Ekonomi Semakin Sulit, Warga Miskin Harapkan Subsidi
SYAIRA (39), pedagang makanan, minuman ringan, dan rokok, lebih banyak melamun di warungnya, Sabtu (2/12) siang itu. Dalam tiga jam, ia hanya melayani lima pembeli yang terdiri atas anak-anak berusia belasan tahun.
Nilai makanan atau minuman yang mereka beli masing-masing berkisar Rp 2.000-Rp 3.000. Hal seperti itu tidak hanya dialami Syaira.
Kompas berkeliling dan melihat ada lebih dari 20 warung yang terdapat di Rumah Susun (Rusun) Pesakih, Daan Mogot, Jakarta Barat, itu. Namun, hanya ada 7 warung yang buka. Warung- warung itu berada di lantai dasar rusun.
Dagangan yang dijual lebih kurang sama dan tidak bervariasi. Hanya makanan, minuman ringan, dan rokok. Makanan yang dijual adalah bakso, mi ayam, nasi sayur, pecel ayam, dan lain-lain.
Sulit sekali berjualan di sini. Tetapi, tidak ada pilihan lagi. Yang penting saya sudah berusaha buat bekerja.
”Sulit sekali berjualan di sini. Tetapi, tidak ada pilihan lagi. Yang penting saya sudah berusaha buat bekerja,” kata Syaira di warungnya di Rusun Pesakih.
Apabila sepi pembeli, Syaira hanya dapat membawa pulang Rp 100.000 per hari.
Hasil penjualannya itu masih harus dipotong Rp 75.000-Rp 80.000 untuk belanja barang dagangan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Praktis, hanya Rp 20.000-Rp 25.000 yang dapat dibawanya pulang setiap hari.
Sementara itu, Syaira harus membayar Rp 500.000 untuk biaya sewa rusun, air, dan listrik. Jika menghitung dari laba yang diperoleh, jumlah itu terasa berat karena ia hanya bisa mengantongi sekitar Rp 600.000 tiap bulan.
”Beruntung suami saya bekerja, jadi keuntungan jualan ini bisa untuk uang jajan anak,” katanya.
Saat tengah melamun, seorang pria berusia sekitar 50 tahun datang dan membeli satu bungkus rokok kretek di warung Syaira. ”Nyatet dulu, ya. Saya belum mendapat proyek bangunan lagi,” kata pria itu.
Ketika pria itu beranjak meninggalkan warung, Syaira mengambil sebuah buku catatan dari salah satu etalasenya. Isi buku itu adalah catatan utang dari pelanggannya.
”Ini ada yang sudah dua bulan sudah tidak bayar. Lumayan ini ada Rp 200.000, kan bisa untuk modal beli dagangan,” ujar Syaira sambil menunjuk ke arah buku catatannya.
Selain warga sekitar, beberapa pegawai unit pengelola rumah susun (UPRS) juga ada yang berutang kepada Syaira.
Tidak hanya Syaira yang kesulitan berdagang di rusun itu. Yanto (40), pedagang pecel ayam, memiliki pendapat yang sama dengan Syaira.
”Di sini, pembelinya sedikit. Kebanyakan adalah keluarga-keluarga yang di rumahnya biasanya masak,” kata Yanto. ”Berbeda dengan tempat saya dulu. Banyak pekerja proyek. Saya bisa dapat dua sampai tiga kali lipat dari berjualan di sini,” katanya.
Yanto adalah warga relokasi dari Kali Angke, Duri Utara, Jakarta Barat. Sebelumnya, ia berjualan bakso di dekat Stasiun Duri, Jakarta Barat.
Ia menceritakan, di tempatnya berjualan dulu, dagangannya sangat laris. Ia bisa membawa pulang laba kotor Rp 1,5 juta setiap hari, sedangkan di akhir pekan, ia bisa meraup laba kotor Rp 3 juta.
”Dulu bisa gak berhenti kerja saya. Pukul 06.00 WIB saya mulai ke pasar. Setelah itu, saya bikin bakso sampai pukul 12.00. Itu saya bikin 50 kilogram dan selalu habis,” kata Yanto.
”Nanti, pukul 15.00 saya mulai jualan. Sekitar pukul 16.00 orang sudah mulai mengantre. Nah, itu saya bisa tidak berhenti menyiapkan bakso untuk pelanggan sampai pukul 20.00.”
Kini, Yanto lebih sering duduk mengecek telepon genggamnya daripada sibuk melayani pembeli.
Sepanjang siang itu, ada sekitar 7 pembeli yang ia layani. ”Lebih banyak santainya kalau di sini,” katanya. ”Sabar saja deh, pokoknya. Rezeki sudah ada yang atur.”
