Desa Menari, Cermin Membangun Desa Mandiri
Sepuluh penari remaja Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, sibuk menata rias wajahnya.
Peribahasa “tak ada rotan, akarpun jadi” terasa menjadi begitu nyata, ketika Titi Ananti (18) dan Melisa Wulandari (11) terlihat merias wajahnya berbekal cermin patahan spion sepeda motor. Sementara, Umi Uswatun menggunakan pantulan telepon genggam yang sedang dimatikan milik kawannya.
“Cermin kami sudah habis, Pak,” kata Titi, sambil asyik memoles warna biru dan putih di sekitar pelipisnya.
Tak hanya Titi dan Umi Uswatun, remaja belasan tahun seperti Solekah, Ayu Nur Fitriani, Syahrul Neeza Ariana Nugroho, Dela Perwitasari, Susanti, Melisa Wulandari, Salsa Diva Ariani, Ernawati, tak ingin kehilangan waktu untuk berdandan.
Bahkan, penari cilik lainnya Devisma Sukma, Khofifah, dan Dewi Nugraheni yang baru beranjak tujuh tahun ikut dilibatkan untuk menampilkan tari Topeng Ayu di hadapan sekitar 50 peserta Workshop Jurnalis Industri yang diselenggarakan PT Astra International Tbk, Kamis (7/12).
Dari 10 cermin yang dibutuhkan, hanya ada empat cermin kotak kecil yang tersedia. Tak ingin menunggu kawannya berdandan, mereka pun tak kehabisan akal.
Beberapa patahan spion sepeda motor, telepon genggam pinjaman warga hingga pecahan cermin terpaksa mereka pakai. Tiga penari cilik tanpa membuang waktu malah memanfaatkan cermin spion sepeda motor yang terparkir di sudut rumah kecil itu.
Tak terlihat penata rias. Tangan-tangan terampil mereka sendirilah yang menorehkan warna-warni di wajahnya menyesuaikan kostum tariannya.
Mereka duduk di bangku kecil atau dikenal dingklik sambil mengitari bungkusan bahan pewarna wajah.
Sementara, delapan lelaki cilik yang disiapkan untuk menampilkan tari Geculan Bocah sudah dirias oleh masing-masing orang tuanya.
Bocah-bocah itu tampil dengan kostum celana congkrang hitam dipadukan kain batik, serta dibalut stagen di pinggangnya. Sementara, dada mungil itu dibiarkan terbuka dan kepala ditutup dengan blangkon.
Desa yang baru-baru ini dikenal sebagai Desa Menari dengan maskot tari “Topeng Ayu” ini terletak di kawasan wisata Kopeng. Letak desa ini sekitar 58 kilometer ke arah Selatan dari kota Semarang dan 11,7 kilometer dari kota Salatiga.
Sementara, dari kota Magelang ke arah timur sekitar 33,3 kilometer dan dari Yogyakarta ke arah Selatan sekitar 76,8 kilometer, serta dari Solo ke arah Barat sekitar 59 kilometer.
Desa yang selama ini tidak masuk sebagai prioritas pembangunan daerah tertinggal akhirnya pada 17 Feb 2013 diresmikan sebagai Desa Menari oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah, Hj Rustriningsih.
Usai merias wajah, alat musik tradisional gamelan yang jauh dari lengkap disiapkan oleh warga. Menunggu dan terus menunggu, hujan deras pun mengguyur disertai angin.
Sebagian bocah terlihat mengatupkan kedua tangannya di dada untuk menahan dinginnya embusan angin di lereng Gunung Telomoyo dan Gunung Merbabu. Sebagian bocah lainnya terlihat menggerak-gerakkan badannya agar tidak kedinginan.
Pentas pun tertunda sekitar 30 menit. Rombongan jurnalis terlambat tiba di lokasi, karena satu unit bus mengalami kerusakan di daerah Bawen.
Hujan deras pun mulai mereda, seusai makan siang yang disajikan dengan menu khas pedesaan, seperti nasi jagung goreng, tahu tumpang, soto, dan sate kelinci, serta cemilan jadah yang terbuat dari tepung jagung, tempe bacem, dan peganggan goreng.
