Semua Agama Diimbau Lindungi Kelompok Minoritas
DHAKA, SABTU — Paus Fransiskus merampungkan lawatan ke Asia, Sabtu (2/12), setelah ia menerima sekelompok kecil pengungsi Rohingya di Dhaka, Bangladesh, yang memintanya untuk terus memperjuangkan nasib mereka agar bisa kembali ke negara mereka.
Kelompok kecil Rohingya itu adalah bagian dari sekitar 700.000 pengungsi etnis minoritas Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut sebagai ”pembersihan etnis” di Myanmar.
Pertemuan dengan belasan Muslim Rohingya itu sarat dengan pesan simbolik Paus, yakni agar semua agama di dunia, di mana pun mereka menjadi mayoritas, untuk wajib memberikan perlindungan terhadap kaum minoritas.
Pertemuan dengan belasan utusan Muslim Rohingya itu sarat dengan pesan simbolik Paus, yakni agar semua agama di dunia, di mana pun mereka menjadi mayoritas, untuk wajib memberikan perlindungan terhadap kaum minoritas.
Pemimpin Gereja Katolik Roma Sedunia itu pada Sabtu ini akan berbicara di depan para mahasiswa di Dhaka, ibu kota Bangladesh, dan mengunjungi rumah sakit di Dhaka yang dikelola oleh para suster dari Misionaris Cinta Kasih, tarekat yang didirikan oleh mendiang Bunda Teresa (Mother Teresa of Calcuta).
Paus Fransiskus adalah tokoh yang sangat dikenal karena terus memperjuangkan hak-hak pengungsi sejak terjadinya gelombang pengungsian skala besar dari Timur Tengah atau Dunia Arab ke Eropa dua tahun silam.
Paus Fransiskus adalah tokoh yang sangat dikenal karena terus memperjuangkan hak-hak pengungsi sejak terjadinya gelombang pengungsian skala besar dari Timur Tengah atau Dunia Arab ke Eropa.
Ia juga telah berulang kali menyatakan dukungannya yang kuat untuk kelompok minoritas Muslim Rohingya, kaum teraniaya yang disebutnya sebagai "saudaraku laki-laki dan perempuan".
Dalam lawatan sebelumnya di Myanmar, negara asal para pengungsi Rohingya itu, Paus menempuh jalur diplomatik. Ia meminta para pemimpin Buddhis mengalahkan ”prasangka dan kebencian” tanpa menyebut khusus kata ”Rohingya”.
Paus sangat menjaga perasaan pemerintah dan warga Myanmar dengan menghindari referensi langsung ke Rohingya ketika ia berpidato di depan umum.
Pemerintah dan warga ”asli” Myanmar yang mayoritas Buddhis tidak pernah menyebut Rohingya, kecuali dengan sebutan ”Bengali”, yang menurut mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh. Namun, Paus pun tak menyebut kata ”Bengali” untuk merujuk Rohingya.
Paus menerima sekelompok kecil pengungsi Rohingya dalam sebuah pertemuan yang sangat emosional di Dhaka. Mereka berharap Paus terus membela hak-hak mereka dan memperjuangkan agar mereka bisa kembali lagi ke Myanmar.
Ketika tiba di Bangladesh, Paus membahas masalah ini secara langsung. Pada Jumat (1/12), Paus menerima sekelompok kecil pengungsi Rohingya yang ingin bertemu dengannya dalam sebuah pertemuan yang sangat emosional di Dhaka.
Kelompok kecil ini berharap Paus terus membela hak-hak mereka dan memperjuangkan agar mereka bisa kembali lagi ke Myanmar.
Salah seorang dari 19 warga Muslim Rohingya itu adalah gadis berusia 12 tahun yang kehilangan semua anggota keluarganya akibat kekerasan di desa asalnya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar utara.
”Tragedi Anda sangat berat, dahsyat, dan kami pun merasakannya,” kata Paus yang terus memperlihatkan rasa keprihatinannya yang mendalam kepada kaum minoritas Muslim Rohingya yang terusir itu.
”Atas nama semua orang yang telah menganiaya Anda, yang telah melukai Anda, dalam dunia yang telah kehilangan kepeduliannya, saya ingin meminta maaf kepada Anda semua.”
Paus dengan tegas menyebut mereka sebagai ”Rohingya”. Itu untuk pertama kalinya Paus menyebut kata ”Rohingya” dalam lawatannya ke Asia, yang dimulai dari Yangon, Myanmar, pada Senin (27/11).
Uskup Agung Yangon Mgr Charles Maung Bo telah menyarankan Paus untuk menghindari penyebutan kata ”Rohingya” karena di kalangan warga dan Pemerintah Myanma, tidak dikenal etnis tersebut, kecuali ”Bengali”.
Menurut Uskup, menyebut kata ”Rohingya” bisa mengobarkan ketegangan, mungkin juga tekanan terhadap umat Katolik, kelompok minoritas yang lainnya di Myanmar, di samping minoritas Muslim Rohingya.
Paus Fransiskus sempat mendapat kritik dari beberapa aktivis hak asasi manusia dan pengungsi karena ia tak berhasil menyebut kata ’Rohingya’ secara terbuka dalam kunjungannya di Myanmar.
Para penasihat Paus mengatakan, sebutan ”Rohingya” sangat sensitif secara politis di negara yang mayoritas penduduknya adalah Buddhis. Bangsa itu tidak mengenal etnis Rohingya.
Terkait penghindaran sebutan ”Rohingya” di Myanmar, Paus sempat mendapat kritik dari beberapa aktivis hak asasi manusia dan pengungsi karena ia tak berhasil menyebut secara terbuka.
Namun, ia sempat bertemua Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing di Wisma Keuskupan di Yangon dan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, di Naypyidaw.
Saat berada di Bangladesh, Paus meminta upaya-upaya internasional yang amat ”menentukan” agar ”krisis berat” yang dialami ”saudaraku laki-laki dan perempuan” Rohingya segera berakhir.
Pada Sabtu ini Paus bertemu dengan pasien-pasien yang dirawat para biarawati dari Misionaris Cinta Kasih di Dhaka. Di sini sekolah dan klinik kesehatan dikelola gereja Katolik khusus untuk membantu rakyat miskin.
Saat berada di Bangladesh, Paus meminta upaya-upaya internasional yang amat ’menentukan’ agar ’krisis berat’ yang dialami minoritas Rohingya di Myanmar segera berakhir.
Sekitar 150 orang dirawat di Rumah Sakit Bunda Teresa, di antaranya Ananda Hira, pasien gangguan ginjal yang menerima dialisis yang tidak dapat dia membiayai perawatan secara pribadi.
”Saya yakin jika Paus menyentuh kepala saya dan berdoa untuk saya, saya akan disembuhkan,” katanya. ”Tuhan pasti mendengarkan doanya.”
Paus kembali ke Roma pada Sabtu (2/12) sore setelah mengadakan perayaan misa di lapangan terbuka di Bangladesh, sama seperti di Myanmar. Di dua negara itu, Katolik merupakan kelompok minoritas.
Katolik di Bangladesh hanya membentuk 0,5 persen terhadap total populasi 160 juta dengan mayoritas penduduknya adalah Muslim. (AFP/REUTERS/AP)