Masyarakat Diberdayakan untuk Kelola Ekonomi Desanya secara Mandiri
Oleh
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah telah menyalurkan dana desa dengan total Rp 127 triliun. Tujuan kebijakan ini adalah membangun Indonesia mulai dari desa sesuai dengan salah satu Nawacita Presiden Joko Widodo. Agar sesuai dengan cita-cita, desa membutuhkan penduduknya berdaya dalam mengelola dana tersebut menjadi modal ekonomi yang berkelanjutan dan mandiri.
Dana desa sebagai bentuk afirmasi fiskal pemerintah merupakan modal pembangunan. ”Namun, pembangunan yang diharapkan tidak hanya infrastruktur dan pelayanan sosial dasar. Lebih dalam dari itu, seharusnya pembangunan desa turut menguatkan kualitas penduduknya,” kata Direktur Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Ahmad Erani Yustika dalam seminar nasional berjudul Kawasan Perdesaan dan Nilai Tambah Ekonomi di Jakarta, Kamis (7/12).
Bentuk pemberdayaan penduduk desa yang paling dasar terkait pengelolaan dana desa. Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Muliaman D Hadad menyatakan, uang yang banyak belum tentu berujung keberhasilan jika pemberdayaan masyarakatnya tak mampu mengelola dana tersebut.
Terkait pengelolaan dana desa, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengatakan, penduduk desa harus mampu mengelola dana yang dikucurkan kepadanya siap tidak siap. ”Kalau tidak dari sekarang, mau kapan lagi? Toh dana (desa) ini bertujuan untuk membangun desa itu sendiri,” katanya.
Seharusnya pembangunan desa turut menguatkan kualitas penduduknya.
Terkait kesiapan pengelolaannya, menurut Eko, dari tahun 2015 hingga 2017 tahap satu menunjukkan adanya peningkatan. Indikatornya ditinjau dari tingkat penyerapannya.
Eko memaparkan, penyerapan dana desa pada 2015 sebesar 82,72 persen dengan jumlah 74.093 desa. Pada 2016, jumlah menjadi 74.754 desa dengan tingkat serapan mencapai 97,65 persen. Sementara pada 2017, tahap pertama meningkat menjadi 98,41 persen dengan jumlah 74.910 desa.
Dana desa itu digunakan untuk membangun infrastruktur yang menunjang ekonomi, seperti jembatan, jalan, atau irigasi. Selain itu, sejumlah fasilitas pelayanan sosial juga didirikan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa. Eko menuturkan, ”Ini memang tidak berdampak langsung pada roda perekonomian. Namun, dari pembangunan itu, saya bisa simpulkan masyarakat desa paham kebutuhannya sendiri.”
Dalam pengelolaan dana desa, kepala desa dan jajarannya didampingi oleh tim yang merupakan kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi untuk desa (pertides). Namun, menurut Eko, kerja tim ini belum optimal karena satu tim mendampingi empat desa. Idealnya, satu tim untuk satu desa.
Ada juga kelompok yang mengaku mendampingi, padahal tidak membantu apa pun.
Menurut pengamatan Eko, pada praktiknya, ada sejumlah lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, atau sukarelawan setempat yang membantu pendampingan secara sukarela. ”Namun, ada juga kelompok yang mengaku mendampingi, padahal tidak membantu apa pun,” ujarnya.
Selain pendamping, ada juga tim yang mengawasi pengelolaan dana desa. Untuk mempermudah proses pendampingan dan pengawasan, Eko mengatakan, pihaknya menyiapkan aplikasi ponsel pelaporan dan panggilan pusat satuan petugas dana desa, 1500040.
Pelatihan dari pemerintah daerah setempat akan memberi keterampilan dan keahlian yang tepat pada penduduk desa untuk mengolah potensi yang ada di desanya masing-masing.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menyarankan untuk berkolaborasi dengan balai-balai pelatihan pemerintah daerah agar pengelolaan dana desa dapat mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat setempat. ”Pelatihan dari pemerintah daerah setempat akan memberi keterampilan dan keahlian yang tepat pada penduduk desa untuk mengolah potensi yang ada di desanya masing-masing,” ujarnya.
