Percaya Sang Bethara Sayangi Kami
Mengungsi lagi. Ya, puluhan ribu warga di sekitar Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Bali, harus kembali meninggalkan rumah dan harta benda mereka menuju pengungsian. Status Awas ditetapkan lagi pada 27 November setelah sejak 29 Oktober turun ke Siaga.
Sang Bethara Gunung Agung benar-benar erupsi dan masyarakat belajar akan tanda-tanda alam yang tak bisa dilawan. Mereka pun mengungsi secara mandiri dengan penuh kesadaran.
Wayan Ngalih (37) adalah salah satu warga yang merasa lega di antara 39 warga Banjar Pengalusan, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Mereka mengungsi dengan swadaya, mendatangi wantilan Kantor Desa Perbekel Julah, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, menaiki mobil bak terbuka serta kendaraan-kendaraan pribadi lainnya.
Ia bersama keluarganya tak lagi ambil pusing memikirkan sapi-sapinya dan harta-hartanya di rumah. Keselamatan nyawa dan kebersamaan keluarga bagi Ngalih menjadi hal utama kini.
"September lalu, tiyang sareng (bersama) keluarga mengungsi. Panik dan bingung. Tetapi, tiyang juga merasa malas di pengungsian karena gunung belum segera meletus dan menjadi tidak pasti. Nah, jani (sekarang) tiyang percaya, Gunung Agung sampun meletus, sampun ada abu dan asap tinggi. Nggih, keluarga sadar memang benar-benar harus mengungsi sekarang dan sing perlu bertanya lagi," kata Ngalih dengan tersenyum.
Yang Ngalih takutkan kini adalah erupsi besar Sang Gunung Agung memorakporandakan kampung tempat tinggalnya. Ia membayangkan betapa rumahnya hancur tergerus material vulkanik gunung.
Sambil jari-jarinya membuat kerajinan anyaman bambu, Ngalih berpikir dirinya bersama kerabat lainnya bakal lama lagi tinggal di pengungsian. Entah sampai kapan....
Kemalasan di tengah pengungsian status Awas sejak September lalu juga dialami Nengah Sukerti (45) dan Nengah Wija (50), warga Desa Banjar Bonyoh, Kecamatan Kubu, radius 6 kilometer dari kawah gunung. Kala itu keduanya tak benar-benar mengungsi karena pagi sampai sore, Sukerti dan Wija pulang untuk bertani. Malamnya, pulang ke pengungsian. Saat status Siaga, mereka berkemas dan bergegas pulang.
"Tapi, baru sebentar sekitar dua minggu merasakan enaknya tidur di rumah sendiri, eh, sekarang harus mengungsi lagi. Ya, tak apalah. Kami sekarang sudah lebih sadar dan tahu, memang harus mengungsi. Dan, ini semua demi keselamatan kami semua," ujar Sukerti.
Sukerti mengatakan, saat mengungsi pertama kali pada 22 September, ia sempat enggan dievakuasi karena merasa Gunung Agung baik-baik saja. Namun, setelah melihat adanya kepulan asap besar, Sukerti dan Wija jadi ngeri dan akhirnya mengungsi dengan sukarela.
Menganyam
Untuk membunuh rasa bosan dan cemas, kini para perempuan yang mengungsi mengisi hari-harinya dengan membuat anyaman bambu. Anyaman bambu dirangkai menjadi kukusan (untuk menanak nasi), atau membuat canang (wadah bunga untuk sesaji persembahyangan) dari daun kelapa.
Anyaman-anyaman itu dihargai Rp 2.000 per anyaman, cukup membantu menunjang hidup di pengungsian. Maklum, bantuan pangan tak lagi selancar September lalu.
"Dengan anyaman bambu, modal membeli bambu utuh yang belum dipotong-potong seharga Rp 7.000, kami mendapakan untung Rp 200.000. Nah, uang hasil keuntungan ini dibagi rata ke semua yang ikut menganyam. Lalu, sebagiannya lagi dikumpulkan untuk beli gas," cerita Ngalih sambil sesekali tertawa, dan bercanda dengan ibu-ibu lainnya.
Pemandangan serupa juga ada di pengungsian Desa Sidemen. Ibu-ibu menganyam dibantu bapak-bapak membelah bambu-bambu tipis sebagai bahan anyamannya. Lumayan, kata Desak Ayu Budiarti (26). Menganyam yang biasanya dilakukan di rumah masing-masing, kini bisa dikerjakan bersama sambil bercanda-canda.
Mereka semua tenang karena hampir semua pos pengungsian tak lagi berada di tenda-tenda. Ini menjadi kesepakatan 28 kepala desa yang tergabung dalam Pesemetonan Jagabaya Gunung Agung agar menghindari penggunaan tenda.
Pengungsian harus berada di dalam gedung atau ruangan, baik di banjar-banjar maupun gedung olahraga. Mereka tertib dan tak lagi mengenal kata panik.
Hanya bicara soal pengadaan pangan, kondisinya berbeda jauh dengan lancarnya bantuan logistik status Awas pertama. Ngalih, yang ditunjuk sebagai koordinator logistik, mendapat tugas mengambil bahan makanan untuk kebutuhan seminggu. Di antaranya 25 kg beras, 15 kardus mi instan, dan 21 liter minyak goreng. Uang hasil keuntungan anyaman itu untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
Kelegaan yang panjang juga terlihat dari wajah Wayan Dama (64), warga Bebandem, Kabupaten Karangasem, di pengungsian GOR Kompyang Sujana, Kota Denpasar, bersama puluhan tetangganya. Dama dan tetangga merupakan bagian dari beberapa pengungsi yang masih harus bertahan mengungsi sejak status Awas pertama. Rumah mereka berada di kawasan rawan bencana radius 6 kilometer.
I Wayan Suparni (36), warga Desa Peringsari, Kecamatan Selat, juga terlihat lebih santai. Ia pun bagian dari pengungsi mandiri yang menyepakati untuk segera mengosongkan rumah jika kentungan di desanya berbunyi.
"Kentungan dibunyikan Minggu malam sebelum Gunung Agung berstatus Awas. Kami akhirnya berkumpul Senin pagi dan mengungsi bersama warga," katanya.
Saat mengungsi, setiap keluarga akhirnya bisa melaluinya secara mandiri. Saat berkumpul bersama di pos pengungsian, semua pengungsi bahu-membahu menjadikan hunian sementara itu tempat yang nyaman.
Status Awas pertama menjadikan mereka belajar dan semakin mengerti, ancaman bisa datang setiap saat. Tak hanya itu, mereka pun semakin sadar tinggal di lingkaran bencana gunung api.
Ngalih, Sukerti, Wija, Dama, dan warga pengungsian tentu saja rindu pulang. Hanya kepasrahan dan kepatuhan yang mampu membendung kerinduan itu sampai Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan aktivitas Gunung Agung stabil dan warga dapat kembali pulang.