Mereka yang Kukuh Menolak Bandara
Rumah Agus Orbani (50) berangsur-angsur sepi. Dua ekskavator yang sebelumnya beroperasi di sekitar rumah itu sudah pergi. Begitu pula puluhan aparat gabungan sejumlah instansi, termasuk kepolisian dan TNI, yang beberapa saat lalu memenuhi tempat tersebut. Tinggal beberapa warga yang masih duduk-duduk di halaman rumah sederhana itu.
Begitu keluar dari rumahnya, Agus menatap nanar pohon-pohon kelapa yang porak-poranda dihajar ekskavator. Batang-batang pohon itu rebah di tanah, daun-daunnya koyak, dan buahnya menggelinding ke mana-mana. Jalanan tanah sekitar rumahnya juga rusak parah dan berlubang di sana-sini setelah dilalui ekskavator.
Seandainya bisa bicara, Agus mungkin akan mengeluarkan ratapan atau sumpah serapah untuk meluapkan kesedihan dan kemarahan. Sayangnya, dia tidak bisa bicara. ”Pak Agus ini tunawicara dan tunarungu,” kata salah seorang tetangganya, Barun (38).
Agus merupakan warga Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rumah yang ia tinggali berada di Dusun Kepek, Desa Glagah, dan termasuk ke dalam lahan untuk pembangunan bandara di Kulon Progo atau kerap disebut Bandara Internasional Yogyakarta Baru/New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Selasa (5/12) siang, petugas dari sejumlah instansi datang ke wilayah sekitar rumah Agus untuk merobohkan pohon-pohon yang ada di sana. Tindakan itu merupakan bagian dari proses pengosongan lahan bandara Kulon Progo yang terus dilakukan PT Angkasa Pura I selaku pelaksana proyek dengan dukungan beberapa instansi lain. Proses pengosongan lahan kian intensif beberapa waktu terakhir karena pembangunan konstruksi bandara ditargetkan dimulai awal tahun 2018.
Namun, siang itu petugas tidak merobohkan rumah Agus karena rumah tersebut belum dikosongkan. Hingga Selasa, Agus dan sang istri, Satini (57), masih ngotot tinggal di rumah itu meski jaringan listrik sudah terputus, rumah-rumah sekitarnya sudah roboh, dan jalan menuju rumah mereka rusak parah. Di dinding teras rumah itu tertoreh tulisan ”Tanah dan Bangunan Ini Tidak Dijual untuk Kepentingan Bandara”, sementara bendera Merah Putih bertengger di atas genteng rumah tersebut.
Saat ekskavator ”meraung-raung” di dekat rumahnya dan puluhan aparat hadir, Agus memilih mengunci diri di rumah untuk menunaikan shalat. Tak sekali pun ia keluar rumah untuk menyampaikan penolakan secara frontal. Perlawanannya adalah perlawanan senyap, sesenyap suara yang bisa keluar dari mulutnya dan sesunyi bunyi yang bisa didengar oleh telinganya.
Penolakan
Agus Orbani adalah satu dari sejumlah warga Temon yang kukuh menolak pembangunan bandara Kulon Progo. Kini, mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP).
Menurut perwakilan PWPP-KP, Agus Widodo (32), mereka menolak pembangunan bandara karena proyek itu akan menggusur ruang hidup masyarakat yang selama ini tinggal turun-temurun di Temon. Dengan adanya pembangunan bandara, permukiman warga tergusur dan lahan pertanian mereka juga hilang.
Kami tidak ingin pindah dari sini karena tempat ini merupakan ruang hidup dan tempat kelahiran kami.
”Kami tidak ingin pindah dari sini karena tempat ini merupakan ruang hidup dan tempat kelahiran kami,” ungkap Agus Widodo.
Beberapa pekan terakhir, warga penolak bandara terus berupaya mempertahankan rumah mereka agar tidak dirobohkan oleh petugas. Selama berhari-hari, warga tetap bertahan di rumahnya meski kondisi kian sulit. Perjuangan warga dibantu oleh para aktivis mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari Yogyakarta dan sekitarnya yang datang ke Temon dan menginap di rumah-rumah masyarakat penolak bandara.
