Difteri Merebak, Imunisasi Menyeluruh Dilaksanakan di Daerah
BLITAR, KOMPAS — Penyebaran penyakit difteri terus terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah melaksanakan imunisasi secara menyeluruh di daerah-daerah yang terjangkit penyakit itu atau ditetapkan terjadi kejadian luar biasa difteri.
Sebagaimana diberitakan Kompas, Selasa (5/12), gerakan antivaksin yang terjadi di sejumlah daerah beberapa tahun terakhir ini memicu peningkatan kasus penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi, termasuk penyakit difteri. Untuk itu, perlu ada gerakan bersama yang meluruskan informasi yang salah dan menyesatkan tentang imunisasi, termasuk difteri.
Saat ini Pemerintah Kabupaten Blitar, Jawa Timur, berusaha menekan angka kasus difteri melalui imunisasi secara menyeluruh. Tahun 2016 Kabupaten Blitar menempati posisi tertinggi angka difteri di Jawa Timur dengan kasus sebanyak 56. Dari jumlah tersebut dua penderita meninggal dunia.
”Tahun ini angka difteri di Blitar turun drastis. Sejauh ini baru ada tujuh kasus dan semua penderita terselamatkan. Tahun 2016 kasus difteri di Blitar memang paling banyak di Jawa Timur. Tahun ini kami belum tahu ada di urutan ke berapa. Kami belum melakukan evaluasi,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar Kuspardani, Senin (3/12).
Menurut Kuspardani, untuk menekan angka difteri pihaknya melakukan imunisasi kepada semua anak (outbreak response immunization). Anak di bawah usia tiga tahun mendapat vaksin pentabio, usia 3-7 tahun mendapat vaksin difteri tetanus, dan usia di atas 7 tahun mendapat vaksin tetanus toksoid.
Imunisasi juga diberikan kepada orang dewasa bila di tempat tersebut terdapat orang dewasa yang terjangkiti difteri. Tujuannya agar semua anak dan orang dewasa tidak tertular mengingat jenis penyakit ini cukup mudah menular. ”Misalnya di sebuah desa muncul kasus difteri pada anak usia 13 tahun. Maka, semua anak 13 tahun ke bawah di desa tersebut dan desa-desa lainnya dalam satu kecamatan juga kami berikan imunisasi,” ujarnya.
Jika yang terserang berumur 65 tahun, lanjut Kuspardani, semua orang dewasa berumur 65 tahun ke bawah di desa yang terdapat kasus dan desa-desa lainnya dalam satu kecamatan juga diberi imunisasi. ”Saat ini difteri juga bisa menyerang orang dewasa,” ucapnya.
Pemberian imunisasi dilakukan tiga kali pada orang yang sama dalam kurun waktu satu tahun. Pemberian imunisasi tahap pertama dan kedua berselisih satu bulan. Lalu setelah jeda enam bulan mereka diberi imunisasi lagi.
Terkait dengan imunisasi bagi warga, salah satu pendamping Program Keluarga Harapan Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Farida Masrurin, mengatakan, pihaknya berusaha membantu menyosialisasikan pentingnya imunisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dilakukan dalam pertemuan bulanan. ”Tidak hanya imunisasi difteri, tetapi juga jenis imunisasi lain, seperti rubela, kami sosialisasikan,” ujarnya.
Cakupan imunisasi rendah
Di Provinsi Aceh, angka kasus difteri naik dari 11 penderita pada 2016 menjadi 86 kasus tahun 2017. Selama dua tahun itu, delapan orang meninggal. Kenaikan jumlah penderita karena realiasi imunisasi masih 70 persen. Menurut Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Aceh Abdul Fatah di Banda Aceh, Senin (4/12), kematian karena difteri masing-masing empat orang setiap tahun.
”Pada 2017 penderita bertambah, tetapi persentase kematian menurun. Banyak warga berhasil disembuhkan,” ujar Fatah. Difteri dominan menyerang kelompok usia anak mulai lima tahun. Penyebabnya cakupan imunasi rendah sehingga warga yang tak mendapat imunisasi rentan terkena difteri. Difteri merupakan penyakit menular yang menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan.
Dari 86 kasus tahun 2017, Kabupaten Aceh Timur memilik kasus paling tinggi, mencapai 18 kasus, disusul Pidie Jaya 14 kasus. ”Difteri ini banyak ditemukan di kelompok warga. Di Aceh Timur ditemukan di sekolahan, sedangkan di Pidie Jaya di pesantren,” ucap Fatah.
Terkait cakupan imunisasi yang rendah, lanjut Fatah, ini terjadi karena sejumlah warga menganggap imunisasi haram, bertentangan dengan agama sebab mengandung enzim babi. Padahal, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa imunisasi dianjurkan.
