Trump, Jerusalem, dan Deklarasi Perang
Presiden Amerika Serikat Donald Trump membakar dunia! Ibarat kata, seperti Kaisar Nero (37-68) yang membakar kota Roma. Rasanya tidak ada istilah lain yang lebih tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh Trump, dengan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan rencana pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Keputusan tersebut diambil saat ketegangan di Semenanjung Korea masih tinggi karena Korea Utara mengancam akan menggunakan senjata nuklir; perang, pembunuhan, dan pertumpahan darah masih membasahi bumi Yaman, Suriah, Irak, Afghanistan; dan serangan teroris terjadi di mana-mana. Trump mengambil keputusan tersebut secara sepihak.
Dengan keputusan itu, AS menjadi negara pertama yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. AS juga menjadi negara pertama yang akan memindahkan kedubesnya ke Kota Suci tiga agama samawi itu: Yahudi, Kristen, dan Islam. Semua itu terjadi setelah 70 tahun silam Presiden Truman mengakui negara Israel.
Dalam pidatonya selama 11 menit itu, memang, Trump tidak menyebut secara jelas Jerusalem bagian mana yang diakui sebagai ibu kota Israel: apakah Jerusalem Barat atau Jerusalem Timur. Ia hanya mengatakan, keputusannya didasarkan pada realitas Jerusalem saat ini bahwa seluruh Jerusalem ada di bawah kekuasaan Israel-termasuk Jerusalem Timur yang dianeksasi Israel dalam perang 1967. Meskipun realitasnya sekarang seluruh Jerusalem di bawah kekuasaan Israel, itu tidak berarti bahwa Israel sebagai pemilik sah Kota Suci tersebut, juga tidak berarti bahwa Israel berhak mengklaim sebagai pemilik tunggal kota itu.
Oleh karena itu, sangatlah wajar atau sudah pantas dan selayaknya kalau keputusan Trump memancing reaksi dari sejumlah negara, dari para pemimpin negara-termasuk Paus Fransiskus-tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga di Eropa, juga Indonesia, dan masyarakat dunia. Bahkan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres pun mengatakan, pernyataan Trump "akan membahayakan prospek perdamaian Israel dan Palestina". Presiden Joko Widodo mengecam keras tindakan Trump tersebut.
Mengapa dunia mengecam? Keputusan Trump telah menabrak dan meruntuhkan status quo Jerusalem dan menyulut permusuhan. Hingga saat ini belum ada keputusan hukum yang mengikat kedua belah pihak. Yang ada hanyalah kedua belah pihak-Israel dan Palestina-sama-sama mengklaim Jerusalem sebagai ibu kotanya di kemudian hari. Di sinilah kecerobohan pertama AS karena langsung mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Terus ibu kota Palestina, nantinya, di mana?
Memang, pada Januari 1950, Knesset (Parlemen) Israel menyatakan Jerusalem adalah ibu kota Israel. Namun, tidak ada satu negara pun yang mau mengakui hal itu, termasuk AS. Setelah menganeksasi Jerusalem Timur (Kota Lama, yang semula di bawah kontrol Jordania), Israel mengubah demografi, fisik, karakter sejarah, dan beberapa langkah yang melanggar status hukum Jerusalem, hukum internasional, dan resolusi PBB. Puncaknya, pelanggaran dilakukan pada 30 Juli 1980 ketika Israel menyatakan Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Tindakan itu dikecam Dewan Keamanan PBB dalam Resolusi 478 (20 Agustus 1980), dikecam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam pertemuan di Fez, Maroko (20 September 1980), dan juga oleh opini dunia (Henry Cattan: 1980). Keputusan Israel itu mengobarkan ketegangan dan mengancam perdamaian.
https://youtu.be/yR45htRvQ5A
Status hukum
Status hukum Jerusalem, hingga kini, memang belum selesai. Usaha pertama untuk menyelesaikan masalah Jerusalem dilakukan tahun 1947 dengan dibentuknya Komite Khusus PBB tentang Palestina, yang beranggotakan 11 orang. Namun, mereka tidak berhasil menyelesaikan masalah Palestina; tentang Jerusalem, tim merekomendasikan agar Jerusalem dijadikan kota internasional.
Laporan tim kemudian diadopsi menjadi Resolusi 181 (II). Tiga tahun kemudian, Dewan Perwalian PBB (yang ditetapkan berdasarkan Resolusi 181), 4 April 1950, mengesahkan UU Kota Jerusalem. Dalam pembukaan UU itu secara tegas disebutkan Jerusalem sebagai corpus separatum (entitas terpisah) di bawah Rezim Internasional Khusus dan seyogianya diurus PBB. Pernyataan dalam pembukaan itu ditegaskan dalam Pasal 1: "Undang-undang yang baru sekarang ini menegaskan Rezim Internasional Khusus bagi kota Jerusalem dan mengangkatnya sebagai corpus separatum di bawah pemerintah PBB" (Trias Kuncahyono: 2008).
