Bertaruh Nyawa di Sungai demi Pendidikan
SEBELAS tahun sudah Rahmadini (17), siswa SMA Negeri 8 Palangka Raya, mengendarai ces atau perahu mesin kecil untuk pergi ke sekolah. Mereka berjibaku dan bertaruh nyawa untuk bisa datang ke sekolah tepat waktu.
Waktu menunjukkan pukul 6.00 Wita, Rahmadini bersama kawannya Hendri Yadi (17) sudah bersiap di pinggir dermaga menunggu pemilik ces yang lewat.
Ia membawa sebotol penuh bensin untuk merayu pemilik ces agar mau mengantarkan mereka ke sekolah. Hal itu dilakukan karena biasanya perahu ces hanya digunakan untuk pergi ke kebun dan sekolah tidak memiliki perahu khusus untuk mengantar siswanya.
“Saya saja yang bawa, mang. Kasihan amang nanti capek,” rayu Rahmadini kepada pemilik perahu mesin.
Untuk menuju sekolah, murid-murid harus melewati kanal sepanjang sekitar lima kilometer. Kanal yang dibangun tahun 1980-an awalnya digunakan untuk kebutuhan transportasi perkebunan. Lebar kanal itu hanya 4 meter dengan kedalaman sekitar tiga meter.
Kanal itu berakhir di Sungai Kahayan, dengan lebar 500 meter dan berarus deras. Arusnya makin deras, jika masuk musim hujan yang disertai angin.
Seperti pagi itu, perahu Rahmadini harus melawan angin. Setiap kali berpapasan dengan perahu lain dari arah berlawanan, Hendri dan pemilik kelotok harus menurunkan kecepatan.
Namun perjuangan mereka belum berakhir. Mereka harus melalui jalan becek penuh lumpur untuk bisa sampai ke gerbang sekolah.
Perahu pun berguncang hebat kena gelombang air yang muncul karena simpangan perahu. Untung saja Rahmadini dan Yadi menggunakan jaket, sehingga percikan air tidak langsung mengenai seragam mereka.
Kapal serasa akan tenggelam karena jarak tepi perahu dengan air sungai hanya 10 cm. Jika ombak lebih besar datang mungkin perahu akan basah kemasukan air.
Sekitar 20 menit berselang, mereka akhirnya sampai ke sekolah. Namun perjuangan mereka belum berakhir. Mereka harus melalui jalan becek penuh lumpur untuk bisa sampai ke gerbang sekolah.
Sekolah mereka seperti rumah panggung. Tiang-tiang penyangga panjangnya tiga meter. Hanya ada tiga kelas di sekolah itu ditambah ruang guru yang bercampur perpustakaan.
Lapangan tempat mereka bermain bola, bola voli, dan bulu tangkis menjadi seperti kolam renang saat itu karena luapan Sungai Kahayan. Selama musim hujan mereka tidak bisa melaksanakan olah raga di lapangan.
Terkadang guru-guru harus datang terlambat karena sama sekali tidak mendapatkan perahu untuk ke sekolah, apalagi sebagian besar dari mereka tinggal di Palangkaraya.
Tak hanya para murid, guru-guru dan kepala sekolah pun harus menggunakan kelotok setiap hari untuk ke sekolah. Terkadang guru-guru harus datang terlambat karena sama sekali tidak mendapatkan perahu untuk ke sekolah, apalagi sebagian besar dari mereka tinggal di Palangkaraya.
Sekolah mereka terletak di Kelurahan Kameloh Baru yang jaraknya 23,8 kilometer dari Kota Palangkaraya. Jarak yang cukup jauh itu membuat guru-guru harus menggunakan motor yang kemudian diparkirkan di dermaga.
Jalur sungai sebenarnya bukan satu-satunya akses menuju ke sekolah. Terdapat jalan darat namun saat ini tidak lagi bisa dilalui kendaraan atau pun dengan berjalan kaki. Jalan sudah rusak dan sebagian sudah kebanjiran.
“Ini masih lebih baik, biasanya kalau musim hujan, air bisa menyentuh bibir lantai di koridor,” ungkap salah satu guru SMA Negeri 8 Palangka Raya, Frista Rempai Sadek.
Hal yang sama juga dirasakan Nur Himah (15), Kelas X SMA Negeri 8 Palangka Raya. Saat menyusuri kanal dan sungai ia suka menutup wajah dengan jilbabnya untuk menghalangi sengatan matahari.
“Kebetulan bapak punya kelotok untuk ke kebun jadi setiap hari saya dijemput bapak,” ungkap Nur.
Tidak hanya soal jalur menuju sekolah yang jadi persoalan. Tempat para siswa menimba ilmu pun juga sangat sederhana.
Tidak hanya soal jalur menuju sekolah yang jadi persoalan. Tempat para siswa menimba ilmu pun juga sangat sederhana.
