Usaha Ritel Punya Peluang jika Inovatif di Era Milenial
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi menunjukkan selalu meningkat sejak 2015. Melihat geliat itu, usaha ritel pun masih memiliki peluang untuk bangkit di tengah maraknya e-dagang. Namun, ritel harus mempunyai inovasi dan memanfaatkan digitalisasi yang sesuai dengan era milenial.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, usaha ritel masih punya peluang untuk bersaing dengan e-dagang. Namun, penting untuk mengubah pola pikir. Ritel harus lebih menyesuaikan dengan pola pikir generasi milenial. Sebab, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, 58 persen usia produktif berasal dari generasi milenial pada 2020.
”Kita berhubungan dengan generasi yang berbeda. Penting untuk menyesuaikan bisnis ke depan,” ucap Sri, Selasa (28/11), pada acara diskusi Modern Ritel, di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat.
Menurut Sri, perubahan pola bisnis itu merupakan fenomena global, bukan hanya di Indonesia. Milenial identik dengan berpikir kreatif, komunikatif, dan percaya diri. Ketiga hal itulah yang harus dimanfaatkan usaha ritel dengan berbagai inovasi. Selain itu, milenial juga identik pada digitalisasi dalam setiap kegiatannya. Generasi milenial berbasis pada aplikasi dan internet.
Survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia pada 2016 menemukan 51 persen penduduk Indonesia sudah menggunakan internet. ”Perubahan sikap datang, terjadi, dan akan menjadi realitas kita. Dulu kita beli sayur harus di pasar, sekarang bisa pakai ojek daring,” kata Sri.
Sementara itu, peluang ritel juga terlihat pada perkembangan jumlah pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan di Indonesia meningkat dari 240 ke 320 dalam tiga tahun. Sejumlah 200 di antaranya terletak di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Namun, kembali diingatkan Sri, pusat perbelanjaan juga harus bisa mengatur strategi untuk menarik generasi milenial. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada semester I tahun 2017, pusat perbelanjaan yang berhasil tumbuh adalah yang menawarkan ide baru. Tempat itu tidak hanya dijadikan pusat perbelanjaan, tetapi juga dijadikan tempat hiburan, wisata kuliner, dan tempat berkumpul.
Salah satu yang berhasil menerapkan itu adalah Gandaria City, di Gandaria, Jakarta Selatan, yang mendapatkan poin 29. Sementara Metro Pasar Baru, yang tidak menawarkan kebaruan, mengalami penurunan pengunjung dengan poin minus 59.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memotong tali dalam peresmian pada acara diskusi Modern Retail, di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (28/11).
”Saya yang baby boomers pasti kalau pergi ke pusat perbelanjaan dengan cucu saya yang milenial. Nah, pasti dia ajak ke tempat hiburan untuk main wahana. Di Metro mana ada hal seperti itu. Oleh karena itu, saya pergi ke tempat dengan ide yang sesuai dengan kemauan cucu yang milenial,” kata Sri.
Menurut Sri, pusat perbelanjaan yang merupakan sarang industri ritel perlu inovasi. Sebab, pada 2020 diprediksi urbanisasi meningkat 60 persen. Peningkatan itu akan sebanding diikuti jumlah kelas menengah. ”Akan baik untuk usaha ritel,” ucapnya.
Keyakinan peluang ritel juga dinilai Sri karena geliat ekonomi yang terjadi sejak dua tahun lalu. Sampai kuartal ketiga 2017, pertumbuhan ekonomi setinggi 5,06. Proyeksinya, pada akhir kuartal keempat akan meningkat menjadi 5,1-5,2. Geliat pun terlihat dari peningkatan pertumbuhan, dari 2016 dengan 5,02 dan 2015 dengan 4,88.
”Geliat ekonomi memang sempat bermasalah karena krisis 2008-2009. Namun, perlahan-lahan negara lain mulai menggeliat kembali,” katanya.
Perubahan pendekatan
Hadir dalam acara yang sama, Executive Director The Nielsen Company Yongky Susilo yang mengatakan, usaha ritel perlu memberikan pengalaman kepada pelanggannya. Sebab, jika hanya menjual produk, lebih mudah lewat e-dagang. ”Yang terpenting untuk dilakukan adalah mengutamakan pengalaman. Tidak bisa menjual produk hanya sebagai produk,” ujarnya.
Seperti layaknya orang pergi ke warung kopi, kini jarang yang hanya bertujuan untuk menikmati secangkir kopi. Namun, yang dilihat adalah bagaimana proses membuat, pengalaman di tempat tersebut, dan atmosfer yang bisa didapat.
Yongky mengatakan, kuncinya adalah keunikan dalam memberikan sesuatu secara berbeda. Sebab, pelanggan milenial mudah tertarik dengan kejutan-kejutan.
Sementara, menurut E-dagang Lead LINE Indonesia Linda Lee, usaha ritel bisa bersaing dengan e-dagang dengan memanfaatkan medium aplikasi pesan dan media sosial. Lewat interaksi itu, pelanggan bisa tetap terikat.
Linda mencontohkan, pusat perbelanjaan mini, Alfamart, sudah menggunakan LINE untuk menjadi tempat promosinya. ”Mereka jualan secara ritel. Namun, promosi melalui digital. Alfmart berhasil menarik 33 persen pelanggan yang melihat voucer promo itu untuk kemudian digunakan,” ucapnya.
Selain itu, Linda menambahkan, penggunaan media sosial juga sangat baik untuk tetap berkomunikasi dengan pengguna. Dari sana, keluhan dan minat pengguna bisa diketahui. ”Seperti Starbucks, mereka tahu cara mendekatkan diri kepada pengguna dari Twitter, Facebook, dan Instagram,” katanya.
Ancaman digital
Di tengah usaha ritel bertahan, e-dagang sedang mengalami pertumbuhan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pembelian digital baru mencapai 7,3 persen, diikuti 9 persen yang menggunakan e-dagang, dan penjualan e-dagang hanya 2 persen.
Jangan melihat kecilnya penjualan dari e-dagang, tetapi perlu melihat tren yang sedang terjadi. Saat ini, pentrasi penggunaan internet yang tinggi membuat kebutuhan untuk e-dagang meningkat. Tidak bisa diremehkan, walau rendah, tetapi bertumbuh.
Namun, Sri mengatakan, jangan melihat kecilnya penjualan dari e-dagang, tetapi perlu melihat tren yang sedang terjadi. Saat ini, pentrasi penggunaan internet yang tinggi membuat kebutuhan untuk e-dagang meningkat. ”Tidak bisa diremehkan, walau rendah, tetapi bertumbuh,” katanya.
Karena itu, pemerintah mencoba menyelaraskan regulasi antara ritel dan e-dagang, ”Jika ritel ada pajak, e-dagang juga harus ada. Semua peraturan harus sama. Dengan demikian, tidak ada satu yang dibebani, dan satu lagi menjadi pembonceng gratis,” ucap Sri.
Sri menambahkan, pemerintah hanya bisa terus menjaga perkembangan usaha ritel melalui sisi regulasi, seperti regulasi yang menyelaraskan ritel dan e-dagang. Namun, Sri tidak bisa memastikan ritel agar tidak gulung tikar. Hal itu harus berasal dari kepekaan dan inovasi pengusaha dalam melihat peluang usaha ke depan. (DD06)