Wirausaha untuk berdaya
Dalam pandangan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Munawar Ismail, afirmasi fiskal yang berupa dana desa bersifat vertikal secara ekonomi, dari pemerintah untuk masyarakat desa. ”Perlu ada inisiatif kegiatan ekonomi yang bersumber dari dalam masyarakat desa itu sendiri. Salah satunya dengan berwirausaha,” katanya.
Jika penduduk desa berwirausaha, kegiatan ekonomi di dalamnya akan berkelanjutan. Munawar mengatakan, jangka panjangnya, kegiatan berwirausaha dapat menurunkan ketimpangan dan kemiskinan serta meningkat potensi keberlanjutan desa.
Berwirausaha dapat menurunkan ketimpangan dan kemiskinan serta meningkat potensi keberlanjutan desa.
Muliaman menambahkan, selain pendekatan kebijakan berupa dana desa, pendekatan komersial juga diperlukan. ”Pendekatan komersial bersifat berkesinambungan, berbeda dengan pendekatan kebijakan yang rentan terhadap situasi politik,” ujarnya.
Wirausaha dinilai Muliaman sebagai bentuk pendekatan komersial. Bahkan, berwirausaha berarti penduduk desa itu mampu berdaya secara mandiri.
Salah satu yang memberdayakan masyarakat desa lewat wirausaha adalah Helianti Hilman, Chief Executive Officer Javara Indonesia. Sampai saat ini, pihaknya telah memberdayakan sekitar 52.000 petani lokal se-Indonesia dan menghasilkan 750 produk. Sepertiga produknya telah mendapatkan sertifikasi organik.
Produk Javara Indonesia berupa komoditas-komoditas asli suatu desa tertentu, misalnya beras, kacang-kacangan, kelapa, sorgum, dan garam. ”Semua ini dimulai ketika 10 tahun lalu saya bertemu dengan petani-petani asli di desa-desa yang mengolah keragaman komoditas Nusantara. Tiap desa berbeda-beda dengan keunggulannya masing-masing,” kata Helianti.
Produk Javara Indonesia berupa komoditas-komoditas asli suatu desa tertentu, misalnya beras, kacang-kacangan, kelapa, sorgum, dan garam.
Bentuk wirausaha yang diajarkan Helianti tidak hanya terkait dengan pengolahan produk, tetapi juga strategi penjualannya. Hal-hal detail, seperti pemasaran, citra produk, dan inovasi pengemasan, pun disampaikan. Dia mengatakan, pelajaran pertama yang dibagikan adalah tentang mengenal selera pasar.
Menurut Helianti, penting mengajarkan materi penjualan kepada penduduk setempat agar mereka tidak bergantung pada Javara Indonesia. ”Kami hanya membantu mengurus standardisasi produk, penelitian dan pengembangan produk, serta akses pada bank. Tujuannya agar penduduk desa dapat mandiri mengelola komoditas lokalnya,” ujarnya.
Hingga saat ini, 60 persen produk Javara Indonesia sudah diekspor ke 21 negara di empat benua. Sisanya dipasarkan di dalam negeri.
Terus membangun
Per September 2017, penyerapan dana desa tahap kedua sudah mencapai 90 persen. Eko mengatakan, targetnya setinggi mungkin, tidak menutup kemungkinan hingga 100 persen.
Per September 2017, penyerapan dana desa tahap kedua sudah mencapai 90 persen.
Pemerataan alokasi dana desa ini bergantung pada komitmen kepala daerahnya. Eko mengatakan, yang menerima dana desa harus langsung kepala daerahnya. ”Pemerataan ini tidak hanya di Pulau Jawa. Kepala daerah di luar Jawa juga menunjukkan komitmennya. Contohnya, Halmahera Barat, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Soppeng, Maros, dan Merauke,” ujarnya.
Salah satu program prioritas pembangunan desa adalah badan usaha milik desa (bumdes). Menurut Eko, bumdes berpotensi menghasilkan Rp 100 juta tiap bulannya.
Sampai saat ini, jumlah bumdes mencapai 21.850 badan usaha. ”Namun, yang untung baru 4.000-5.000 bumdes. Keuntungan tiap bumdes beragam, paling rendah ada yang Rp 10 juta, sedangkan paling tinggi Rp 15 miliar. Kami tetap berusaha agar bumdes lainnya dapat lebih optimal,” kata Eko. (DD09)