SMA Negeri 8 Palangka Raya hanya memiliki tiga kelas dengan jumlah murid sebanyak 39 orang.
Ruang lain hanya satu ruang guru dan satu ruang perpustakaan. Bangunannya terbuat dari kayu dengan tinggi sekitar 1,5 meter dari dasar tanah untuk menghindari banjir.
Sekolah itu memiliki satu komputer saja yang jarang digunakan karena listrik terkadang menyala kadang tidak. Padahal, wilayah Kelurahan Kameloh Baru hanya berjarak 23,8 kilometer dari pusat Kota Palangkaraya.
Kepala Sekolah SMA Negeri 8 Muhammad Rifani mengatakan, fasilitas di sekolahnya sangat minim. Bahkan, untuk buku pelajaran dirinya harus meminjam buku dari sekolah lain yang memiliki kelebihan buku atau membuat duplikatnya lalu dibagikan ke peserta didik.
“Sudah beberapa kali kami meminta bantuan ke dinas terkait baik di kota maupun di provinsi, bantuan ada tetapi belum mencukupi. Kami juga sudah mengirim proposal ke mana-mana untuk meminta bantuan,” ungkap Rifani.
Buku-buku tidak bisa terpenuhi karena dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan sedikit.
Tenaga pengajarnya pun terbatas. Sekolah itu, lanjut Rifani, hanya memiliki tujuh orang guru termasuk dirinya yang ikut mengajar mata pelajaran. Sudah enam tahun sekolah itu kekurangan guru.
Kepala Bidang Pembinaan SMA Dinas Provinsi Kalimantan Tengah Ahmad Syaifudi mengatakan, pihaknya sudah berupaya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Namun, anggaran menjadi salah satu kendala.
“Seperti di Kameloh Baru, buku-buku tidak bisa terpenuhi karena dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan sedikit. Dana BOS itu kan diberikan per kepala, jadi karena muridnya hanya 39 ya anggaran mengikuti itu,” ungkap Syaifudi.
Membuat pendidikan yang lebih baik adalah tugas kita semua, pemerintah, dan masyarakat sama-sama berupaya.
Syaifudi berharap, kepala sekolah dan komite sekolah bisa lebih kreatif dalam membangun pendidikan yang baik untuk peserta didik. “Membuat pendidikan yang lebih baik adalah tugas kita semua, pemerintah dan masyarakat sama-sama berupaya,” ujarnya.
Bank Indonesia menjadi lembaga yang ikut membantu sekolah itu. Mereka datang membawa sebuah kelotok dengan mesin yang cukup besar dengan kapasitas penumpang mencapai 10 orang.
Kelotok itu, mampu membawa sekitar 50 orang anak yang tinggal di seberang sungai untuk bersekolah. Namun, harus lima kali bolak-balik untuk bisa mengantar semuanya.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Kalmantan Tengah Wuryanto mengatakan, transportasi merupakan salah satu penunjang peserta didik untuk bisa belajar dengan baik. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk belajar termasuk transportasi sampai ke sekolah.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk belajar termasuk transportasi sampai ke sekolah.
Terdapat tiga sekolah yang sudah diberikan bantuan perahu mesin besar dari Bank Indonesia, yakni SD Gaung Baru, SMP Panjehang yang keduanya berada di Kelurahan Rakumpit, dan SMA N 8 Palangka Raya di Kelurahan Kameloh Baru.
“Tugas kami sebenarnya lebih banyak pada bantuan dan pendampingan di sektor ekonomi, tetapi proposal yang ada di kantor hampir 60 persen dari sektor pendidikan,” ungkap Wuryanto.
Kepala Bidang Pembinaan SMA Dinas Provinsi Kalimantan Tengah Ahmad Syaifudi mengatakan, pihaknya sudah berupaya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Namun, anggaran menjadi salah satu kendala.
Transportasi masih menjadi persoalan dan pekerjaan rumah bagi pemerintah dan hal itu juga jadi penunjang penting dalam dunia pendidikan.
“Transportasi masih menjadi persoalan dan pekerjaan rumah bagi pemerintah. Hal itu juga jadi penunjang penting dalam dunia pendidikan,” ungkap Syaifudi.
Syaifudi berharap, kepala sekolah dan komite sekolah bisa lebih kreatif dalam membangun pendidikan yang baik untuk peserta didik. “Membuat pendidikan yang lebih baik adalah tugas kita semua, pemerintah dan masyarakat sama-sama berupaya,” ujarnya.
Palangkaraya merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Bahkan, kota yang dijuluki kota cantik itu sedang dikaji sebagai salah satu kandidat kuat menjadi ibu kota negara. Namun, banyak fakta mengejutkan di daerah pinggiran kota, khususnya pendidikan, yang harus dibenahi.