Praperadilan Setya Novanto Gugur Saat Sidang Pokok Perkaranya Dimulai
JAKARTA, KOMPAS — Pelimpahan berkas materi pokok dugaan korupsi dengan tersangka Setya Novanto ke pengadilan kini terus berkejaran dengan waktu berjalannya persidangan praperadilan. Hakim Kusno menjadwalkan ulang persidangan perdana praperadilan Novanto pada Kamis (7/12) dan harus diputuskan dalam jangka waktu selambat-lambatnya tujuh hari.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 102/PUU-XIII/2015 secara tegas menyatakan, permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa atau pemohon praperadilan. Putusan itu menjelaskan bahwa praperadilan gugur ketika sidang pertama materi pokok atas nama terdakwa yang juga pemohon praperadilan digelar di pengadilan.
Putusan itu memperjelas tafsir atas Pasal 82 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pengajar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Selasa (5/12), di Jakarta, mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang diburu waktu menyelesaikan pemberkasan untuk materi pokok Setya Novanto. Praperadilan itu baru gugur ketika sidang pertama digelar.
Praperadilan itu baru gugur ketika sidang pertama digelar. Patokannya adalah hari dimulainya sidang pertama di pengadilan. Bisa juga ketika berkas dilimpahkan ke pengadilan.
”Patokannya adalah hari dimulainya sidang pertama itu di pengadilan. Bisa juga ketika berkas dilimpahkan ke pengadilan dan hakim sudah ditunjuk serta menentukan jadwal sidang, sementara sidang praperadilan masih berlangsung, maka praperadilan itu otomatis gugur,” papar Fickar.
Di tengah impitan waktu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah memastikan timnya akan menyiapkan seoptimal mungkin untuk menghadapi praperadilan, Kamis ini. ”Kami menghormati penetapan jadwal sidang baru oleh PN Jaksel tersebut,” ujarnya.
Fickar mengatakan, banyak hal yang harus dihitung KPK dalam menghadapi praperadilan ini. Sebab, bisa jadi hakim Kusno memberi putusan yang mengejutkan, misalnya, dengan menyatakan Novanto tidak bisa ditetapkan lagi sebagai tersangka atau disidik kembali dengan alasan nebis in idem (perkara yang sama telah diputuskan oleh hakim).
Kuasa hukum Novanto dalam permohonan praperadilannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beralasan penyidikan kembali kepada Novanto itu menyalahi hukum acara karena putusan telah dikeluarkan mengenai perkara itu (nebis in idem). Hakim Cepi Iskandar pernah memutuskan penyidikan terhadap Novanto itu tidak sah, dalam putusan yang dibacakannya pada 29 September lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kuasa hukum Novanto dalam permohonan praperadilannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beralasan penyidikan kembali Novanto itu menyalahi hukum acara karena putusan telah dikeluarkan mengenai perkara itu (nebis in idem).
Hakim tunggal Cepi Iskandar menyatakan penetapan tersangka kepada Novanto tidak sah dan batal demi hukum dengan alasan penyidikan kepada Novanto tidak dilakukan sesuai dengan aturan KUHAP. Novanto ditetapkan sebagai tersangka di awal penyidikan dan pengumpulan dua bukti permulaan dipertanyakan karena penyidikan baru dimulai, tetapi sudah ada tersangka. Selain itu, bukti-bukti yang digunakan untuk menjerat Novanto sebagai tersangka juga tidak sah karena bukti-bukti itu milik dua tersangka lain dalam kasus yang sama, yakni mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Irman serta mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Tidak ada yang bisa menebak putusan hakim Kusno. Namun, permohonan Novanto harus diwaspadai lantaran memakai dalil nebis in idem. ”Yang dikhawatirkan ialah hakim praperadilan memutuskan Novanto tidak bisa disidik lagi karena sudah ada putusan hakim sebelumnya atau nebis in idem. Itu, kan, keterlaluan kalau hakim memutus seperti itu. Namun, siapa yang bisa tahu putusan hakim, yang pasti memiliki pertimbangan sendiri,” tutur Fickar.
