”Karena Pendidikan Itu Masa Depan To...”
”Di Banti senang, di Timika senang, di mana-mana hatiku senang...” begitu nyanyian puluhan anak SD Banti yang sedang ”sekolah”, Jumat (24/11) pagi. Riuh rendah suara anak-anak yang riang bernyanyi memenuhi seisi gedung posko pengungsian. Semangat untuk meraih mimpi akan pendidikan itu selalu ada di mana pun tempatnya.
Anak-anak ini adalah sebagian dari total 804 warga Kampung Banti, Kimbely, Opitawak, dan Utikini yang terpaksa mengungsi ke kota. Kampung-kampung ini semuanya berada di Distrik Tembagapura, yang berjarak sekitar tiga jam dengan berkendara. Mereka telah meninggalkan rumah, saudara, ternak, dan sekolah.
Jika biasanya mereka bersekolah di kelas, kali ini mereka terpaksa mengikuti proses belajar di Graha Eme Neme Yauware, Timika, Papua. Tanpa bangku, tanpa papan, dan perlengkapan lainnya. Sudah dua hari sekolah mereka seperti ini.
Meski riuh, dan dalam kondisi terbatas, Atuna Bukaleng (15) khusyuk mencatat di buku tulis. Buku pelajaran Bahasa Inggris tergeletak di depannya. Setengah tengkurap, dia telaten menuliskan kata-kata di buku tulis yang baru dibagikan sebelum belajar. Siswi kelas delapan itu menulis cara memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris.
Di depannya, guru mata pelajaran mengawasi pembelajaran. Sesekali sang guru memperhatikan cara penulisan murid-muridnya yang berjumlah empat orang, lalu membetulkan jika salah. Apalagi, murid yang belajar tidak banyak. Hanya empat orang dari total 35 murid sekelas Atuna.
”Bahasa Inggris susah. Paling suka belajar bahasa Indonesia karena sedikit gampang, he-he-he,” ucap Atuna tersenyum manis.
Meski begitu, Atuna begitu senang bisa belajar kembali. Jumat ini adalah hari kedua dia bisa belajar meski dalam kondisi seadanya. Dia bisa bertemu dengan tiga teman sekelasnya, guru-guru, dan bisa belajar kembali. Sebab, hampir sebulan sebelumnya dia dan seluruh siswa benar-benar berhenti belajar.
Konflik antara kelompok bersenjata dan aparat memaksa Atuna berdiam di rumah. Kampung Banti, tempat anak kedua dari lima bersaudara lahir dan besar itu, juga sempat dikuasai oleh kelompok bersenjata. Konflik berlarut-larut dan terus memakan korban, baik dari aparat, kelompok bersenjata, maupun warga sipil.
”Tinggal di rumah saja, tidak bisa sekolah, padahal sebentar lagi ujian (semester),” kata gadis ini. Dia bercita-cita terus melanjutkan sekolah sampai SMA. Sebab, dia ingin menjadi perawat agar bisa merawat orangtua nantinya. ”Sekolah itu penting. Itu masa depan to. Kalau punya ilmu, punya ijazah bisa kerja sama bantu orang.”
Atuna memang ingin terus bersekolah. Dia tidak ingin seperti rekan-rekannya yang asyik menjadi pendulang. Mendulang emas bisa mendapatkan uang secara singkat. Namun, baginya pendidikan jauh lebih penting.
Rekan Atuna, Etelia (15), juga ingin melanjutkan sekolah. Siswi kelas IX ini telah mengutarakan keinginannya kepada orangtua untuk lanjut SMA. Hanya, dia masih harus membantu keluarga untuk mendapatkan penghasilan. Cara termudah adalah dengan mendulag emas di kali bersama penduduk desa lainnya.
”Senin sampai Jumat sekolah. Sabtu sama Minggu baru ke Kali Kapur cari emas. Mendulang dari pagi sampai sore. Kalau bagus bisa dapat 2 gram, 5 gram. Bisa Rp 1 juta atau Rp 2 juta. Pakai beli beras, makanan, sama pakaian,” tutur Etelia.
Sulung tiga bersaudara ini biasanya berangkat ke kali pada pagi hari bersama ibu. Etelia menceritakan dengan detail proses mencari emas dengan mendulang, mulai dari peralatan, cara mendulang, membersihkan pasir, hingga memisahkan emas dan pasir.
