Nasib Mahkamah Konstitusi di Tengah Lobi-lobi Politik
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (6/12) pukul 10.00, mengundang Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat untuk mengikuti proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebagai calon hakim konstitusi. Langkah Komisi III DPR mengundang Arief ini dilakukan di tengah kontroversi dugaan lobi-lobi politik yang dilakukan Arief untuk memuluskan jalannya menjadi anggota MK kembali.
Padahal, publik kini tengah memicingkan matanya terhadap proses seleksi yang sedang dilakukan DPR dalam pemilihan hakim konstitusi. Kalangan internal Komisi III DPR pun heboh dengan adanya ”lobi-lobi” politik yang dibuat Arief. Anggota Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa mengungkapkan adanya lobi-lobi politik yang dilakukan Arief. Sebelumnya, Arief diundang untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan pada 27 November, tetapi acara itu akhirnya dibatalkan karena ada perdebatan tajam di kalangan internal Komisi III tentang mekanisme yang dipilih.
Jika lobi-lobi politik itu benar, jalan terang bagi MK semakin kabur pascapenangkapan KPK terhadap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam kasus suap. Publik secara langsung akan mempertanyakan putusan-putusan MK selama ini apabila dikaitkan dengan adanya lobi-lobi politik yang memengaruhi seseorang untuk bisa dipilih atau tidak dipilih sebagai hakim konstitusi.
Publik akan mempertanyakan putusan-putusan MK selama ini apabila dikaitkan dengan adanya lobi-lobi politik yang memengaruhi seseorang untuk bisa dipilih atau tidak dipilih sebagai hakim konstitusi.
Ketidakpercayaan publik terhadap MK tersebut menjadi pertaruhan terbesar bagi lembaga penentu konstitusionalitas undang-undang itu. Apabila MK yang menafsir konstitusi yang sakral saja tidak dipercayai, kepada siapa lagi keadilan akan bisa dicari di negeri ini?
Gambaran keruntuhan wibawa penjaga konstitusi itu meluncur langsung dari mulut Desmond yang menyebutkan ada upaya Arief melakukan lobi-lobi saat rapat di Komisi III DPR beberapa waktu lalu. ”Saat itulah Arief datang diundang oleh Komisi III. Kalau datang dimintai keterangan, tidak masalah. Pada saat pertemuan itu, dia mengemukakan alasannya maju kembali sebagai hakim konstitusi dan dikait-kaitkan dengan Saldi Isra yang pro-KPK. Itu, kan, sudah jadi politik. Itu yang jadi persoalan,” tutur Desmond saat dikonfirmasi, Selasa (5/12) di Jakarta.
Desmond mengungkapkan, sikap Arief yang demikian itu jelas menunjukkan Ketua MK itu tidak layak dipilih sebagai hakim konstitusi yang semestinya memiliki standar kenegarawanan tinggi. Arief dalam pertemuan itu disebut mengatakan, jika dirinya tidak lagi terpilih sebagai anggota MK, Saldi yang dianggap pro-KPK akan menjadi Ketua MK.
Perkataan Arief itu, dalam pemahaman Desmond, adalah pernyataan politis yang tidak seharusnya diungkapkan oleh seorang Ketua MK. Fraksi Gerindra sudah pasti tidak akan memilih Arief kembali menjadi hakim konstitusi.
”Pekerjaan politik yang dilakukan Pak Arief sendiri, yakni dengan membikin jebakan-jebakan di fraksi di DPR, seolah-olah kalau dia tidak terpilih nanti lalu membentur-benturkan dengan Saldi Isra yang pro-KPK, itu secara etik tidak sesuai. Itulah juga yang akan membuat Gerindra tidak akan memilih Pak Arief,” ujar Desmond.
Komisi III DPR yang merupakan komisi hukum, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan pun dinilai menyalahi pola seleksi hakim MK yang sudah disepakati oleh anggota. Seharusnya, apabila Komisi III ingin memperpanjang masa jabatan seseorang menjadi hakim konstitusi, mekanisme yang dilakukan ialah perpanjangan jabatan. Pimpinan Komisi III DPR menyurati pimpinan DPR mengenai persetujuan perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi itu. Baru setelahnya rapat paripurna mengesahkan dan menyetujui perpanjangan jabatan itu.
Namun, mekanisme perpanjangan terhadap Arief itu tidak dilakukan. ”Sebelumnya, saat Komisi III DPR memperpanjang jabatan Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi, mekanisme perpanjangan itu yang dilakukan. Tetapi, kenapa saat ini jika ingin memperpanjang Arief Hidayat harus melalui pola fit and proper test dengan membentuk tim panel ahli,” kata Desmond.