Yanto mengatakan, saat ini, memperoleh keuntungan Rp 200.000-Rp 300.000 per hari. Padahal, ia menanggung beban seorang istri dan 2 anak.
Setiap bulan, Yanto dibebani sekitar Rp 1.000.000 untuk sewa rusun, air, dan listrik. Biaya paling mahal, yaitu sekitar Rp 500.000, terdapat pada listrik karena ia memiliki dua kulkas untuk menyimpan daging ayam untuk dagangannya. Dalam tiga bulan ini, Yanto juga belum membayar sewa.
Berdasarkan informasi dari Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) Tambora, pada Oktober lalu, terdapat 279 rusunawa yang belum membayar sewa dari 640 unit yang ada di Rusunawa Pesakih.
Total tunggakan yang tercatat adalah Rp 529 juta. Para penghuni baru menyicil Rp 59 juta dari total tunggakan itu.
Mayoritas warga menunggak pembayaran karena alasan kesulitan ekonomi, terlebih setelah berpindah tempat tinggal. Warga rusun agar diberi kelonggaran.
Kepala UPRS Tambora Sarjoko mengatakan, mayoritas warga menunggak pembayaran karena alasan kesulitan ekonomi, terlebih setelah berpindah tempat tinggal. Warga rusun agar diberi kelonggaran karena diperbolehkan untuk mencicil tunggakan sewa itu.
Menanggapi hal tersebut, Nur (38), pedagang minuman ringan, berkomentar.
”Bagaimana mau membayar sewa? Untuk membayar cicilan saja saya kesulitan,” kata Nur, di warungnya pada siang itu. Sepanjang siang itu, Nur baru memperoleh Rp 20.000 dari menjual 5 gelas es teh.
Di tengah kesulitan warga untuk membayar sewa dan memenuhi kehidupan sehari-hari, Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta 2018 meningkat 9,6 persen, menjadi Rp 77,1 triliun, dari APBD 2017 sebesar Rp 70,19 triliun.
Di dalam jumlah itu, anggaran kunjungan kerja DPRD DKI Jakarta 2018 justru meningkat menjadi Rp 64,7 miliar. Padahal, setahun yang lalu, anggaran untuk kunjungan kerja itu hanya Rp 28,7 miliar.
Penyertaan modal untuk badan usaha milik daerah (BUMD) justru dihapus. BUMD harus mencari sumber dana lain untuk menjaga stok dan stabilitas harga pangan. Dua tahun terakhir, BUMD berhasil menjaga kestabilan harga pangan, terutama pada saat hari raya (Kompas, 16 November 2017).
Masyarakat kehilangan fasilitas, seperti pasar murah setiap bulan, yang menjadi program di rusun dengan dihapusnya penyertaan modal dari BUMD.
”Orang program sudah bagus. Memberi kemudahan bagi kami. Kok malah dihilangkan, ya? Semoga tidak jadi dan subsidi untuk pangan murah masih terus ada,” kata Syaira.
Syaira merasa sangat terbantu dengan adanya pasar murah itu. Ia dapat memperoleh 1 kilogram daging sapi, 15 telur, 1 ayam potong, dan 5 kilogram beras dengan harga Rp 85.000.
Harga itu jauh lebih murah dibandingkan membeli barang-barang di pasar karena untuk mendapat 1 kilogram daging sapi saja, Syaira memerlukan Rp 35.000-Rp 40.000.
Terkait dihapusnya penyertaan modal dari BUMD, kepada Kompas (16/11) Kepala Biro Perekonomian DKI Jakarta Sri Haryati mengatakan tetap berkomitmen untuk menjaga stabilasasi harga pangan.
Komunikasi antara pemerintah dan BUMD untuk mengevaluasi kemampuan dana mereka dalam melaksanakan tugas stabilisasi harga juga terus dilakukan.
Komunikasi antara pemerintah dan BUMD untuk mengevaluasi kemampuan dana mereka dalam melaksanakan tugas stabilisasi harga juga terus dilakukan.
Sri meminta masyarakat tidak khawatir karena program subsidi pangan tidak dihentikan. Penerima subsidi pangan justru ditambah dalam RAPBD 2018 karena tidak hanya penghuni rumah susun dan pemilik Kartu Jakarta Pintar saja yang bisa memperoleh subsidi itu, tetapi juga lansia, penyandang disabilitas, dan buruh dengan penghasilan setara upah minimum provinsi. Bahkan, varian subsidinya ditambah. Tidak hanya beras, daging ayam, dan daging sapi, tetapi juga ada ikan dan susu. (DD16)