Menyembelih Kebo Ketan Menyelamatkan Hutan Alas Begal
Oleh
Aloysius B Kurniawan
·4 menit baca
Sebanyak 873 seniman dan warga beriringan mengarak patung kerbau besar yang ditutupi selubung kain putih. Harum dupa mewangi di sepanjang perjalanan dari Sendang Marga di Alas Begal menuju Lapangan Desa Sekar Putih, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Minggu (3/12) pagi. Mereka menggelar Upacara Kebo Ketan yang kali ini mengambil tema khusus ”Penawar Racun Devide et Impera”.
Warga menyebutnya kebo ketan, patung kerbau hasil kreasi kolaboratif pelukis Djoko Pekik dan perupa Heri Dono. Aneka macam kesenian mengantar kebo ketan yang diusung bregada Kraton Ngiyom menuju Lapangan Desa Sekar Putih, mulai dari Reog Kebonagung Sekar Putih, Penthul Melikan, Drum Blek, Dongkek, Topeng Ireng, Bregada Niti Manggala, hingga kelompok Sekar Pengawikan. Di lapangan, warga siap menyambut kedatangan sang kebo yang akan disembelih di depan khalayak.
Begitu sampai di muka lapangan, beberapa penari meliukkan tari-tarian ritual penyambutan. Sementara itu, seniman gerak rohani Suprapto Suryodarmo, Arahmaini, dan aktor Otig Pakis bersiap-siap melakukan penyembelihan terhadap sang kebo ketan.
Setelah meminta restu dari pemuka agama dan melepaskan burung perkutut ke alam bebas, Suprapto, Arahmaini, dan Otig naik ke panggung tempat kebo ketan disinggasanakan. Otig kemudian menghunus sebilah keris lalu menusukkannya ke leher sang kebo. Maka, mengucurlah darah merah yang dialasi dengan kain putih sebelum akhirnya jatuh ke tanah, membasahi bumi, dan memberikan kesuburan bagi alam.
”Ya, sesuai pemaknaan tokoh Islam, Habib Luthfi bin Yahya, kerbau merupakan simbol dari rakyat jelata, simbol pekerja keras yang sering kali tidak berontak meski harus disabet cemeti saat melakukan pekerjaan.” Agar bisa setia bekerja, kerbau kadang membutuhkan perlakuan lembut dari petani ketika membajak sawah dengan mendendangkan uro-uro (tembang Jawa),” ucap Bramantyo Prijosusilo, penggagas seni kejadian berdampak Upacara Kebo Ketan.
Upacara Kebo Ketan ini dilakukan sepanjang tahun dan diharapkan memberikan dampak signifikan bagi masyarakat setempat. Upacara ini digelar menyikapi kerusakan parah kawasan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Begal, Kabupaten Ngawi. Begitu reformasi meletus pada 1998-1999, ratusan hektar Hutan Begal dijarah massa sehingga sekarang sebagian hutan tersebut gundul.
Dengan menghidupkan kembali mitos-mitos yang hidup di sekitar masyarakat Desa Sekar Putih, Bramantyo mengajak publik kembali peduli terhadap gerakan pelestarian hutan. Masyarakat setempat berharap pemerintah memberikan kepercayaan pengelolaan hutan seluas 60 hektar sebagai langkah awal untuk peremajaan kembali RPH Begal.
”Warga Desa Sekar Putih diharapkan bisa mempunyai hutan yang baik yang bisa menjadi laboratorium kebudayaan di mana orang bisa menemui pohon-pohon langka yang memiliki relevansi-relevansi kebudayaan, misalnya sarung keris saya ini yang terbuat dari pohon timoho, tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana wujudnya pohon tersebut, juga daerah kita ini bernama Daerah Walikukun, tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana penampakan pohon walikukun itu. Kita akan mengumpulkan pohon-pohon langka yang memiliki relevansi kebudayaan dan menanamnya di Sendang Margo dan Sendang Ngiyom. Untuk itulah kita membangun kohesi sosial dengan menggunakan seni upacara,” kata Bramantyo.
Bukan kemusrikan
Kiai sekaligus budayawan Zastrouw Al Ngatawi dalam tausiah budayanya mengajak masyarakat Sekar Putih tidak usah khawatir menjadi musyrik atau bidah karena mengikuti Upacara Kebo Ketan.
”Di sini, semua lapisan masyarakat mendukung Upacara Kebo Ketan. Ini bukan musyrik, tidak usah khawatir sebagai Muslim atau penganut agama lain. Jadi, sekarang yang membuat orang menjadi musyrik bukan karena tradisi, patung, candi, atau kebo ketan, tetapi justru uang, jabatan, dan bahan makanan pokok. Wali Songo tidak merusak satu candi pun atau satu patung pun di Nusantara. Jadi, tidak usah khawatir jadi musyrik,” katanya.
Zastrouw mengajak masyarakat Sekar Putih dan sekitarnya menjadikan Upacara Kebo Ketan sebagai sarana gotong royong, mendekatkan persaudaraan, dan kerukunan. Upacara ini sengaja digelar berdekatan dengan peringatan Maulid Nabi seperti halnya tradisi Sekaten di Kraton. Mengapa digelar dalam bentuk Upacara Kebo Ketan agar masyarakat semua kalangan agama bisa mengikutinya, tidak hanya umat Islam.
Dalam tausiahnya, Zastrouw menyesalkan kondisi masyarakat sekarang yang dengan mudahnya mengafirkan sesama yang berbeda. Oleh karena itu, Upacara Kebo Ketan yang dalam praktiknya melibatkan semua kalangan masyarakat diharapkan bisa menjadi penawar racun devide et impera atau politik memecah belah alias adu domba.
Selain menjadi sarana mempererat kohesi sosial, Upacara Kebo Ketan juga terbukti mampu menggerakkan ekonomi masyarakat Desa Sekar Putih. Dengan penyelenggaraan upacara ini, masyarakat setempat bisa berjualan, memberikan layanan jasa transportasi atau ojek kepada pengunjung, dan membuka penginapan kepada wisatawan yang berdatangan.
Tahun ini, Upacara Kebo Ketan digelar untuk kedua kali. Menurut rencana, event ini akan digelar rutin setiap tahun dengan format dan konsep yang berbeda.
Warung makan milik Marsiyatun, warga Sekar Putih, sejak 10 hari terakhir ramai dikunjungi seniman dan wisatawan yang mempersiapkan dan menonton Upacara Kebo Ketan. ”Pada hari biasa, saya biasanya hanya menanak beras 2 kilogram per hari. Tetapi, 10 hari terakhir setiap hari saya menanak beras sampai 15 kilogram. Upacara Kebo Ketan katanya mau digelar setiap tahun dan tentu kami sangat senang karena warung kami jadi ramai,” ungkapnya.