Logikanya, apabila tim panel ahli dibentuk, calon hakim konstitusi lebih dari satu dan DPR akan menjaring calon-calon terbaik. Calon-calon tersebut harus bersaing melewati mekanisme uji kelayakan dan kepatutan yang diampu oleh para ahli dan pakar hukum tata negara.
Namun, rapat Komisi III DPR dua minggu lalu tidak memutuskan perpanjangan Arief Hidayat. Rapat pleno Komisi III justru memutuskan pembentukan panel ahli untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Artinya, DPR memutuskan untuk memilih ulang calon hakim konstitusi. Sebab, dengan pembentukan panel ahli itu, Arief secara logika tidak kembali dipilih oleh DPR, dan ada calon alternatif, karena pakar-pakar dalam panel ahli itu akan menguji mereka kembali dan mengusulkan calon terbaik kepada DPR.
”Secara prosedur, dia (Arief) tidak berhak lagi untuk ikut fit and proper test, dan diam-diam Komisi III menolak beliau (Arief),” kata Desmond.
Namun, perbaikan prosedur seperti diharapkan Desmond itu rupanya tidak terjadi karena undangan untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan untuk Rabu besok sudah disebar.
Arief yang dihubungi terpisah mengatakan telah menerima undangan untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan tersebut. ”Ya, saya sudah menerima undangannya, besok pagi. Saya katakan, walau nanti saya tidak lagi menjadi Ketua MK, saya tetap akan mengikuti aturan yang berlaku. Kalau memang saya diminta ikut fit and proper test lagi, ya, saya akan ikuti,” ujar Arief yang baru saja pulang dari Uzbekistan.
Walau nanti saya tidak lagi menjadi Ketua MK, saya tetap akan mengikuti aturan yang berlaku. Kalau memang saya diminta ikut ”fit and proper test” lagi, ya, saya akan ikuti.
Arief menyerahkan segala prosesnya kepada DPR. Ia enggan menanggapi soal adanya dugaan lobi-lobi politik yang dilakukannya di DPR. ”Saya enggan menanggapi hal itu sebab kalau saya komentari, nanti akan menjadi gaduh. Sudahlah, saya serahkan semuanya kepada publik. Biar publik yang menilainya sendiri,” ujarnya.
Arief membenarkan bahwa dirinya pernah hadir dalam rapat dengan Komisi III DPR dan itu atas undangan Komisi III. Dia juga mengatakan telah mendapatkan izin dari Dewan Etik MK untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Pada pertemuan itu, ia ditanyai tentang kesediaannya untuk menjadi hakim konstitusi. ”Saya jawab bersedia. Lalu, saya diminta menandatangani daftar hadir dan surat pernyataan kesediaan dipilih lagi. Kalau soal saya bicara dengan orang-orang dalam pertemuan itu, kan, juga tidak apa-apa. Masa saya tidak boleh ngomong-ngomong,” kata Arief.
Langgar etika?
Dewan Etik MK pun tengah mendalami kasus dugaan lobi-lobi politik yang dilakukan Arief. Namun, Ketua Dewan Etik MK Achmad Rustandi tidak bersedia ditemui di kantornya.
Anggota Dewan Etik MK Salahuddin Wahid mengatakan, pihaknya berupaya mendalami kasus dugaan lobi-lobi politik tersebut. ”Kami masih mau merapatkan hal itu. Sebab, kami masih mau mendalami kasus itu, jadi saya belum bisa banyak berkomentar,” ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng itu singkat.
Koalisi Selamatkan MK yang terdiri atas beberapa elemen masyarakat sipil juga akan melaporkan dugaan pelanggaran etik Arief ke Dewan Etik MK dalam waktu dekat. ”Kalau tidak Rabu, ya, Kamis,” ucap Emerson Yuntho, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), yang juga salah satu anggota koalisi.
Koalisi juga menyebutkan, sebuah petisi di www.change.org yang mendorong Arief mundur dari jabatannya sebagai Ketua MK telah ditutup akhir November 2017. Petisi itu ditandatangani 12.210 orang. Petisi tersebut merupakan bentuk kekecewaan publik terhadap Arief yang melanggar etika dengan memberikan surat katabelece kepada seorang jaksa muda yang akan menghadap Jaksa Agung Pengawasan Widyo Pramono tahun 2016.
Dugaan lobi-lobi politik yang dilakukan Arief itu pun membahayakan kredibilitas MK jika tidak segera ada penjelasan dari Arief. Sayangnya, Arief tidak bersedia menanggapi lebih jauh mengenai dugaan itu.
Mantan Hakim Konstitusi Harjono mengatakan, realitas yang ada di DPR memang penuh dengan lobi-lobi politik. Calon hakim konstitusi yang diajukan DPR pasti tidak terlepas dari lobi-lobi tersebut, terutama yang dilakukan pendukung atau suporter hakim bersangkutan.
