Adat Menjaga, Tak Silau oleh Emas
Kerap kali saat mandi di Sungai Bedah, Iskandar menemukan butiran yang tampak berkilau dan terasa halus jika disentuh. Kilaunya memikat di antara pasir dan bebatuan. Jika dikumpulkan, bakal makin banyaklah butiran terkumpul.
Tiada yang menyangkal, butiran yang diketahui sebagai emas itu banyak terserak di sekitar Dusun Baru, Rantau Panjang, Kabupaten Merangin, Jambi. Jangankan di tepi sungai, emas pun melimpah di pekarangan, sawah, juga di tepi jalan.
"Kalau dak pecayo (tak percaya), cubo (coba) korek tanah di depan rumah ini, pasti ado-lah (ada emasnya)," ujar Iskandar, akhir Oktober lalu.
Kalau dak pecayo (tak percaya), cubo (coba) korek tanah di depan rumah ini, pasti ado-lah (ada emasnya).
Namun, banyaknya kandungan emas tak mengubah kehidupan warga. Sehari-hari, lelaki pergi berkebun, sedangkan perempuan menjaga padi di sawah. Jika padi belum berbuah, mereka memancing ikan di sungai.
Emas tetap aman, tersimpan baik di tempatnya. Hukum Adat Enam Puluh Segala Batin, yang berlaku sejak abad ke-15, dipegang teguh hingga kini, dan diyakini itulah penjaga emas. Hukum itu mengatur seluruh tatanan kehidupan masyarakat, termasuk menetapkan sanksi atas pelanggaran pidana ataupun perdata adat. Aturan main tentang mendulang emas, atau disebut ngerai, ada di dalamnya.
Aturan ngerai emas hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang ditetapkan bersama oleh adat, biasanya pada masa padi belum berbuah.
Malam sebelum ngerai, warga menggelar doa dan makan bersama. Tujuannya agar ngerai tidak menimbulkan bala. Aktivitas mendulang juga tak boleh dilakukan di sepanjang sungai sekitar dusun agar air sungai tetap jernih.
Mendulang merupakan tradisi memilah emas dari pasir kuarsa di atas wadah kayu bulat pipih yang bentuknya mirip caping, tetapi lebih landai. Cara memisahkan emas dan pasir dengan melakukan gerakan memutar ke satu arah. Selanjutnya, kuarsa terdorong ke pinggir, sedangkan emas ke bagian tengah. Butiran kuarsa lalu dikeluarkan dari putaran, begitulah seterusnya sampai hanya tersisa butiran emas di atas wadah.
Pantang mendulang
Sejak nenek moyang mereka yang berasal dari Suku Batin XXV ini masih menganut animisme, ada kepercayaan soal pantang mendulang. Warga tidak boleh semaunya mendulang. Ada aturannya. Jika seseorang mendulang tanpa seizin pemangku adat, akan terjadi bala.
Pernah suatu ketika ada warga bermaksud mendulang emas tanpa izin pemangku adat. Sewaktu emas tengah didulang, kebakaran terjadi di rumah warga itu. Lain waktu, ada warga mendulang emas tanpa izin di tepi Sungai Bedah, lalu membawa hasil emas untuk dijual. Setibanya di pasar, emas berubah menjadi pasir hitam. Dari situlah diyakini bahwa para leluhur sedang menegur jika ada pantangan yang dilanggar.
Warga yang ketahuan mendulang emas tanpa izin akan dikenai denda adat, membayar seekor kambing dan sejumlah beras. Hukum adat juga mengatur tradisi ngerai sebagai bagian dari sedekah kepada kaum miskin. "Kalau sekadar untuk makan, boleh, tapi kalau ditambang untuk memperkaya diri, pasti ada saja kualatnya," kata Darnis, warga setempat.
Dari ibu kota Bangko dibutuhkan waktu tak sampai sejam untuk mencapai Dusun Baru. Lokasinya yang sangat dekat dari pusat ibu kota tak mengubah peradaban di sana. Sekitar 60 rumah yang berdiri sejak 600 tahun silam masih sama kondisinya. Rumah-rumah panggung itu dibangun dari kayu kuno. Lawasnya nuansa permukiman Dusun Baru menjadikannya tampak kontras dibandingkan dengan permukiman sekitar, yang didominasi bangunan batu dan keramik.
Pulau emas
Gairah mendulang emas tertuang dalam buku karya peneliti William Marsden, The History of Sumatera. Marsden menyebut kandungan emas sangat melimpah di Jambi. Hasilnya diekspor melalui Padang.
Kekayaan itu menjadikan Jambi dikenal sebagai salah satu eksportir emas terbesar se-Sumatera. Sejak 1750, sebanyak 80 persen ekspor Jambi dikuasai komoditas emas. Temuan serupa di tempat lain mengangkat nama Sumatera dijuluki Suwarnadwipa alias pulau emas.
Belakangan, ekspansi pemodal yang membuka lokasi tambang emas baru menimbulkan demam emas di mana-mana. Hampir tak ada lagi daerah aliran sungai yang aman dari kerukan ekskavator dan dompeng.
Lebih parahnya, pertambangan itu dicemari maraknya pemanfaatan logam berat merkuri, yang dipakai untuk memurnikan emas. Limbah merkuri terbuang bebas ke persawahan, permukiman, dan mengalir ke sungai. Paparannya yang berdampak merusak saraf dan organ tubuh telah mengancam keselamatan warga.
Hasil uji sampel air Sungai Pangkalan Jambu di Kabupaten Merangin, misalnya, yang diuji di laboratorium Balai Besar Air Tawar Jambi pada 2016, menunjukkan kandungan merkuri mencapai 5,045 ppb. Itu melampaui batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1 ppb.
Hasil uji Laboratorium Lingkungan Hidup Kabupaten Merangin menunjukkan, sungai setempat tercemar berat akibat tambang emas, mulai dari Sungai Masumai, Kibul, hingga Tabir, yang airnya melintasi Dusun Baru. Tingkat kekeruhan air di Sungai Masumai mencapai angka 195 nephelometric turbidity unit (NTU), melewati batas maksimal yang ditoleransi, 100 NTU.
Kekeruhan air di Sungai Tabir dan Sungai Kibul lebih parah, dengan tingkat kekeruhan 520 dan 614 NTU. "Kekeruhannya jauh melampaui batas toleransi standar air sungai," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Lingkungan Hidup Kabupaten Merangin Sutoto.
Bahkan, warga Dusun Baru yang masih menjaga tradisi mendulang pun tak mampu mempertahankan air Sungai Bedah di permukiman mereka supaya tetap jernih. Air sungai itu kini lebih mirip warna kopi susu. Masyarakat tak punya kuasa menahan aktivitas tambang liar yang marak di bagian hulu sungai. "Ribuan orang ikut menambang di bagian hulu sana, sulit kami lawan," ujar Iskandar.
Mendulang emas secara tradisional kini makin jarang dilakukan. Mungkin, tinggal kearifan ngerai di Dusun Baru yang tersisa. Entah sampai kapan hukum adat itu tetap bertahan.