”Namun, masih ada kelompok-kelompok yang menentang. Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk meningkatkan realisasi imunisasi,” ujar Fatah. Pemerintah daerah merangkul tokoh agama mengampanyekan pentingnya imunisasi. Hasilnya mulai terlihat cakupan imunisasi naik dari 54 persen pada pada 2015 menjadi 70 persen pada 2017.
Imunisasi ulang
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menerima sepuluh laporan kasus dugaan penyakit difteri sepanjang 2017. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, dua anak positif terkena difteri di Kota Semarang dan Kabupaten Karanganyar.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Sigit Armunanto, Senin (4/12), mengatakan, pemerintah melalui rumah sakit umum daerah segera melaksanakan imunisasi difteri ulang pada kedua pasien. Mereka mendapat outbreak response immunization (ORI) melalui imunisasi difteri, pertusis, tetanus (DPT)/difteri-tetanus (DT) sebelum pulang ke rumah.
Berdasarkan data profil kesehatan 2015 yang diterbitkan Dinas Kesehatan Jateng, jumlah kasus difteri di Jateng tahun 2015 sebanyak 18 kasus, meningkat dari tahun 2014 sebanyak 9 kasus. ”Tidak tertutup kemungkinan ada satu atau dua ibu yang tidak melaksanakan imunisasi difteri. Akibatnya, difteri kembali muncul di Jateng,” kata Sigit.
Pihaknya telah mendapatkan instruksi dari Menteri Kesehatan Nila Moeloek untuk menjadwalkan imunisasi difteri. Jateng masuk kategori 19 provinsi yang dilaporkan ada dugaan kejadian luar biasa difteri bersama Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Barat. Untuk itu, Dinas Kesehatan Jateng akan melaksanakan imunisasi difteri secara massal secepatnya.
Lebih waspada
Di Jawa Barat, difteri juga merebak di sejumlah daerah sehingga kewaspadaan masyarakat ditingkatkan. Contohnya, masyarakat Desa Sampih, Kecamatan Susukanlebak, Kabupaten Cirebon, yang pernah ada kasus difteri kini lebih waspada terhadap penyakit tersebut. Selain rutin menggelar posyandu, pemerintah desa juga mengajak warga mengikutkan anaknya program imunisasi untuk mencegah penyakit difteri terulang.
”Wabah difteri tahun lalu menjadi pelajaran berharga bagi kami, warga desa. Kami tidak mau ada korban lagi,” ujar Kuwu (Kepala Desa) Sampih Suherman kepada Kompas, Senin (4/12), di Cirebon. Awal 2016, tiga anak yang merupakan kakak beradik di Desa Sampih meninggal dunia karena terjangkit difteri. Penyakit infeksi itu merenggut nyawa tiga anak itu dalam sebulan. Empat anak yang juga keluarga korban sempat dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon karena diduga terkena difteri.
Di Jabar, sejak awal tahun sampai November 2017 ada 95 kasus difteri yang mengakibatkan 10 orang meninggal dunia. Angka ini tertinggi kedua di nasional setelah Jawa Timur dengan 271 kasus dengan 11 orang meninggal dunia. Tidak hanya di Cirebon, setidaknya delapan kasus difteri juga ditemukan di Kabupaten Majalengka dan satu kasus di Indramayu, Jabar. Bahkan, seorang anak dari Blok Loji, Desa Ligung, Kecamatan Ligung, Majalengka, tak terselamatkan. Majalengka pun menetapkan status KLB difteri.
Berdasarkan data dari Peta KLB Difteri yang dirilis Public Health Emergency Operations Center (PHEOC) Kementerian Kesehatan, Jawa Barat ditandai dengan warna merah yang berarti provinsi ini dikategorikan mengalami kejadian luar biasa. Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Dodo Suhendar mengatakan, pihaknya masih memantau dan mempelajari KLB difteri ini. ”Kami cek dan lihat fakta di lapangan dulu,” ujar Dodo.
Selain Jabar, kasus difteri ditemukan di Banten. Menurut Kadinkes Banten Sigit Wardojo, selain di Kabupaten Tangerang dan Serang, difteri juga terjadi di daerah-daerah lain di Banten, tetapi jumlahnya hanya satu atau dua kasus. ”Kalau KLB (kejadian luar biasa) tingkat provinsi belum terjadi di Banten. Diprediksi terdapat 88 kasus difteri di Banten sejak awal tahun 2017,” katanya.
Untuk itu, pihaknya melakukan ORI di lokasi ditemukannya difteri. Sebagai contoh, jika ada kasus difteri di sekolah, semua muridnya diupayakan mendapat imunisasi itu. Dinkes Banten juga membuat surat edaran dua bulan lalu untuk melakukan ORI yang disampaikan kepada pemerintah kabupaten dan kota di Banten. ”Di setiap kluster atau kelompok, ORI dilakukan jika ditemukan kasus difteri. Bisa saja ORI dilakukan di satu desa, bahkan satu kecamatan,” katanya. (KRN/WER/IKI/BKY/BAY/AIN)