Daerah Bersiap Atasi Difteri
MALANG, KOMPAS — Sejumlah daerah bersiap untuk mengantisipasi penyebaran penyakit difteri. Hal itu menindaklanjuti penetapan kejadian luar biasa penyakit menular yang disebabkan bakteri itu di 19 provinsi di Indonesia akibat masih terjadi kesenjangan cakupan imunisasi.
Seperti diberitakan Kompas, Senin (4/12), Kementerian Kesehatan sedang mengevaluasi kebenaran laporan merebaknya kasus infeksi difteri di sejumlah daerah. Berdasarkan laporan yang diterima Kementerian Kesehatan, kejadian luar biasa (KLB) difteri terjadi di 19 provinsi di Indonesia. Pada Januari-Desember 2017, jumlah kasus difteri telah mencapai 450 kasus dengan penderita terbanyak berusia 5-9 tahun.
Untuk mencegah penyebaran difteri, Dinas Kesehatan Kota Malang, Jawa Timur, mempersilakan warga datang ke puskesmas untuk diimunisasi. Imunisasi difteri selama ini gratis sesuai dengan program pemerintah di bidang kesehatan. Selain itu, tim kesehatan dari puskesmas juga ikut memantau sekolah-sekolah yang terkena wabah difteri.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang Asih Tri Rachmi mengatakan, selama ini sejumlah sekolah diduga terjangkit wabah difteri. Sekolah itu antara lain SMA Negeri 3, SMP Negeri 4, dan yang terakhir SD Santa Maria. Khusus untuk SD Santa Maria masih dalam proses pengecekan. Di SMAN 3 dan SMPN 4, sebagian siswa atau guru yang diperiksa ternyata hanya karier atau pembawa bibit difteri. Guna mencegah meluasnya wabah, imunisasi telah dilakukan di sekolah-sekolah tersebut.
Guna mencegah meluasnya wabah, imunisasi telah dilakukan di sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Asih, masih ada siswa yang tak bisa diimunisasi karena orangtua mereka melarang. Dalam kasus seperti itu, dinas kesehatan, ujarnya, tak bisa memaksa. Pihaknya hanya mengimbau agar putra putri mereka bisa mendapatkan imunisasi gratis di puskesmas.
Asih mengakui, wabah difteri muncul di Malang karena cakupan imunisasi belum 100 persen. Beberapa orangtua masih menolak anaknya diimunisasi. Imunisasi lengkap seharusnya sudah diterima bayi ketika berumur 9 bulan. Menginjak usia 1,5-2 tahun, anak diimunisasi ulang. Imunisasi difteri dan tetanus diulang lagi saat mereka masuk sekolah dasar. Oleh karena itulah, kini puskesmas memberikan imunisasi ulang di sekolah-sekolah yang diduga terjangkit difteri.
Kurang terbuka
Di Nganjuk, Jawa Timur, masyarakat cenderung tidak terbuka atas kasus kemunculan difteri. Contohnya, warga menganggap kasus itu terjadi karena pengontrak rumah mendapatkan difteri dari daerah asalnya, bukan dari Nganjuk.
Kepala Bidang Pencegahan, Pemberantasan Penyakit, dan Kesehatan Lingkungan (P3KL) Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk Saifulloh, yang dihubungi, Minggu (3/12), mengakui, sikap anti pada imunisasi yang dilakukan sebagian warga saat pemerintah melaksanakan imunisasi sempat menghambat.
Sikap anti pada imunisasi yang dilakukan sebagian warga saat pemerintah melaksanakan imunisasi sempat menghambat.
Saat kasus itu muncul, P3KL langsung melakukan persuasi sehingga akhirnya orangtua bersedia agar anak-anaknya diimunisasi. Hal itu setelah muncul kasus terduga difteri dan berujung pada meninggalnya seorang pasien. ”Peristiwa itu juga mendorong tenaga kesehatan kami menggencarkan program imunisasi. Akhirnya bisa teratasi. Tahun ini target inunisasi bisa terpenuhi 100 persen,” katanya.
Nganjuk ditetapkan mengalami KLB difteri, jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri, yang seharusnya sudah punah di Indonesia sejak tahun 1970-an menyusul gencarnya imunisasi. Temuan terduga difteri berlangsung sejak September 2017. Ada delapan pasien terduga difteri, tetapi akhirnya ada satu pasien yang positif, bahkan dengan kematian.
