NAYPYIDAW, KOMPAS — Paus Fransiskus, Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Roma Sedunia, menyerukan penghormatan terhadap kelompok etnis dan identitasnya. Ia juga menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan.
Seruan itu disampaikan dalam sebuah pidato yang diawasi ketat di Naypyidaw, ibu kota Myanmar, seusai bertemu dengan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, Selasa (28/11).
Namun, Paus sama sekali menahan diri untuk tidak menyebut nama ”Rohingya”, merujuk kepada kelompok minoritas Muslim yang tak memiliki status sebagai warga negara.
Paus juga tidak menyinggung soal ”pembersihan etnis” yang menyebabkan ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri dari negara itu, krisis yang telah merisaukan hatinya selama ini. Dia selama ini telah berulang kali meminta Myanmar mengakhiri krisis Rohingya.
Dalam pidatonya, Paus mengatakan, perdamaian hanya bisa dicapai melalui keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta menyerukan penghormatan terhadap setiap kelompok etnis dan identitasnya.
Fransiskus ketika berpidato berdiri di samping Suu Kyi. Dia tidak menyebut krisis kemanusiaan yang mendera warga Rohingya, yang dalam tiga bulan terakhir telah menjadi isu yang mengguncang dunia internasional.
Dalam pidatonya, Paus mengatakan, perdamaian hanya bisa dicapai melalui ”keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia”. Ia juga menyerukan ”penghormatan terhadap setiap kelompok etnis dan identitasnya”.
Jelas pesannya adalah untuk perlakuan tidak manusiawi yang dialami warga Rohingya. Namun, ia tidak menyebutnya secara eksplisit. Bahkan, sejak pertama kali menginjakkan kaki di Myanmar, Senin (27/11), ia tidak menyebut Rohingya.
Lawatan ke Myanmar tampaknya sensitif sehingga beberapa penasihat Paus telah memperingatkannya untuk tidak menyebut Rohingya agar tidak memicu insiden diplomatik yang bisa saja membuat militer dan pemerintah negara itu melawan minoritas Kristen.
Pemerintah di negara berpenduduk mayoritas Buddhis itu tidak menggunakan kata ”Rohingya” karena mereka mengatakan Rohingya bermigrasi secara ilegal dari Bangladesh, jadi tidak boleh terdaftar sebagai salah satu kelompok etnis dan kecuali dicap sebagai ”Bengali”.
Sejak krisis Rohingya semakin mencuat pada akhir Agustus lalu, Paus Fransiskus sebenarnya telah berulang kali membela kelompok minoritas tersebut.
Kelompok hak asasi manusia juga telah mendesak Paus untuk meminta Myanmar menghentikan kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Kelompok hak asasi manusia juga telah mendesak Paus untuk meminta Myanmar menghentikan kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya selama kunjungan empat harinya.
Suu Kyi, peraih Hadiah Nobel Perdamaian 1993, telah dikucilkan komunitas hak asasi manusia global yang pernah memujanya. Mereka marah atas sikap dinginnya dalam menghadapi krisis Rohingya.
Pemerintah Myanmar membangun negara dengan tujuan ”melindungi hak asasi, mendorong toleransi, menjamin keamanan untuk semua orang”, kata Suu Kyi dalam pidato singkat, yang bermaksud melunakkan tekanan global atas ”situasi di Negara Bagian Rakhine”.
Misi perdamaian Paus sepertinya masuk dalam sebuah ’jebakan’ Myanmar, di saat gerakan nasionalis Buddhis yang dipimpin para tokoh garis keras telah mendorong kebencian luas terhadap Rohingya.
Misi perdamaian Paus sepertinya masuk dalam sebuah ”jebakan” Myanmar, di saat gerakan nasionalis Buddhis yang dipimpin para tokoh garis keras telah mendorong kebencian luas terhadap Rohingya.
Dalam pertemuan dengan para tokoh lintas agama di Yangon, sebelum bertolak ke Naypyidaw pada Selasa (28/11) pagi, Paus menyuarakan ”persatuan dalam keberagaman” di Myanmar.
”Setiap orang memiliki nilai, kekayaan, dan keunikan mereka. Begitu juga setiap agama memiliki kekayaan, tradisi, dan kekayaannya untuk dibagikan. Ini hanya bisa terjadi jika kita hidup dalam damai dan perdamaian tercipta berkat paduan perbedaan.” (AFP/REUTERS/AP)