Perekonomian Indonesia kian membaik, begitu kesimpulan berbagai kajian mengenai kondisi terkini dan proyeksi ekonomi kita ke depan. Baru saja tim Dana Moneter Internasional (IMF) menyelesaikan kunjungan tahunan sebagai bagian dari evaluasi rutin dan supervisi perekonomian yang merupakan kesepakatan sebagai negara anggota. Proses ini dikenal sebagai Article IV Consultation. Seusai melakukan pertemuan konsultatif di Jakarta pada 1-14 November 2017, tim di bawah pimpinan Luis E Breuer tersebut menyimpulkan perekonomian Indonesia terus menunjukkan perbaikan kinerja.
Tim IMF memuji kebijakan makro yang berhati-hati dalam menjaga stabilitas serta upaya konsisten dalam meningkatkan daya saing perekonomian. Upaya tersebut ditopang dengan perbaikan kinerja perekonomian global serta peningkatan harga komoditas.
Tahun ini, pertumbuhan ekonomi RI diperkirakan mencapai 5,1 persen dan tahun depan bisa mencapai 5,3 persen, yang didukung perbaikan kinerja ekspor dan investasi. Meski demikian, tim IMF memberi catatan mengenai penerimaan fiskal yang masih belum maksimal.
Kesimpulan serupa tertuang dalam laporan triwulanan perekonomian Indonesia terbitan Bank Dunia edisi Oktober lalu. Laporan berjudul Closing the Gap tersebut memberikan penilaian dan proyeksi serupa dengan IMF. Biasanya, proyeksi Bank Dunia lebih optimistis ketimbang IMF. Namun, kali ini relatif sama. Bank Dunia memberi catatan, upaya menutup kekurangan cukup lebar, khususnya dalam pembangunan infrastruktur, harus dilakukan dengan dukungan fiskal yang memadai.
Pemulihan dan prospek perekonomian menunjukkan perbaikan, tetapi upaya untuk naik pada level yang lebih tinggi membutuhkan dukungan fiskal yang lebih kuat. Di situlah salah satu titik lemah kita.
Terkait dengan pola pertumbuhan, perekonomian kita mengidap dua gejala pokok. Pertama, kita terjebak dalam pola pertumbuhan moderat pada kisaran 5 persen. Kedua, kalaupun terjadi perbaikan, tampaknya tak lagi mencukupi untuk menyerap tenaga kerja.
Baik saja sudah tak lagi cukup. Jika kita gagal menyelesaikan problem tersebut, kita akan masuk ke dalam jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap).
Presiden Joko Widodo sudah menangkap gejala tersebut dan pernah bercita-cita mengakhiri periode pertama kepemimpinannya dengan mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen. Sayangnya, situasi berubah cepat sehingga target pertumbuhan 7 persen pada 2019 menjadi nyaris tak mungkin tercapai.
Perekonomian kita tengah mengalami dua gejala pokok. Pertama, berakhirnya era booming komoditas dan tak mungkin (perlu) kembali lagi. Kedua, tingginya pertumbuhan sektor non-tradable (jasa) yang tak menyerap banyak tenaga kerja.
Ada risiko, perekonomian kita melompat dari basis komoditas langsung pada industri jasa. Merujuk pada pandangan Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard, berbahaya membangun ekonomi tanpa basis industri (manufaktur) yang kuat, apalagi di negara berkembang seperti kita.
Pemerintah bukan tak memahami risiko tersebut. Sejak awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo sudah melansir dua pendekatan pokok, yaitu pembangunan infrastruktur secara masif, serta menjalankan paket kebijakan dalam rangka deregulasi ekonomi. Paket kebijakan terus dikembangkan guna membangun kerangka kelembagaan untuk mendorong daya saing perekonomian.
Bersama dengan mulai dilihatnya hasil pembangunan infrastruktur fisik, indeks kemudahan berusaha kita pun melonjak drastis akhir-akhir ini. Dalam 3 tahun terakhir, kita sudah naik 37 peringkat. Oleh karena itu, dalam laporan Ease of Doing Business 2018 yang terbit beberapa minggu lalu, RI dimasukkan ke dalam kelompok sepuluh negara paling progresif melakukan pembenahan.
Masih panjang
Dengan demikian, meskipun kinerja perekonomian terus menunjukkan perbaikan, khususnya prospek 2018, jalan masih panjang untuk mencapai kapasitas maksimal. Untuk memastikan perekonomian kita mampu tumbuh secara maksimal, pada kisaran 7 persen, masih begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Pertama, pembangunan proyek infrastruktur fisik perlu mendapatkan jalan keluar dari sisi pendanaan. Mengandalkan dana pemerintah pusat (APBN), ruang geraknya begitu terbatas. Melibatkan pemerintah daerah, termasuk kemungkinan mengeluarkan surat utang (obligasi) daerah, perlu dikaji secara mendalam. Mungkin daerah yang sudah maju, termasuk tata kelolanya, bisa didorong lebih aktif untuk membangun infrastruktur fisik dengan menerbitkan surat utang.
Kedua, paket kebijakan ekonomi perlu dikonsolidasikan lebih kuat lagi agar diikuti perubahan kelembagaan serta proses administrasi dari berbagai aparat pemerintahan. Kuncinya bukan sekadar pada sinkronisasi kebijakan, melainkan juga kelembagaannya. Jadi, paket kebijakan ekonomi perlu diikuti dengan transformasi birokrasi yang dilakukan secara memadai.
Hasil akhir dari sinergi kebijakan tersebut adalah kemunculan basis industri yang kuat dan perannya akan menggantikan komoditas primer yang selama ini begitu kita andalkan. Dengan kata lain, kita tengah membangun sebuah proses transformasi ekonomi, industri, dan bisnis yang mendasar.
Upaya untuk itu tidak mudah, tetapi tetap harus dijalankan jika ingin tumbuh dalam kapasitas maksimal. Transformasi perekonomian harus dilanjutkan dalam periode pemerintah berikutnya. Tak ada transformasi yang instan.