Muara Siberut, Kompas – Budaya Mentawai, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat di ambang kepunahan. Globalisasi telah membuat kepercayaan diri generasi muda Mentawai pada budayanya berkurang, sementara pemerintah dinilai masih setengah hati dalam mendorong pelestarian budaya Mentawai, terutama lewat dunia pendidikan.
Kepala Divisi Kajian Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), yayasan yang melakukan pendampingan dan advokasi hak-hak masyarakat Mentawai, Tarida Hernawati, Rabu (6/11) mengatakan, Mentawai saat ini berada pada masa-masa sulit antara mempertahankan atau meninggalkan budaya mereka.
Benteng terakhir pelestarian budaya Mentawai hanya ada di Kepulauan Siberut, sekitar 150 kilometer dari lepas pantai Sumatera Barat. Di Siberut, sikerei atau tokoh spiritual, tradisi tato, ritual adat, bahasa, rumah tradisional, dan lainnya masih ada. Namun di dua kepulauan lain, yakni Sipora dan Pagai, sudah tidak ada lagi, kecuali bahasa.
"Benteng terakhir pelestarian budaya Mentawai hanya ada di Kepulauan Siberut, sekitar 150 kilometer dari lepas pantai Sumatera Barat."
“Di Siberut pun anak-anak muda sedang berada pada masa transisi. Jadi masih bisa dikuatkan kembali. Sedangkan di Sipora dan Pagai, tidak hanya anak muda, orang tua juga harus belajar ulang kembali dari awal,” kata Tarida.
Menurut Tarida, masa transisi di Siberut terlihat pada upacara-upacara adat. “Setiap upacara adat, kami melihat ada pengetahuan, kerinduan, dan keinginan pada mereka untuk bisa melestarikan dan mempertahankan budaya. Tetapi ketika berhadapan dengan orang luar, mereka merasa belum siap,” kata Tarida.
Ketidaksiapan itu terjadi karena Mentawai, khususnya Siberut, masih dikategorikan daerah tertinggal dan terpencil. Otomatis, meski masih memiliki kepercayaan terhadap budaya sendiri, tetapi ketika berada di luar komunitas atau lingkungan budayanya, rasa bangga mereka kurang.
“Ini memang resiko dari globalisasi. Kalau kita lihat, zaman berubah. Apalagi Mentawai juga tidak bisa menutup diri dari dunia luar, dari perkembangan teknologi informasi dan pengaruh orang luar,” kata Tarida.
Stefanus Teu Sanang (59), salah satu sikerei di Muara Siberut, Siberut Selatan yang ditemui di Siberut pekan lalu mengatakan, saat ini memang sulit untuk mengajak anak-anak muda, bahkan termasuk anaknya sendiri untuk mempelajari budaya Mentawai. Dia mencontohkan, regenerasi sikerei sebagai salah sosok penting bagi masyarakat adat Mentawai sulit dilakukan. Tato Mentawai yang merupakan tato tertua di dunia juga sudah tak ada lagi.
"Saat ini memang sulit untuk mengajak anak-anak muda untuk mempelajari budaya Mentawai."
Setengah hati
Tarida mengatakan, pendidikan menjadi salah satu wadah trasnformasi paling strategis dalam meneruskan, melestarikan, dan mempertahankan budaya Mentawai. Namun, pemerintah masih setengah hati. Di sekolah-sekolah di Mentawai, belum ada kebijakan yang secara nyata mendorong kurikulum budaya Mentawai sebagai wadah pelestarian.
Kurikulum yang ada asal ada aja. “Buktinya di sekolah-sekolah banyak yang mengeluh buku yang disediakan dinas pendidikan dan kebudayaan belum mereka terima. Selain itu, belum ada kebijakan eksplisif yang secara tegas mengangkat guru honor, kontrak, atau Pegawai Negeri Sipil untuk mengajar budaya Mentawai,” kata Tarida.
Tarida menambahkan, sejak 2001 YCMM menggagas kurikulum Muatan Lokal Budaya Mentawai. Sayangnya, baru sejak 2015, dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten membuat buku ajar dan menerapkan mata pelajar muatan lokal untuk tingkat sekolah dasar untuk kelas 4-6. Sementara untuk SMP dan SMA belum.
“Kami berharap bisa dilanjutkan ke tingkat berikutnya. Kalau di SD, lebih kepada pengenalan. Belum bisa mengimplementasikan pada kehidupan sehari-hari. Dinas pendidikan dan kebudayaan harus mau bekerja keras untuk memasukkannya ke SMP dan SMA hingga perguruan tinggi. Kalau itu bisa diwujudkan, akan menimbulkan kebanggaan karena budaya mereka diterima pemerintah,” ujar Tarida.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mentawai telah mengesahkan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Uma (keluarga luas dalam sistem kekerabatan Mentawai) sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (PPUMHA).
“Dengan adanya perda, masyarakat punya ruang untuk merevitalisasi nilai-nilai adat dan budaya serta semua kehidupan budaya mereka. Selain itu, perda tersebut juga membuka ruang bagi mereka untuk menjadikan budaya sebagai modal pembangunan,” kata Tarida.
Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Siberut Selatan Hijon Tasiriloti mengakui jika kebudayaan Mentawai mulai tidak dipakai generasi muda karena gengsi. Hal ini mengkuatirkan.
“Harapan kami ke depan, SMP dan SMA ada kurikulum muatan lokal. Saat ini belum bisa dilakukan karena kendala sumber daya. Apalagi banyak yang hal yang dibutuhkan. Termasuk anggaran karena alokasi dana dari dinas juga tidak sampai ke sana,” kata Hijon.