Rula Ghani: Perang adalah Kutukan
”Perang merupakan kutukan. Tidak hanya menghancurkan lingkungan di mana kita hidup dan tinggal, hal ini juga sangat memengaruhi moral masyarakat. Ketika kita hidup dalam suasana peperangan dan ketidakpastian, kita menjadi terobsesi dengan kelangsungan hidup diri kita sendiri. Sebab, setiap keputusan yang kita ambil akan membedakan antara hidup dan mati kita.”
Hal ini diungkapkan Ibu Negara Afghanistan Nyonya Rula Ghani saat tampil sebagai pembicara kunci pada simposium ”Peran Ibu dan Ulama Perempuan sebagai Pencipta dan Penggerak Perdamaian dalam Keluarga dan Masyarakat” di Hotel Shangri-La Jakarta, Senin (4/11).
Rula didampingi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan Duta Besar Afghanistan untuk RI Roya Rahmani.
Ketika berada dalam perang, orang tidak peduli lagi dengan apa yang benar dan apa yang salah, dan tidak memikirkan nasib komunitas.
Ketika berada dalam perang, orang tidak peduli lagi dengan apa yang benar dan apa yang salah, dan tidak memikirkan nasib komunitas.
Di dalam masyarakat yang tinggal di kawasan perang, setiap individu akan melakukan apa saja agar bisa bertahan hidup meskipun yang dilakukannya harus membahayakan komunitasnya.
”Oleh karena itu, mengapa kami menginginkan perdamaian. Kami, orang-orang yang terdampak oleh adanya konflik dan perang harus menyatukan suara kami dan melawan kehancuran bagi kehidupan dan masa depan kami. Kami perlu untuk menyatakan hak mendasar untuk hidup dalam kedamaian,” kata Rula Ghani ketika berbagi cerita dengan sekitar 500 peserta simposium yang hadir sejak Senin (4/11) pagi hingga petang.
Keinginan untuk mendapatkan perdamaian makin terasa saat wajah peperangan semakin nyata dan dikhawatirkan tidak mengalami perubahan menyusul pesatnya era globalisasi yang mempermudah pertumbuhan jaringan global yang mendukung peperangan.
Keinginan untuk mendapatkan perdamaian makin terasa saat wajah peperangan semakin nyata dan dikhawatirkan tidak mengalami perubahan menyusul pesatnya era globalisasi yang mempermudah pertumbuhan jaringan global yang mendukung peperangan. ”Inilah yang kita saksikan hari ini di Afghanistan,” kata Rula.
Ia menuturkan, setelah empat dekade berbagai konflik dan perang sipil, negaranya kini sedang menghadapi dua puluh kelompok bersenjata yang melancarkan perang gerilya, dan mencoba untuk memaksakan agenda mereka kepada rakyat Afghanistan.
Merindukan perdamaian
Bagi Rula, serangan kekerasan ekstrem yang terus mengguncang stabilitas negara, sudah cukup bagi rakyat Afghanistan, yang hidup dalam ketidaknyamanan dan ketidakpastian. Rakyatnya merindukan perdamaian dan kehidupan yang normal.
Pada kesempatan tersebut, Rula mengenang tahun-tahun sebelum konflik dan perang terjadi di Afghanistan, saat-saat masa kecilnya di masa keemasan Timur Tengah.
”Tepatnya 68 tahun yang lalu. Saya sangat beruntung mengenal kawasan Timur Tengah dan masyarakat yang hidup berdampingan dalam kedamaian, berusaha memperbaiki taraf kesejahteraan hidupnya dan meyakini adanya masa depan yang lebih makmur di kemudian hari,” paparnya.
Perbedaan etnis, budaya, dan agama yang selama ini memperkaya masa mudanya, berubah seketika menjadi alasan bagi terjadinya konfrontasi dan perang sengit antarkelompok masyarakat. Hingga kini kehancuran tersebut terus berlangsung.
Sayangnya, perbedaan etnis, budaya dan agama yang selama ini memperkaya masa mudanya, berubah seketika menjadi alasan bagi terjadinya konfrontasi dan perang sengit antarkelompok masyarakat. Hingga kini kehancuran tersebut terus berlangsung. Masyarakat hancur. Harapan bagi masa depan yang lebih baik semakin menjauh.
Situasi perang, menurut Rula tidak hanya di Afghanistan, tetapi juga di Suriah yang memiliki begitu banyak kota saat ini hancur, Yaman dengan jutaan orang sekarat karena sulitnya akses untuk makanan dan pengobatan, serta Libya yang masyarakat sekarang terbagi sehingga kekacauan terjadi dan praktik tidak manusiawi seperti perbudakan muncul kembali pada saat ini.
Mewujudkan perdamaian
Karena itulah, ketika hadir di simposium di Jakarta, Rula pun optimistis, peran perempuan dalam mewujudkan perdamaian di di Afghanistan sangat penting.
Keyakinannya kuat setelah dia sering bertemu dan berbincang dengan kelompok perempuan di negaranya-yang menyampaikan keletihan dalam menghadapi perang.
Dampak perang sangat dirasakan perempuan-perempuan di Afghanistan, yang membatasi akses perempuan terhadap berbagai layanan. Yang akhirnya berdampak pada perempuan yang terkena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
”Saya percaya akan pentingnya peran perempuan di dalam keluarga. Bahkan d idalam masyarakat tradisional Afghanistan, perempuan sudah memikul tanggung jawab besar pada pengelolaan rumah tangga dan pengasuhan anak,” kata Rula.
Rula Ghani terus mendorong perempuan Afghanistan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan dalam keluarga dan mendorong perempuan untuk mandiri secara ekonomi.
Ia terus giat mendorong perempuan di negaranya untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, serta mendorong perempuan di negaranya mandiri secara ekonomi.
Rula juga berharap, simposium yang dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise pada Mei 2017 di Afganistan menjadi awal gerakan sosial yang akan melibatkan semua rakyat Afganistan. Ia yakin perempuan bisa membawa perdamaian di negaranya.
Karena itulah, ketika hadir di Jakarta, Rula memanfaatkan waktunya untuk menimba pengalaman Indonesia, berdiskusi dengan perempuan ulama dan perempuan anggota parlemen di Indonesia.
”Semoga ini menjadi permulaan dari kolaborasi panjang dan bermanfaat dimasa mendatang bagi kedua negara kita,” papar Rula yang sepanjang simposium sangat serius mendengarkan berbagai paparan dari pembicara.
Simposium menghadirkan pembicara GKR Hemas (anggota DPD), Yenny Wahid (Wahid Fondation), Siti Noorjannah Djohantini (Ketua Umum PP Asyiyah), Suraiya Kamaruzzaman (Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh dan dosen Unsiyah Aceh), Ninik Rahayu (Ombudsman RI), Imam Nakhoi (Komnas Perempuan), Lian Gogali (Sekolah Perempuan Mosintuwu), Imdadun Rahmat (Ketua Komnas HAM), Badriyah Fayuni (Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama), dan Rozy (Kementerian Dalam Negeri).