JAKARTA, KOMPAS — Aksi penghakiman massa dan persekusi atau perburuan sewenang-wenang terhadap sejumlah orang yang diduga atau dituduh melakukan kesalahan merupakan fenomena massa yang sangat kompleks. Masalah ini melibatkan kebudayaan, agama, dan juga motif-motif pragmatis yang beragam.
Secara sosiologis, menurut pengajar filsafat politik Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, F Budi Hardiman, perilaku sosial individu merupakan hasil pembatasan dari kekuatan-kekuatan normatif dalam sebuah masyarakat, seperti agama, moralitas, dan hukum.
”Jika sebuah masyarakat sedang mengalami ancaman disintegrasi dan krisis solidaritas, terjadilah disorientasi nilai-nilai yang di dalam diri individu dipersepsi sebagai relativisme nilai-nilai,” ujarnya kepada Kompas, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Namun, Budi menilai demokratisasi juga dapat menghasilkan krisis-krisis karena nilai-nilai lama tergerus oleh nilai-nilai baru yang dibawa lewat demokratisasi, seperti penggunaan media-media sosial saat ini.
”Persekusi dan pengadilan massa dapat dilihat sebagai ’upaya ilusioner’ suatu kelompok untuk menegakkan kembali nilai-nilai lama yang mengalami krisis, biasanya nilai-nilai adat atau agama,” kata Budi.
Persekusi dan pengadilan massa dapat dilihat sebagai ’upaya ilusioner’ suatu kelompok untuk menegakkan kembali nilai-nilai lama yang mengalami krisis, biasanya nilai-nilai adat atau agama.
Apa yang disampaikan Budi tersebut paling tidak menjelaskan apa yang terjadi dalam kasus RN (28) dan MA (20). Pasangan kekasih ini dianiaya oleh sejumlah warga dan dipaksa mengaku berbuat mesum di rumah kontrakan MA di Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu.
Bahkan lebih dari itu, pakaian mereka dilucuti hingga nyaris tanpa busana, kemudian diarak. Aksi yang dimotori aparat RT dan RW setempat ini pun direkam dan diunggah ke media sosial. Penjelasan RN dan MA bahwa mereka tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan tak digubris warga.
Lebih tragis lagi apa yang dialami MA (30) yang tewas setelah diarak massa karena dituduh mencuri amplifier mushala di kawasan Bekasi, Jawa Barat, 1 Agustus lalu.
Hukum dan moralitas
Apa yang terjadi tersebut, menurut Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, akibat hukum dan moralitas dijadikan satu. ”Padahal, itu dua ranah yang berbeda. Hukum dan moralitas harus dipisahkan. Kalau tidak (akan), terjadi pembusukan keduanya,” katanya.
Menurut Sulistyowati, sangat berbahaya jika hukum dan moralitas dicampuradukkan. Seharusnya di masyarakat ada mekanisme penyelesaian masalah. ”Atas nama negara, seharusnya RT dan RW mencegah penghakiman massal (yang dilakukan terhadap RN dan MA di Cikupa), tetapi ini malah terlibat. Ini menunjukkan bahwa masyarakat itu sakit,” katanya.
Namun lebih dari itu, menurut Sulistyowati, fenomena penghakiman massal dan juga persekusi yang sekarang marak harus dilihat dalam konteks semesta yang lebih luas, bukan sebuah kasus yang berdiri sendiri. (SON/IKA/NAR/EVY)