Sampai di sini Jerusalem dibahas dan belum menunjukkan titik terang. Apakah status Jerusalem sungguh-sungguh tidak bisa dirundingkan? Israel selalu menolak untuk membahas Jerusalem dalam perundingan-perundingan perdamaian.
Lewat resolusi-resolusinya, Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB menegaskan "status hukum Jerusalem". Lewat Resolusi Nomor 252 (21 Mei 1968), DK PBB menyerukan Israel menghentikan langkahnya menyatukan Jerusalem (ada di bawah kekuasaannya). Namun, resolusi itu tidak digubris Israel, yang tetap menyatukan Jerusalem Timur dan Barat.
Tentang status hukum Jerusalem juga dinyatakan dalam Resolusi 32/5 (28 Oktober 1977) yang diterbitkan MU PBB. Sementara tentang "status khusus Jerusalem" disebut dalam Resolusi DK PBB No 452 (20 Juli 1979), No 465 (1 Maret 1980), dan No 476 (30 Juni 1980).
Sejak resolusi pertama yang dikeluarkan MU PBB, Resolusi 181 (1947), hingga tahun 2010, PBB sekurang-kurangnya sudah menerbitkan 18 resolusi tentang Jerusalem
Sejak resolusi pertama yang dikeluarkan MU PBB, Resolusi 181 (1947), hingga tahun 2010, PBB sekurang-kurangnya sudah menerbitkan 18 resolusi tentang Jerusalem. Akan tetapi, resolusi-resolusi itu seakan berlalu begitu saja, terbang dibawa angin ke gurun, dan Israel sama sekali tak mengindahkannya. Tidak ada sanksi apa pun terhadap Israel.
Upaya untuk menyelesaikan masalah Jerusalem terus dilakukan meski dalam Perjanjian Camp David 1978 tidak dibahas, hanya dikatakan akan dibahas secara terpisah. Baru pada Perjanjian Oslo 1 (1993), masalah Jerusalem dibahas; juga dalam Deklarasi Washington 1994; Kesepakatan Sementara Israel-Palestina (1995), Rencana Perdamaian Arab Saudi (2002), "Roadmap" Kuartet (2003), dan sejumlah usulan perdamaian. Akan tetapi, semuanya belum menghasilkan kesepakatan tentang status akhir Jerusalem.
Ada usaha lain untuk mempertahankan status quo Jerusalem, yakni dilakukan oleh Takhta Suci dan PLO pada 15 Februari 2000. Mereka menyodorkan "Kesepakatan Mendasar" yang meminta "Statuta Internasional Terjamin" untuk mempertahankan Jerusalem tetap di bawah kontrol internasional sesuai dengan hukum internasional (Maurizio Scaini: 2001).
https://youtu.be/ahlM0SE_frE
Deklarasi perang
Dengan status Jerusalem seperti itu, keputusan Trump sungguh sulit dipahami. Sulit pula memahami logika dan jalan pikiran Trump yang menyatakan bahwa langkah itu justru akan menjadi jalan bagi terciptanya perdamaian.
Hal yang juga sulit dipahami adalah Trump mengatakan bahwa Jerusalem "adalah salah satu isu yang paling sensitif" bagi perundingan perdamaian; AS "akan mendukung solusi dua-negara jika disetujui kedua belah pihak". Namun, kesensitifan isu Jerusalem dalam konflik Israel-Palestina justru diabaikan.
Trump mengatakan, Jerusalem akan tetap jadi tempat berdoa bagi tiga agama samawi. Bagaimana mungkin, sekarang saja, kerap muncul persoalan antara aparat keamanan Israel dan Palestina, dan juga para peziarah.
Jerusalem tetap merupakan faktor kunci setiap penyelesaian politik antara Israel dan Palestina. Tidak hanya penyelesaian konflik, tetapi juga menjadi faktor utama bagi Israel dalam menjalin hubungan dengan negara-negara Arab, negara Muslim
Harus diakui, Jerusalem tetap merupakan faktor kunci setiap penyelesaian politik antara Israel dan Palestina. Tidak hanya penyelesaian konflik, tetapi juga menjadi faktor utama bagi Israel dalam menjalin hubungan dengan negara-negara Arab, negara Muslim. Karena itu, kebijakan Israel (sekarang AS) atas Jerusalem tidak hanya berdampak pada penduduk Palestina, tetapi juga mengancam proses perdamaian, memicu pergolakan.
Kebijakan Trump yang hantam kromo , tidak peduli terhadap dampaknya, sekadar untuk memenuhi janji kampanye, demi "American first", yang lain terserah, telah melukai banyak pihak dan berakibat buruk bagi perdamaian dunia, tidak hanya perdamaian Timur Tengah. Bisa jadi ke depan kita akan menyaksikan perlawanan terhadap AS di mana-mana dalam berbagai bentuk aksi, yang sekarang sudah mulai terlihat.