Saat petugas melakukan pengosongan lahan, Selasa (5/12), kericuhan antara warga dan aktivis dengan aparat kepolisian tak terhindarkan. Hari itu, kericuhan pecah dua kali, yakni sekitar pukul 10.30 dan pukul 15.00. Kericuhan pertama terjadi di Dusun Kragon II, Desa Palihan, Kecamatan Temon, Kulon Progo, sementara kericuhan kedua terjadi di Dusun Sidorejo, Desa Glagah, Kecamatan Temon.
Aktivis Aliansi Tolak Bandara Kulon Progo, Heronimus Heron, mengatakan, kericuhan pertama bermula saat petugas gabungan hendak merobohkan sejumlah pohon di sekitar salah satu rumah warga. Namun, tindakan perobohan itu ditentang warga dan sejumlah aktivis karena pohon-pohon itu merupakan milik salah seorang warga penolak bandara.
Kericuhan pun akhirnya terjadi dan polisi kemudian menangkap 12 orang, sebagian besar di antaranya berstatus mahasiswa. Sejumlah warga dan mahasiswa juga terluka akibat keributan tersebut. ”Waktu kericuhan terjadi, aku dijatuhkan lalu diinjak-injak di bagian dada dan perut. Rambutku juga dijambak sampai rontok banyak sekali," kata Rimbawana (21), salah seorang mahasiswa yang ikut ditangkap saat kericuhan pertama.
Sama seperti peristiwa pertama, kericuhan kedua juga terjadi akibat penolakan warga dan aktivis terhadap tindakan petugas yang hendak merobohkan pohon milik warga penolak bandara. Dalam kericuhan itu, polisi menangkap tiga mahasiswa.
Syarif Hidayat (22), salah seorang mahasiswa yang ditangkap saat kericuhan kedua, mengaku dipukul beberapa kali di bagian wajah. ”Saya dipukul beberapa kali di bagian muka sampai hidung dan mulut saya berdarah,” kata Syarif sambil menunjukkan bekas darah yang telah mengering di celananya.
Wakil Kepala Kepolisian Resor (Polres) Kulon Progo Komisaris Polisi Dedi Surya Dharma menyatakan, para aktivis itu diamankan karena dianggap menghalangi proses pengosongan lahan bandara Kulon Progo. ”Mereka kami amankan karena menghalang-halangi petugas yang hendak melakukan tugasnya,” katanya. Namun, pada Selasa malam, para aktivis yang ditangkap itu akhirnya dilepaskan setelah dimintai keterangan di Markas Polres Kulon Progo.
Persuasif
Manajer Proyek Pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta Baru PT Angkasa Pura I Sujiastono mengimbau warga yang masih tinggal di rumah di area bandara untuk segera pindah dan mengosongkan rumah mereka. Hal ini karena warga yang masih bertahan di rumah bakal sangat terganggu dengan kedatangan alat-alat berat yang dipakai untuk pembangunan konstruksi bandara.
Pengosongan lahan sudah mencapai sekitar 97 persen. Saat ini, di lahan bandara hanya tinggal sekitar 30 rumah yang masih dihuni oleh warga sehingga belum dirobohkan.
Sujiastono menambahkan, PT Angkasa Pura I juga terus melakukan upaya persuasif agar warga yang masih bertahan di rumahnya bersedia segera pindah. PT Angkasa Pura I siap membantu proses pemindahan barang-barang milik warga dengan menyediakan truk untuk mengangkut barang-barang tersebut. ”Kami berharap teman-teman ini bisa pindah secara sukarela. Sebab, kalau masih bertahan di sini, mereka akan sulit sendiri,” ungkapnya.
Sekretaris Proyek Pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta Baru PT Angkasa Pura I Didik Tjatur mengatakan, dari total area bandara Kulon Progo seluas 587 hektar, pengosongan lahan sudah mencapai 97 persen. Saat ini, di lahan bandara hanya tinggal sekitar 30 rumah yang masih dihuni oleh warga sehingga belum dirobohkan. Sebagian besar rumah itu merupakan milik warga yang kukuh menolak bandara, termasuk Agus Orbani yang tunarungu dan tunawicara.