Suara Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Nur Masripatin dipenuhi nada kecewa. Dua tahun mendatang, menurut dia, akan sangat berat bagi Indonesia dan juga dunia global dalam menyiapkan diri untuk implementasi Kesepakatan Paris pada 2020.
“Yang kita harapkan, untuk isu Kesepakatan Paris kita bawa elemen untuk membangun rumah dan kamar-kamarnya. Namun, yang disepakati hanya membangun rumahnya saja. Bagaimana kamar dibangun tidak ada,” ujar Nur Masripatin saat memaparkan laporan hasil delegasi Indonesia pada COP-23 Bonn.
Laporan hasil negosiasi delegasi dan Indonesia Pavilion disampaikan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto, Selasa (5/12), di Jakarta.
Ada tiga pertanyaan besar yang diharapkan bisa terjawab di Bonn, Jerman sebelum beranjak ke COP-24 yaitu: di mana posisi kita sekarang, apa yang ingin dicapai, dan bagaimana mencapainya.
“Kami menginginkan ada aturan main untuk Paris Agreement (Kesepakatan Paris), bagaimana elemen-elemen dari panduan Niatan Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contributions-NDC). Panduan NDC kan hanya ‘ambisius, jernih atau jelas, dan transparan’, tapi setiap negara menerjemahkan semaunya,” kata Nur Masripatin.
“Kami menginginkan ada aturan main untuk Paris Agreement (Kesepakatan Paris), bagaimana elemen-elemen dari panduan Niatan Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contributions-NDC). Panduan NDC kan hanya ‘ambisius, jernih atau jelas, dan transparan’, tapi setiap negara menerjemahkan semaunya.”
Kesepakatan Paris yang menjadi komitmen anggota The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang bertekad menahan kenaikan suhu global tidak melampaui dua derajat Celsius dibandingkan era pra-industri dan berupaya keras untuk menahan kenaikan pada 1,5 derajat Celsius pada tahun 2050. Namun isi NDC setiap negara demikian beragam.
Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen pada 2030 dengan bantuan asing, dibanding emisi karbon pada kondisi tanpa intervensi (business as usual-BAU). Sementara Maroko berkomitmen mengurangi emisi 42 persen antara tahun 2020-2030 dari emisi BAU. Australia mengajukan komitmen mengurangi 26-28 persen emisi GRK pada tahun 2030 dibanding level emisi tahun 2005.
Implementasi
Terkait perbedaan-perbedaan tersebut, maka Nur pun khawatir akan muncul kerumitan dalam penghitungan penurunan emisi. “Kalau tidak ada panduan, lalu bagaimana nanti mengukur global stock taking tahun 2023?” ujar Nur.
Indonesia, tambah Nur, ke Bonn dengan membawa usulan elemen-elemen detail. Misalnya, bagaimana penghitungan penurunan emisi, bagaimana menjalankan transparansi dengan perangkat apa, dan sebagainya. Juga soal transparansi soal aksi terkait mitigasi pada sektor apa saja, programnya apa saja, dan bagaimana metodologinya.
Apa yang dinyatakan Nur Masripatin sejalan dengan pernyataan Menteri Negara untuk Lingkungan, Konservasi Alam, Bangunan, dan Keamanan Nuklir Barbara Hendricks di penghujung COP-23 di Bonn. Hendricks mengakui bahwa yang dibicarakan di Bonn adalah tentang bagaimana mengimplementasikan Kesepakatan Paris: bagaimana mengukur dan memonitor komitmen-komitmen setiap negara.
"Yang dibicarakan di Bonn adalah tentang bagaimana mengimplementasikan Kesepakatan Paris: bagaimana mengukur dan memonitor komitmen-komitmen setiap negara"
“Datanya harus valid,” ujarnya. Sebab setiap negara berbeda dengan negara lainnya. Oleh sebab itu penting untuk menetapkan sebuah “jalur atau cara mencapai tujuan” (pathway) yang disepakati bersama.
Maka, alih-alih menjawab tiga pertanyaan tersebut, dalam COP-23 lalu tuan rumah Fiji mengajukan “Talanoa Dialogue” sebagai prinsip atau aturan main yang bakal dipegang untuk melakukan dialog sepanjang tahun 2018 sampai ke COP-24 Polandia tahun depan. Hasil yang diharapkan dari COP-24 Polandia yaitu sebuah “jalur atau cara mencapai tujuan” sebagai panduan dalam implementasi Kesepakatan Paris.
“Talanoa” merupakan sebuah konsep dari Fiji di mana setiap orang (harus) mendengarkan satu sama lain, saling menghormati perspektif pihak lain, dan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. Talanoa Dialogue merefleksikan sebuah proses yang berlangsung inklusif, dengan dialog yang transparan untuk bisa menghasilkan “buku aturan” yang (bisa) diadopsi di COP-24 Polandia.
“Satu tahun negosiasi itu berat banget karena harus ada hasil akhir tahun 2018. Ini berarti akan ada proses negosiasi lagi, akan jadi lama. Bisa bisa tahun 2020 (kesepakatan Paris) tidak jalan. Mereka serius nggak?” kata Nur.
Pertemuan COP-23 Bonn adalah sebuah ironi dari sebuah peristiwa yang melibatkan sekitar 16.000 manusia. Mereka manusia yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, memutari separoh belahan bumi untuk sampai ke Bonn. Mereka membicarakan penurunan emisi-dengan hasil minim. Sementara emisi karbon dari pesawat yang mereka tumpangi telah menambah tebal konsentrasi GRK dengan bermiliar ton GRK.
Peserta Indonesia berjumlah 577 orang. Kelompok negosiator, kata Nur, sulit melakukan konsolidasi karena terpisahnya dan jauhnya antarlokasi dan banyaknya sesi negosiasi. Dari sekian banyak peserta, yang kini ditunggu-tunggu adalah impementasi NDC.
Sementara menulis ini, ingatan melayang pada kebijakan penghilangan atau pengurangan penggunaan kantung plastik yang tak kunjung terealisasi….