JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan masyarakat dari penyakit difteri belum terbangun dengan mantap. Hal itu ditandai tingginya kasus difteri meski cakupan imunisasinya di atas 90 persen. Kondisi itu terjadi antara lain karena sebagian warga meragukan pentingnya imunisasi dan mutu vaksin yang ada.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, cakupan imunisasi DPT (difteri-pertusis-tetanus) tahun 2007 mencapai 90,6 persen. Tahun 2012, cakupan menembus angka 100,9 persen dan tahun 2015 jadi 93,1 persen. Pada periode sama, kasus difteri tercatat 183 penderita (tahun 2007), 1.192 kasus (tahun 2012), dan 502 kasus (tahun 2015).
Tahun ini 95 kabupaten atau kota di 20 provinsi melaporkan kasus difteri dengan 590 pasien, 6 persennya meninggal. Mayoritas pasien berusia di bawah 18 tahun. Pemerintah Kabupaten Tangerang, misalnya, menetapkan status kejadian luar biasa difteri sejak November lalu.
Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Husein Habsyi, Selasa (5/12), di Jakarta, menyampaikan, idealnya cakupan imunisasi 100 persen. Itu sulit tercapai karena sumber daya terbatas dan ada penolakan warga pada imunisasi. "Ada kesenjangan kekebalan di daerah," ujarnya.
Masyarakat perlu sadar bahwa difteri akibat bakteri Corynebacterium diphtheriae bisa menyebabkan kematian. Pencegahan paling efektif adalah imunisasi. Makin banyak anak diimunisasi, perlindungan komunitas dari penyakit kian baik.
Menurut Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi, penanggulangan melalui outbreak respons immunization atau imunisasi sebagai respons merebaknya difteri dilakukan pada 2012. Namun, penularan difteri terus terjadi.
Selain penolakan imunisasi, mobilitas penduduk tinggi dan status sosial ekonomi rendah berpengaruh pada munculnya kasus difteri. Kemenkes mengidentifikasi di mana ada kesenjangan kekebalan di komunitas.
Salah persepsi
Menurut keterangan yang dihimpun Kompas, munculnya kasus difteri di sejumlah daerah dipicu antara lain oleh salah persepsi warga terhadap imunisasi dan perubahan gaya hidup. Penyebab lain adalah penolakan imunisasi karena faktor agama dan belum percaya mutu vaksin.
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Dodo Suherman, di Bandung, mengatakan, penularan difteri dipicu rendahnya pemahaman tentang imunisasi, dan kesibukan kerja. "Dalam beberapa kasus, warga tak mengimunisasikan anak karena tak sempat menyisihkan waktu," ujarnya.
Hal itu sejalan dengan tingginya kasus difteri di daerah industri di Jabar. Kasus terbanyak ada di Kabupaten Purwakarta dengan 21 kasus dan 1 orang meninggal, diikuti Kabupaten Karawang (13 kasus), Kota Depok (12 kasus, 1 meninggal), dan Kabupaten Bekasi (12 kasus). "Tahun ini, ada 116 kasus dengan 13 orang meninggal," ujarnya.
Di Banten, minimnya sosialisasi menyebabkan warga belum tahu difteri bisa dicegah dengan imunisasi.
Di Banyuwangi, Jawa Timur, sejumlah orangtua menolak mengimunisasikan anak mereka karena meragukan metode penyimpanan vaksin di fasilitas kesehatan. Taufiq, misalnya, mengaku lima anaknya tak mendapat vaksin karena percaya tiap anak punya kekebalan tubuh dan vaksin tak disimpan dengan baik. "Dari informasi yang saya dapat, vaksin tidak tersimpan dengan baik, ditumpuk di gudang tanpa pendingin. Selain itu, bagaimana kita tahu vaksin asli atau tidak. Saya tidak mau anak saya jadi uji coba," katanya.
Dari informasi yang saya dapat, vaksin tidak tersimpan dengan baik, ditumpuk di gudang tanpa pendingin.
Di Palembang, Sumatera Selatan, sejumlah orangtua tak mau mengimunisasikan anaknya karena ada kasus seorang anak meninggal setelah mendapat vaksin. Di SD Negeri 75 Palembang, misalnya, dari 100 siswa kelas dua, hanya 15 orang mendapat vaksin. Ayu (29), orangtua murid, tak mengikutkan anaknya pada program imunisasi TD di sekolah. Ia khawatir ada efek sampingnya.
Terkait hal itu, Arifianto, dokter spesialis anak yang juga penulis buku Pro Kontra Imunisasi, menyatakan, pemerintah perlu melibatkan kelompok masyarakat yang sadar akan pentingnya imunisasi dalam kampanye program imunisasi ke masyarakat.