Masih Relevankah Sidang Praperadilan Setya Novanto?
Sejak berkas perkara korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik dilimpahkan ke pengadilan, status Ketua DPR Setya Novanto kini menjadi terdakwa. Dengan status yang telah berubah dari tersangka menjadi terdakwa itu, relevansi upaya praperadilan yang dilakukan Novanto menjadi dipertanyakan. Pasalnya, praperadilan saat ini menggugat status tersangka Setya Novanto di penyidikan.
Senin (11/12) ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar lanjutan sidang praperadilan yang dimohonkan kuasa hukum Setya Novanto. Sesuai jadwal persidangan dan agenda yang diperintahkan hakim Kusno pekan lalu, jadwal persidangan Senin besok adalah pembuktian oleh pemohon. Sejumlah saksi yang dihadirkan pemohon akan didengarkan keterangannya di pengadilan.
Berkas materi pokok perkara Novanto telah dilimpahkan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa Nomor PP-88/24/12/2017 itu telah diterima Ketua PN Jakpus. Ketua Majelis pada PN Jakarta Pusat juga telah mengeluarkan Penetapan Nomor 130/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst, pada 7 Desember 2017 yang isinya menjadwalkan sidang Novanto pada Rabu, 13 Desember, serta memerintahkan jaksa agar menghadapkan terdakwa Setya Novanto di persidangan.
Mengacu pada status Novanto sebagai terdakwa sebagaimana ditetapkan Ketua Majelis Hakim PN Jakpus, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mempertanyakan relevansi praperadilan itu.
”Kami sudah menuangkan di dalam jawaban praperadilan bahwasanya saat ini status Setya Novanto sudah terdakwa. Hal itu mengacu pada penetapan hakim PN Jakpus sehingga akan menjadi pertanyaan, apakah masih relevan jika yang dipersoalkan adalah status tersangka di penyidikan, sementara penyidikan telah selesai atau tidak berjalan lagi saat ini,” kata Febri, Minggu (10/12) di Jakarta.
Saat ini status Setya Novanto sudah terdakwa. Hal itu mengacu pada penetapan hakim PN Jakpus sehingga akan menjadi pertanyaan, apakah masih relevan jika yang dipersoalkan adalah status tersangka di penyidikan.
Menurut Febri, jika pihak Novanto sudah yakin dengan bukti-bukti yang dimiliki, sebaiknya menyiapkan diri untuk menghadapi proses hukum yang ada di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Pada sidang praperadilan pertama, Kamis pekan lalu, hakim Kusno juga sudah menawarkan kepada kuasa hukum Novanto apakah pihaknya mencabut permohonan praperadilan karena berkas materi pokok perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan. Namun, saat itu kuasa hukum Novanto, Ketut Mulya Arsana, memilih meneruskan permohonan demi perlindungan atas hak-hak asasi kliennya.
Ketentuan mengenai gugurnya praperadilan itu juga telah diatur melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 102/PUU-XIII/2015. Putusan itu secara tegas menyatakan, permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa atau pemohon praperadilan. Putusan itu menjelaskan bahwa praperadilan gugur ketika sidang pertama materi pokok atas nama terdakwa yang juga pemohon praperadilan digelar di pengadilan.
Putusan MK itu memperjelas tafsir atas Pasal 82 Ayat 1 Huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Adili ”in absentia”?
Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho menjelaskan, berdasarkan putusan MK itu, jika surat dakwaan sudah dibacakan, praperadilan itu otomatis gugur. Namun, berpegangan pada ketentuan KUHAP, pembacaan dakwaan harus dihadiri terdakwa.
”Yang masih menjadi kekhawatiran adalah apabila sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor itu ditunda karena Setya Novanto sakit, misalnya. Ini menjadi masalah besar sebab hakim bisa saja memutuskan agar dakwaan dimundurkan karena terdakwa tidak hadir. Karena surat dakwaan tidak jadi dibacakan, artinya sidang dakwaan belum dimulai,” kata Hibnu.