”Kita bicara realitas saja karena memang tidak mungkin bisa terhindar dari lobi-lobi politik di DPR. Sebab, bagi hakim yang diusung oleh DPR, pasti punya pendukung atau suporter di dalam. Pendukungnya itu yang akan melakukan lobi-lobi demi menggalang dukungan politik untuk calon hakim. Dalam tataran itu, lobi-lobi dan dukungan politik memang diperlukan,” kata Harjono.
Kita bicara realitas saja karena memang tidak mungkin bisa terhindar dari lobi-lobi politik di DPR. Sebab, bagi hakim yang diusung oleh DPR, pasti punya pendukung atau suporter di dalam.
Akan tetapi, lobi-lobi dukungan calon hakim konstitusi itu bisa berbahaya dan mengancam independensi MK jika ada janji-janji terkait suatu perkara atau pertukaran atas putusan. ”Yang menjadi masalah itu kalau sampai ada trade off (perdagangan/pertukaran). Karena, nanti MK menjadi lembaga yang tidak dipercaya oleh masyarakat independensinya. Jika trade off yang terjadi, sudah bukan lobi-lobi untuk mengumpulkan dukungan, tetapi politisasi dan ini tidak sehat bagi MK,” lanjut Harjono.
Arief diharapkan segera mengklarifikasi atau memberikan keterangan mengenai dugaan lobi-lobi yang dilakukannya, apalagi juga dugaan itu menyebut-nyebut nama hakim lain dan lembaga seperti KPK. Semakin Arief menghindari klarifikasi atas persoalan ini, publik akan menduga-duga bahwasanya hal itu benar.
”Padahal, anggapan lobi-lobi politik itu juga belum tentu benar karena berasal dari satu atau sejumlah anggota Komisi III saja. Nah, kalaupun benar, juga harus dijelaskan oleh Pak Arief segera untuk mencegah kepercayaan publik kepada MK luntur,” ujar Harjono.
Pertaruhan MK
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, memiliki pandangan senada dengan Harjono mengenai perlunya Arief memberikan klarifikasi kepada publik mengenai dugaan lobi politik itu. Sebab, saat ini MK juga sedang memeriksa perkara uji materi tentang kewenangan hak angket DPR terhadap KPK. Pernyataan Arief seperti yang diungkapkan Desmond bisa dimaknai publik sebagai upaya memperdagangkan perkara di MK, terutama dalam perkara uji materi hak angket yang memperhadapkan antara KPK dan DPR.
”Ada terlalu banyak hal yang dipertaruhkan dalam dugaan lobi politik oleh Arief ini. Pertama ialah kredibilitas MK dan independensi putusannya. Apa kata publik nanti bila ternyata hakim konstitusi dipilih bukan berdasarkan kapabilitasnya, melainkan karena lobi politik dan janji-janji perkara. Lobi politik itu toh belum tentu ada, tetapi itulah yang harus segera diklarifikasi,” tutur Zainal.
Ada terlalu banyak hal yang dipertaruhkan dalam dugaan lobi politik oleh Arief ini. Pertama ialah kredibilitas MK dan independensi putusannya.
MK menjadi lembaga yang paling dirugikan oleh dugaan lobi politik yang dilakukan Arief. Imbasnya tidak hanya MK sebagai institusi, tetapi juga penegakan hukum dan jalan konstitusi negeri ini. Apabila MK tidak lagi dipercaya dan putusan penjaga konstitusi bisa dikendalikan oleh kuasa politik, publik akan kehilangan kepercayaan pada hukum tertinggi: konstitusi.
Jabatan publik pun hanya dianggap sebagai lobi-lobi kekuasaan semata, dan permainan politik siapa mendapat apa dan bagaimana. ”Jabatan publik tidak dilihat lagi sebagai suatu hal yang diraih dengan kemampuan dan akseptabilitas dari publik, tetapi hanya perlu lobi-lobi politik,” kata Zainal.
Penyebutan nama Saldi Isra dalam pengakuan Desmond juga membuka kotak pandora tentang kondisi internal MK. Sejauh mana hakim-hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang itu kompak dan tidak saling mencurigai?
”Banyak hal yang dipertaruhkan dari dugaan lobi politik Arief ini, dan hal tersebut harus segera dijelaskan untuk mencegah kerugian besar bagi negeri ini,” kata Zainal.
Rabu esok pagi, di Gedung DPR, akankah wakil rakyat Yang Terhormat dan calon hakim Yang Mulia akan menunjukkan kenegarawanannya atau justru sebaliknya, rakyat kembali disuguhi getirnya komedi....