Kematian Dini Penggilingan Kecil
Tak sedikit penggilingan padi yang tutup lebih dini.
Tidak seperti biasa, sentra penggilingan padi Karangsinom, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, akhir November lalu, senyap dan lesu. Matahari bersinar garang, tetapi justru banyak penggilingan tutup. Pagar pabrik ditutup rapat dan digembok. Truk pengangkut gabah hanya sesekali lewat. Tak banyak gabah dijemur. Kalaupun ada, jumlahnya tidak seberapa, umumnya milik penggilingan skala besar atau mitra Perum Bulog.
”Sudah tiga bulan seperti ini. Banyak kuli seperti saya tidak bekerja,” kata Randim (30), kuli salah satu penggilingan di Karangsinom.
Bagi Randim, tetap bekerja tak lantas membuatnya bahagia sebab upahnya turun drastis. Dalam sepekan, dia hanya mendapat Rp 20.000-Rp 40.000 per hari, anjlok 75-80 persen dibandingkan dengan pekan-pekan sebelumnya. Pemicunya, jumlah gabah yang dipanen, dijemur, dan digiling sedikit.
Hari itu hanya ada 10 ton gabah yang dijemur dan dikerjakan 10 kuli, termasuk Randim. Mereka dibayar Rp 200.000 untuk setiap 10 ton gabah. Setiap kuli hanya memperoleh upah Rp 20.000 hari itu.
”Sementara saya hidup mengandalkan kiriman istri yang kerja jadi TKI di Taiwan. Kondisi seperti ini yang membuat dia pergi ke sana. Penghasilan sedikit, (tetapi) utang banyak,” katanya.
Pemilik penggilingan tak kalah pening, memutar otak, mencari solusi agar tetap bertahan.
Dasmul (57), pemilik pabrik penggilingan ”AL”, menyebutkan, harga gabah kering giling kini Rp 6.800 per kilogram (kg) di pabrik. Ia pun memilih menutup usahanya karena tidak sanggup membeli gabah seharga itu.
”Serba salah. Harga beli gabah mahal, tetapi harga jual beras murah. Beras hanya ditawar Rp 10.200 per kg di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta. Padahal, modalnya saja Rp 11.500 per kg,” ujar Dasmul.
Harga penawaran yang rendah tersebut membuat usahanya ikut lesu. Biasanya, Dasmul mengirim beras ke PIBC Jakarta sebanyak 10-35 ton per hari. Kini, ia hanya mengirim maksimal 8 ton per hari. Dia pun terpaksa merumahkan 35 pekerjanya.
”Nama perusahaan saya AL atau Asal Luwih. Seharusnya memberi luwih (untung), bukan rugi,” katanya lesu.
Menurut catatan Perkumpulan Pedagang Beras Karangsinom (Pagarbesi), dari 53 pabrik penggilingan di Karangsinom, hanya sepertiga yang masih rutin beroperasi. Selebihnya mati suri. Dengan jumlah pekerja 15-50 orang per pabrik, berarti ada ratusan kuli di Karangsinom yang kehilangan pendapatan karena situasi itu.
Harga tak relevan
Koperasi Malai Padi bernasib serupa. Badan usaha yang beranggotakan petani dan penggilingan padi di sembilan kecamatan di Indramayu ini biasanya mengirim 35 ton beras per minggu ke PIBC Jakarta. Namun, dalam dua bulan terakhir, Malai Padi hanya menjual 2-3 ton per minggu. Itu pun tak sampai Jakarta, hanya ke Indramayu, Bandung, dan sekitarnya.
Patokan harga eceran tertinggi (HET) beras medium yang sebesar Rp 9.450 per kg dinilai tidak relevan lagi dengan situasi harga di lapangan. Harga gabah umumnya sudah lebih dari Rp 5.000 per kg gabah kering panen, seperti di beberapa lokasi panen di Karawang dan Indramayu (Jawa Barat) serta Pekalongan dan Kudus (Jawa Tengah), sejak pekan kedua November.
Dengan harga gabah sebesar itu dan asumsi rendemen 50-52 persen, ongkos produksi beras di tingkat penggilingan mencapai Rp 9.600-Rp 10.000 per kg.
Ketua Koperasi Malai Padi Nandang Nurdin mengatakan, permintaan beras medium seharga Rp 9.200 per kg atau kurang dari pedagang di Jakarta sulit dipenuhinya.
Ketua Pagarbesi Firman Lubis berpendapat, penetapan HET beras oleh pemerintah menjadi salah satu penyebab runtuhnya usaha penggilingan skala kecil menengah. Tidak lama setelah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 terbit pada 18 Juli 2017, pengusaha penggilingan padi di Karangsinom mogok mengirim beras ke PIBC Jakarta selama sepekan.
Selain sebagai respons atas pembatasan harga, aksi itu juga merespons serangkaian penggerebekan dan penyegelan gudang beras oleh Satgas Pangan di sejumlah daerah. Pedagang takut dianggap melanggar, lalu gudang mereka disegel dan diproses hukum karena menjual beras di atas Rp 9.000 per kg. Peraturan kontroversial itu direvisi dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/M-DAG/PER/8/2017 tentang HET Beras. HET beras medium di sentra produksi Rp 9.450 per kg, sedangkan beras premium Rp 12.800 per kg.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meyakini ketentuan HET efektif mengendalikan harga beras. Setidaknya, harga beras tak lebih dari Rp 12.800 per kg. Harga juga tidak naik secara liar, seperti yang kerap terjadi menjelang Natal dan Tahun Baru.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman meyakini produksi padi lebih dari cukup. Dia optimistis target dapat dicapai.
Amran menjamin tidak ada impor untuk menekan harga beras. Itu karena realisasi tanam padi lebih dari 1 juta hektar dan produksi 6 juta ton gabah per bulan. Produksi itu setara 3 juta ton beras per bulan atau lebih tinggi dari kebutuhan beras nasional yang rata-rata 2,6 juta ton per bulan.
Skala kecil
Dampak pemberlakuan HET paling terasa di penggilingan skala kecil. Dengan modal lebih cekak, mesin yang tak efisien, dan biaya produksi yang lebih mahal, beras produksi penggilingan kecil kalah bersaing dengan penggilingan besar, baik dari sisi harga maupun mutu. Mereka juga kalah berebut bahan baku.
Menurut Mohamad Husein Sawit dari Dewan Pembina Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), penetapan HET menutup celah insentif perdagangan beras antarmusim, antarwilayah, atau antarpulau sebab harga dipatok sama sepanjang tahun. Perbedaan HET antarwilayah juga hanya mempertimbangkan ongkos angkut.
Dalam situasi normal, sebelum kebijakan HET beras berlaku, persaingan antarpenggilingan sudah sengit karena jumlahnya dinilai terlalu banyak. Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2012, ada 169.044 penggilingan kecil atau 92 persen dari total penggilingan padi di Indonesia. Kapasitas maksimal giling melebihi jumlah gabah yang tersedia. Akibatnya, terjadi perebutan bahan baku.
Kini, selain bersaing memperebutkan gabah, pengusaha penggilingan kecil harus lebih keras memutar otak dan memeras keringat untuk memastikan usaha mereka tetap menghasilkan keuntungan. Bahkan, harus memastikan usaha itu tetap bertahan, tidak mati lebih dini.