Yang masih menjadi kekhawatiran adalah apabila sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor itu ditunda karena Setya Novanto sakit, misalnya. Ini menjadi masalah besar sebab hakim bisa saja memutuskan agar dakwaan dimundurkan karena terdakwa tidak hadir
Dengan perhitungan ini, selama praperadilan masih berlangsung dan sidang dakwaan belum dimulai, menurut Hibnu, permohonan praperadilan itu belum akan gugur atau masih relevan untuk diperiksa oleh hakim.
Hakim Kusno pada persidangan praperadilan pada 30 November lalu juga telah menegaskan, prinsip pengadilan adalah diselenggarakan secara sederhana, cepat, dan murah. Ia tidak menginginkan ada kesan praperadilan sengaja diulur atau ditunda-tunda. KUHAP telah menentukan selambat-lambatnya dalam tujuh hari kerja. Pasal 82 Ayat 1 Huruf c KUHAP juga mengatur tentang ketentuan tersebut. Pasal itu berbunyi, ”Pemeriksaan itu dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.”
Dengan perhitungan sidang praperadilan Novanto dimulai 7 Desember, hakim selambat-lambatnya harus sudah menjatuhkan putusan pada 15 Desember. Sebaliknya, sidang materi pokok Novanto yang dimulai pada 13 Desember di Pengadilan Tipikor kemungkinan bisa dimundurkan apabila ada hal-hal luar biasa terjadi.
Mengenai kemungkinan penundaan sidang materi pokok Novanto, KPK dalam jawaban praperadilan telah mengemukakan bahwa hal itu tidak dimungkinkan mengingat pengadilan yang mengharuskan terdakwa hadir dikecualikan untuk perkara korupsi. Terdakwa dalam perkara korupsi bisa diadili secara in absentia.
Pasal 38 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 menyatakan, ”Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.”
Namun, mengenai hal ini, Hibnu memberikan catatan. ”Pengadilan in absentia dalam kasus Novanto ini tidak boleh dilakukan karena terdakwa ada. Pengadilan in absentia baru bisa dilakukan kalau terdakwa dinyatakan tidak ketemu atau hilang raib,” ujarnya.
Dalam sejarah pengadilan kasus korupsi di Indonesia, pengadilan in absentia pernah digelar untuk menghukum mantan Komisaris Utama Bank Harapan Santosa (BHS) Hendra Rahardja, Eko Edy Putranto, dan Sherny Kojongian, tahun 2002. Putusan PN Jakpus Nomor 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST itu menghukum Hendra Rahardja seumur hidup, Eko Edy Putranto 20 tahun penjara, dan Sherny Kojongian 20 tahun penjara. Hendra diketahui berada di Australia, sedangkan Eko dan Sherny tidak diketahui keberadaannya saat kasus itu digelar. Negara dirugikan sekitar Rp 2,659 triliun dalam kasus penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tersebut.
Segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam kasus Setya Novanto. KPK berharap pengadilan bisa berjalan sesuai dengan jadwal yang semestinya.
Tindak pidana korupsi itu dilakukan terdakwa bersama-sama dengan anaknya, Eko Edy Putranto, yang juga menjabat Komisaris BHS ataupun Direktur Treasury/Direktur Kredit BHS Sherny Kojongian. Kedua terdakwa, Eko dan Sherny, yang kini tak diketahui keberadaannya pun dituntut hukuman masing-masing selama 20 tahun. Jaksa juga meminta majelis hakim yang dipimpin Subardi menjatuhkan hukuman denda kepada terdakwa masing-masing Rp 30 juta, subsider kurungan selama enam bulan (Kompas, 13 Maret 2002).
Segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam kasus Novanto. KPK berharap pengadilan bisa berjalan sesuai dengan jadwal yang semestinya. Tanpa alasan yang sah, seorang terdakwa tidak bisa mangkir dari panggilan pengadilan. Publik juga berharap keadilan dan kebenaran mengenai dugaan korupsi KTP-el itu segera terungkap dengan dilimpahkannya berkas Novanto ke pengadilan