Anak-anak dan emas
Kampung Banti, Kimbely, Opitawak, dan Utiniki memang terletak tidak jauh dari zona penambangan PT Freeeport Indonesia. Warga kampung, juga pendatang, berduyun-duyun memanfaatkan buangan hasil penyulingan yang mengalir ke Kali Kapur, sebutan warga setempat.
Tidak hanya warga dewasa, sebagian besar anak-anak usia sekolah, dari SD hingga SMP, menjadi pendulang emas saat libur di Sabtu dan Minggu. Di wilayah kampung ini hanya ada satu gedung sekolah yang sekaligus menjadi SD saat pagi dan SMP saat siang. Sekolah ini terletak di Kampung Banti.
Hampir sebagian besar anak-anak usia sekolah di kampung-kampung tersebut menjadi pendulang emas. Sejumlah anak menceritakan mereka mendulang emas untuk membantu orangtua. Sebagian merelakan meninggalkan bangku sekolah beberapa hari untuk bisa mendulang emas.
Emas memang berkah tidak terkira di wilayah Tembagapura. Sejak dekade 60-an, beberapa tahun setelah Papua masuk ke Indonesia, eksplorasi emas telah dimulai. Sejak saat itu pula konflik juga seakan tiada ujung. Mulai dari kemarahan Suku Amungme, suku besar di wilayah tersebut, yang tidak ingin gunung ”keramat” mereka, Grasberg, dieksploitasi ketika awal emas ditemukan. Lalu upaya perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka yang bertujuan ingin menghentikan eksploitasi di tanah Papua. Mereka ingin Papua merdeka dan mengatur sendiri wilayahnya.
Emas juga yang membuat tidak sedikit dari anak usia sekolah yang akhirnya hanya bersekolah sampai tingkat SMP. Apalagi, tidak ada sekolah lanjutan di sekitar kampung mereka. Untuk melanjutkan sekolah mereka harus ke kampung tetangga yang cukup jauh atau sekalian ke kota.
Lopes (22), warga Kimbely, mengaku sempat bersekolah hanya sampai SMP. Selepas lulus, dia ”fokus” menjadi pendulang emas. Sebab, mendulang emas memang menggiurkan. Jika rajin dan beruntung, dalam satu minggu bisa mendapat Rp 10 juta bahkan lebih. ”Tapi, sekarang saya bantu biaya adik yang kuliah. Biar kakaknya saja yang tidak sekolah,” kata Lopes.
Marcus Sombo, Kepala Sekolah SMP Negeri Banti, menyampaikan, murid di sekolahnya saat ini sejumlah 140 orang. Biasanya, ketika lulus, yang melanjutkan pendidikan ke SMA hanya setengah dari jumlah tersebut.
Tak lain mereka ingin menjadi pendulang emas. ”Kami maklumi karena pencaharian mereka adalah mendulang untuk bantu orangtua. Tapi, kami juga selalu kasih motivasi agar mereka mau melanjutkan pendidikan minimal hingga tamat SMA,” ujar Marcus.
Sesuai data Badan Pusat Statistik Kabupaten Timika 2016, secara umum rata-rata lama sekolah penduduk hanya sampai kelas III SMP atau lulus. Sementara tingkat partisipasi sekolah di Kabupaten Mimika paling tinggi di usia SD dan terus turun di usia SMP hingga SMA.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Mimika Jeni Ohestina Amani mengatakan, pihaknya sedang berusaha memperbaiki kualitas layanan pendidikan di Mimika, termasuk di Tembagapura. Salah satu fokus utamanya adalah mengirimkan dan mempersiapkan guru yang berkualitas dan mau benar-benar bertugas sepenuh hati.
”Untuk meningkatkan minat belajar, misalnya, guru saya perintahkan untuk mendatangi tempat mendulang dan mengajak siswa untuk bersekolah. Layanan pendidikan harus lebih baik kepada anak-anak,” ujarnya. Meski begitu, Jeni belum bisa memberikan data kondisi terakhir kualitas pendidikan di Tembagapura atau Mimika secara umum. Dia berkilah sedang menugaskan guru untuk mencatat perkembangan anak didik sebagai bahan evaluasi.
Pendidikan bagi anak-anak ini memang sebuah kemewahan. Bergram-gram emas lebih mudah mereka dapatkan jika dibandingkan dengan kenyamanan untuk melanjutkan pendidikan. Padahal, mereka adalah generasi emas yang akan memoles tanah mereka sendiri, menentukan masa depan tanah kelahiran mereka, tanah Papua.