Putusan hakim praperadilan yang bisa sangat mengejutkan akan mengancam pengungkapan kasus dugaan korupsi KTP elektronik (KTP-el) di tengah perkembangan positif yang terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Dalam sidang pekan lalu, Andi Agustinus alias Andi Narogong mengakui sejumlah hal yang penting, antara lain pembagian uang kepada sejumlah anggota DPR, termasuk Novanto, serta pemberian jam mewah kepada Novanto, dan pengaturan tender pengadaan KTP-el sejak awal. Pengakuan Andi itu memperkuat dugaan keterlibatan Novanto dalam korupsi KTP-el.
Andi Agustinus alias Andi Narogong mengakui pembagian uang kepada sejumlah anggota DPR, termasuk Novanto, serta pemberian jam mewah kepada Novanto, dan pengaturan tender pengadaan KTP-el sejak awal.
Pengakuan Andi yang justru memberikan penguatan pada keterlibatan Novanto bisa hancur berantakan apabila putusan hakim praperadilan menyatakan Novanto tidak bisa disidik karena nebis in idem atau sesuai dengan permohonan praperadilan yang dimintakan Novanto.
”Pasca-pengakuan dan kesaksian Andi Narogong, semuanya sudah menjadi terang bahwa korupsi KTP-el itu benar-benar terjadi. Pelakunya jelas melibatkan pihak pemerintah, yakni Irman dan Sugiharto, pengusaha Andi Narogong, dan Setya Novanto yang memperjuangkannya di DPR. Pembagian uangnya juga sudah dijelaskan oleh Andi Narogong, yaitu untuk pemerintahan dan swasta, antara lain untuk Novanto dan pengusaha Mas Agung Oka. Bahkan, Setya Novanto dihadiahi jam tangan seharga Rp 1,3 miliar walaupun akhirnya dikembalikan,” papar Fickar.
Substansi pokok perkara yang sudah jelas itu, menurut Fickar, menjadikan praperadilan sebagai suatu mekanisme yang mengadili ketentuan prosedural dan formal terhadap Novanto terlalu berlebihan dan kehilangan makna.
Terkait dengan praperadilan Kamis, Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha memastikan KPK akan hadir. Berkas administrasi dan bukti-bukti praperadilan juga telah disiapkan oleh KPK semaksimal mungkin.
”Karena telah ada putusan hakim atas penundaan praperadilan itu, KPK menghargainya dan akan menyiapkan jawaban atas permohonan praperadilan pemohon,” katanya.
KPK sampai dengan saat ini masih melakukan penyidikan, termasuk di dalamnya percepatan pemberkasan ke pengadilan. KPK juga tidak akan memanggil kembali saksi-saksi dan ahli yang meringankan Novanto.
”Saksi dan ahli yang meringankan telah dipanggil oleh KPK dan mengenai kehadiran mereka itu tidak dapat dipaksakan oleh KPK. Hal itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab tersangka untuk berupaya menghadirkan mereka dalam pemeriksaan sebab kami juga telah memenuhi permintaan tersangka dengan melakukan pemanggilan,” tutur Priharsa.
Pemeriksaan saksi dan ahli yang meringankan untuk Novanto itu merupakan hak tersangka yang diatur di dalam Pasal 65 KUHAP. Pemeriksaan terhadap saksi dan ahli yang meringankan itu otomatis menambah panjang waktu penyidikan dan pemberkasan perkara Novanto. Namun, Priharsa memastikan KPK tidak akan memanggil ulang saksi dan ahli yang meringankan tersebut.
”Kami tidak ada kewajiban memanggil ulang saksi dan ahli meringankan itu, apalagi memaksa mereka untuk hadir,” ucap Priharsa.