Kasus Faliq Ubaydillah, (3) anak balita asal Bojonegoro yang tinggal di rumah kontrakan di Desa Kapas, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, yang dilaporkan meninggal akibat penyakit difteri, waktu itu langsung jadi perhatian. Dinas Kesehatan Nganjuk, ujar Saifulloh, melakukan pemantauan secara khusus di lingkungan Faliq saat kasus itu muncul September 2017. Dipastikan tidak ada warga yang tertular. Akan tetapi, tercatat ada delapan pasien terduga difteri tahun ini, menurun dibandingkan dengan tahun lalu sebanyak 12 pasien terduga. Namun, tahun ini ada satu pasien yang positif, yaitu Faliq.
”Secara definisi kesehatan memang sudah KLB, dari sudut pemerintahan masih ada pertimbangan lain. Namun, waktu itu kami juga melakukan upaya maksimal dengan mengamati lingkungan sekitar, memastikam tidak ada kasus sejenis di lingkungannya,” tutur Saifulloh.
Ia menjelaskan, imunisasi tetap merupakan cara yang ampuh untuk mencegah kebangkitan difteri. Karena itu, harus diberikan cara atau panduan bagi petugas yang menghadapi masyarakat yang menolak imunisasi. Model imunisasi melalui sekolah merupakan metode efektif untuk menjaring siswa ikut program imunisasi.
Imunisasi tetap merupakan cara yang ampuh untuk mencegah kebangkitan difteri.
Sementara itu, sejumlah pihak belum waspada terhadap kemunculan kembali difteri. Ketua RW di Desa Kapas mengaku tidak tahu-menahu Nganjuk dinyatakan KLB difteri karena kasus itu tidak berada di wilayahnya. ”Di antara pembicaraan antarketua RW, sebanyak delapan RW tidak muncul informasi itu,” ucap Suyanto, Ketua RW 01 di Kecamatan Sukomoro, Desa Kapas, Kabupaten Nganjuk.
Antisipasi
Di Kalimantan Selatan, dinas kesehatan provinsi tersebut memastikan tidak ada kejadian luar biasa difteri di daerahnya tahun ini walaupun ada satu kasus terduga difteri di Kota Banjarbaru. Untuk mencegah penyakit menular tersebut, cakupan imunisasi dasar lengkap akan terus ditingkatkan hingga mencapai 95 persen.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kalsel Muhammad Muslim, di Banjarmasin, Sabtu (2/12), mengemukakan, kasus dengan gejala klinis ke arah difteri (terduga difteri) di Banjarbaru dilaporkan terjadi pada seorang anak, beberapa waktu lalu. Namun, setelah sampelnya diambil dan dikirim ke laboratorium, hasilnya negatif.
”Karena hasil laboratoriumnya negatif, penyakit tersebut pun terdiagnosis bukan difteri sehingga tidak dinyatakan sebagai kejadian luar biasa,” kata Muslim, yang didampingi Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kalsel dr Sriwahyuni.
Menurut Sriwahyuni, anak yang diduga terinfeksi difteri di Banjarbaru berobat rawat jalan di sebuah klinik. Penyakitnya ditangani dokter spesialis anak sampai sembuh. ”Dari anamnesis, anak tersebut waktu bayi tidak mendapat imunisasi difteri,” ujarnya.
Oleh karena itu, untuk mencegah penyakit difteri di Kalsel, pemerintah daerah melalui dinas kesehatan terus berupaya meningkatkan cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 0 sampai 11 bulan, hingga 95 persen. Hal itu mengingat kasus difteri pernah dilaporkan terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan pada 2013 dan Kota Banjarmasin pada 2011.
”Untuk cakupan imunisasi dasar lengkap, 10 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel sudah mencapai di atas 80 persen. Tahun lalu (2016), cakupan imunisasi dasar lengkap di Kalsel mencapai 87 persen. Perlu upaya bersama untuk terus meningkatkannya,” tutur Sriwahyuni.
Adapun tantangan dalam meningkatkan cakupan imunisasi dasar lengkap di Kalsel antara lain perilaku masyarakat yang belum menganggap imunisasi sebagai kebutuhan, petugas penyuluh kesehatan kurang bergerak optimal, pencatatan dan laporan petugas belum bagus, serta ada juga penolakan imunisasi dari sebagian kecil masyarakat.
”Untuk itu, kami menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk para tokoh agama untuk terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi. Ulama di Kalsel juga sudah menyatakan bahwa imunisasi itu wajib bagi setiap anak,” kata Sriwahyuni. (NIT/ODY/JUM)