Indonesia Darurat Ekologis, Tren Bencana Terus Meningkat
Oleh
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren bencana di Indonesia cenderung mengalami peningkatan selama beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena Indonesia sedang mengalami darurat ekologis. Selain itu, meski Siklon Dahlia mulai melemah, Indonesia harus bersiap menghadapi potensi bencana akibat curah hujan yang tinggi hingga Februari 2018.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, 95 persen bencana yang terjadi di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi. ”Hidrometeorologi merupakan bencana akibat cuaca. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, trennya cenderung meningkat,” kata Sutopo saat konferensi pers di Kantor BNPB, Selasa (5/12).
Berdasarkan catatan BNPB, di Indonesia dari awal tahun 2017 hingga 4 Desember 2017 telah terjadi 2.175 bencana yang didominasi oleh banjir, puting beliung, dan tanah longsor. Jumlah korban meninggal akibat bencana alam sebanyak 335 orang dan sebanyak 3.218.520 orang harus mengungsi karena bencana. ”Jumlah ini masih bisa terus bertambah, hal ini dikarenakan Indonesia sedang darurat ekologis,” ungkap Sutopo.
Pada 2016 jumlah bencana sebanyak 2.342 kejadian. Meski tahun ini lebih sedikit dari tahun lalu, peningkatan tren ini terlihat dari tahun 2014 dan 2015. Pada 2014, total bencana sebanyak 1.967 dan pada 2015 sebanyak 1.732 kejadian.
Sutopo mengungkapkan, kerusakan hutan dan sungai menjadi faktor penyebab terjadinya bencana. Selain itu, pemerintah seharusnya peka terhadap masalah tata ruang yang tidak mengindahkan peta rawan bencana. ”Berdasarkan data rata-rata setiap tahun, 750.000 hektar hutan rusak, sedangkan kemampuan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi hutan baru mencapai sekitar 250.000 hektar per tahun,” tutur Sutopo.
”Dari data BNPB, jumlah penduduk yang terpapar bahaya banjir sebanyak 63,7 juta jiwa dan 40,9 juta jiwa terpapar bahaya tanah longsor. Dalam kurun 2009-2017 tercatat jumlah rata-rata banjir per tahun sebanyak 638 kali dan rata-rata tanah longsor sebanyak 421 kali,” ungkap Sutopo.
”Butuh upaya masif dari pemerintah untuk mengurangi potensi bencana ini, seperti mulai memperhatikan masalah tata ruang di daerah bantaran sungai dan daerah rawan longsor. Selain itu, pemerintah daerah dan masyarakat bisa mengkases peta potensi rawan bencana di website Badan Geologi,” tutur Sutopo.
Sutopo mengimbau, jika masyarakat tidak mengakses peta tersebut, sebaiknya ia harus peka terhadap lingkungan sekitarnya. Masyrakat harus mengenal tanda-tanda awal kemunculan bencana, seperti jika bencana longsor tanda-tandanya adalah kemunculan mata air baru di lereng-lereng, mata air mulai keruh, dan pepohonan yang miring.
”Kami juga kekurangan sistem peringatan diri rawan longsor. Dari sekitar ratusan ribu, baru terpasang sekitar 200 buah akibat kurangnya dana,” kata Sutopo.
Meski jumlah bencana terus bertambah, jumlah korban jiwa cenderung berkurang. Sutopo menjelaskan, tahun lalu, jumlah korban jiwa yang meninggal sebanyak 560 orang.
”Penangan ketika terjadi bencana cenderung lebih baik karena koordinasi dengan kepala daerah dan aparat ketika bencana terjadi. Ketika aksi cepat tanggap, tidak sampai satu jam aparat telah sampai di lokasi bencana untuk melakukan penanganan,” tutur Sutopo.
Kemudian, munculnya siklon tropis di akhir tahun 2017 ini menjadi salah satu faktor bencana. Sutopo menjelaskan, akibat dari Siklon Tropis Cempaka, 41 orang meninggal. Wilayah terparah yang terkena dampak dari Siklon Cempaka adalah daerah Pacitan dengan total korban jiwa sebanyak 25 orang.
”Jumlah terakhir pengungsi akibat Siklon Cempaka ini sebanyak 28.190 orang. Total 4.888 rumah rusak dan jumlah kerugian masih dihitung, kemungkinan mencapai triliunan rupiah,” ungkap Sutopo.
Saat dihubungi terpisah, Kepala Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko mengungkapkan, Siklon Tropis Dahlia sudah mulai melemah dan menjadi depresi eks tropis Dahlia. Meski demikian, cuaca ekstrem masih mengintai sebagian besar wilayah Indonesia.
”Dalam beberapa hari ke depan, masih terdapat cuaca ekstrem, seperti hujan lebat di beberapa wilayah, seperti di sebagian besar wilayah Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Maluku, NTT, NTB, dan Papua,” ungkap Hary.
Hary menjelaskan, dari hasil prakiraan BMKG, hingga 12 Desember, wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah bagian utara mengalami monsoon break. ”Moonsoon break ini curah hujannya rendah atau dikatakan istirahat sejenak. Setelah itu, diprediksi dari Desember 2017 hingga Februari 2018 curah hujan kembali tinggi,” kata Hary.
Gunung Agung
Sutopo menjelaskan, untuk saat ini, Gunung Agung cenderung lebih tenang, tetapi tetap dalam status Awas. Berdasarkan pantauan terakhir, asap yang keluar dari Gunung Agung cenderung tipis. Gas S02 yang terukur juga mengalami penurunan drastis konsentrasinya dibandingkan fase erupsi eksplosif pada 26-27 November.
”Kondisi ini mungkin dapat merefleksikan dua kemungkinan. Gunung Agung ini sifatnya kompleks dan sulit diprediksi,” ujar Sutopo.
Sutopo menjelaskan, kemungkinan pertama yang terjadi adalah magma yang naik ke permukaan lajunya melemah karena kehilangan energi akibat gas magmatik semakin berkurang setelah erupsi lalu. Kemungkinan kedua, terjadi penyumbatan di pipa magma, fluida magma yang bergerak terhalang oleh lava yang mulai mengeras di permukaan.
”Jika kemungkinan kedua yang terjadi, potensi terjadinya erupsi akan meningkat karena akumulasi tekanan magma yang bertambah,” ucap Sutopo.
Hingga saat ini, radius 8 kilometer hingga 10 km dari Gunung Agung merupakan daerah yang rawan dan harus steril. Jumlah pengungsi hingga saat ini sebanyak 62.330 orang dan tersebar di 214 tempat. Sutopo menjelaskan, daerah Bali yang masih aman untuk dijadikan tempat wisata adalah yang berada di luar radius 8-10 km tersebut.
”Wisatawan domestik ataupun internasional tidak perlu takut untuk berwisata ke Bali karena daerah di Bali masih aman untuk kunjungan. Selain itu, penerbangan sudah mulai aman, tetapi untuk jadwal penerbangan, semua tergantung dari kebijakan maskapai,” tutur Sutopo.
Berdasarkan data BNPB, kerugian ekonomi akibat meningkatnya status awas Gunung Agung sejak Jumat (22/9) hingga Minggu (29/10) telah mencapai sekitar Rp 1,5 triliun hingga Rp 2 triliun. Kerugian tersebut berasal dari sektor pariwisata, perbankan, pertanian, dan hilangnya lapangan pekerjaan. (DD05)