan setiap lembaga. UU MK mengatur ada tiga lembaga yang bisa mengusung hakim MK, yakni Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR.
Masa jabatan Arief Hidayat akan berakhir pada 1 April 2018. Berdasarkan Pasal 22 UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), masa jabatan hakim MK adalah 5 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali masa jabatan.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mengatakan, ada dua hal yang perlu dicermati dalam seleksi hakim MK kali ini. Pertama, ICW menilai, proses seleksi yang diam-diam terhadap Arief melanggar Pasal 19 UU MK, yang menyebutkan pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
”Keberadaan calon tunggal hakim MK yang akan dipilih Komisi Hukum DPR memunculkan kecurigaan adanya kongkalikong antara calon dan DPR. Padahal, sebelumnya, pada tahun 2014, proses dilakukan secara terbuka, melibatkan tim pakar atau tim panel, dan calonnya lebih dari dari satu orang,” ujar Emerson.
Keberadaan calon tunggal hakim MK yang akan dipilih Komisi Hukum DPR memunculkan kecurigaan adanya kongkalikong antara calon dengan DPR.
Kedua, rekam jejak Arief Hidayat saat menjabat hakim konstitusi dikritisi. Pada 15 Maret 2016, Arief pernah dijatuhi hukuman etik terkait skandal memo untuk kerabatnya di kejaksaan. Arief terbukti memberikan katebelece atau selembar kertas yang ditulis Arief pada 16 April 2015. Nota itu ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono. Dia meminta Widyo seolah memberikan perlakuan khusus kepada jaksa negeri Trenggalek, Muhammad Zainur Rochman. Arief menulis, Zainur adalah salah satu kerabatnya.
Selain itu, elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan MK mencatat, sekurangnya ada lima putusan MK yang berpotensi mengancam pemberantasan korupsi.
”Pertama, perluasan obyek praperadilan. Kedua, mantan narapidana dapat mengikuti pilkada (pemilihan kepala daerah). Ketiga, larangan jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. Keempat, mantan terpidana (korupsi) dapat mengikuti pilkada di Aceh. Kelima, penghapusan pidana permufakatan jahat dalam perkara korupsi,” ucap Emerson.
Baik Veri maupun Emerson menilai, fungsi pengawasan di internal MK pada era Arief juga buruk. Hal ini ditandai oleh operasi tangkap tangan KPK pada tahun 2017 terhadap Patrialis Akbar, salah satu hakim MK, karena diduga menerima suap dari pihak yang terkait dengan permohoan uji materi undang-undang di MK.
Selaku Ketua MK, Arief pada 2017 juga pernah dilaporkan Koalisi ke Dewan Etik MK karena tidak mematuhi kewajibannya melaporkan harta kekayaannya. Arief tercatat hanya melaporkan kekayaannya saat menjadi Wakil Ketua MK. Namun, saat menjadi Ketua MK, ia tidak melaporkan kekayaan atau memperbarui laporan kekayaannya.
Veri mengatakan, rata-rata waktu penyelesaian perkara uji materi oleh MK juga semakin panjang, bahkan ada perkara yang baru diputus setahun setelah perkara itu didaftarkan. Rata-rata penyelesaian perkara pengujian undang-undang di MK mencapai 10 bulan pada tahun 2016. Arief beralasan, lamanya penyelesaian perkara itu karena beban MK yang bertambah, yakni dengan adanya pemeriksaan perkara sengketa pilkada.
Terkait dengan pemilihan hakim konstitusi, MK mempersilakan publik untuk memberikan penilaian.
”MK tidak dalam posisi memberikan pandangan atau penilaian apa pun terkait hal tersebut karena MK merupakan user, dalam artian MK tinggal menerima siapa pun yang disepakati untuk diajukan oleh lembaga negara yang mengajukan,” ujar Fajar Laksono Soeroso, Juru Bicara MK.
Fajar berharap, siapa pun nanti yang terpilih adalah figur yang terbaik demi MK yang lebih baik.