Hujan mulai mereda, walau rintik masih mewarnai sepanjang pentas tari Geculan Bocah dan Topeng Ayu. Tari Geculan Bocah merupakan tarian yang menampilkan kembali aneka permainan sehari-hari anak-anak desa yang biasanya diselingi hukuman, apabila ada kawannya yang kalah.
Hukumannya adalah menggendong kawannya yang memenangkan permainan.
Gerak tingkah polah bocah, apalagi didukung riasan lipstik mirip boneka, membuat penonton pun bertepuk tangan. Momentum itu pun dimanfaatkan untuk memotret, terlebih pada saat tarian itu dipadukan dengan gerakan pantomim.
Bocah-bocah itu pun terhenti sejenak serupa patung sambil mengekspresikan diri berpelukan dengan wajah mengejek kawannya. Lucu dan menggemaskan.
Trisno (36), peraih Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award 2015 kategori lingkungan, mengatakan, tari Geculan Bocah diajarkan oleh kawan-kawannya dari Sanggar Ki Tanuwijoyo di Dusun Tanon yang dikomando oleh Riyono.
“Kebetulan, kami mendapatkan referensi koreografi sanggar ini dari mahasiswi Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Semarang yang nyantrik di tempat kami,” ujar Trisno.
Sementara, kata Trisno, cikal-bakal tari Topeng Ayu adalah tari Topeng Ireng. Ini diajarkan oleh seniman dari Dusun Mantran, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Kemudian, sejak tahun 2012, namanya diubah menjadi Topeng Ayu sebagai salah satu ikon Desa Menari. Kini penarinya pun sudah sudah merupakan generasi kedua dan ketiga, yang diajarkan secara turun-temurun dari oleh generasi pertama.
Head of Public Relations PT Astra International Tbk Yulian Warman mengatakan, kehadiran pemuda seperti Trisno ke desa ini mirip sebuah semangat “Bali Ndeso, Mbangun Ndeso” yang dahulu pernah dicanangkan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo.
Kembali ke desa dan membangun desa kini semestinya menjadi tren kalangan muda, karena wajah desa bisa tetap mendunia berkat kemajuan teknologi.
Sewaktu memberikan penghargaan, Astra pun tidak sekadar melihat sisi permukaan dari karya seorang Trisno. Bukti keseriusan Astra untuk mendorong banyak orang muda berkarya itu diwujudkan dengan sistem penjurian yang sangat ketat.
Seperti Trisno, kata Yulian, peserta yang dicalonkan menerima penghargaan SATU Indonesia harus menghadapi dewan juri, antara lain, mantan Menteri Lingkungan Hidup Prof Emil Salim, mantan Wakil Menteri Pendidikan Prof Fasli Jalal, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Pakar Teknologi Informasi Onno Purbo, Inovator Pemberdaya Listrik Tri Mumpuni, dan beberapa perwakilan Astra.
Melalui ajang penghargaan itu, Astra ingin mendorong munculnya desa-desa mandiri sebagai percontohan.
“Astra sejauh ini sudah membina 71 desa yang tersebar di 31 provinsi. Memang, pemerintah mencatat ada 35.000 desa yang masuk kategori sebagai desa tertinggal. Astra tentu tidak bisa sendirian merangkul seluruh desa tertinggal dalam kegiatan CSR-nya, butuh orang-orang muda yang merasa ingin membangun desanya sendiri,” kata Yulian.
Mengubah Desa
Trisno bersama warga kini mengubah kehidupan pedesaan. Sejak menyelesaikan kuliah Jurusan Psikologi Universitas Muhammadyah Surakarta tahun 2006, Trisno kembali ke desa.
Sekembali ke kampung halamannya, Trisno mencermati kondisi rumah warga desa masih banyak yang terbuat dari papan kayu dan bambu, serta masih berlantai tanah.
Fasilitas mandi, cuci dan kakus (MCK) pun baru dimiliki beberapa rumah saja. Umumnya, warga menggunakan aliran air sungai kecil untuk buang air.
"Penataan lingkungan belum tersentuh dan kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya juga belum dilakukan,” kata Trisno.
Melihat kondisi tersebut, Trisno mencoba memajukan desa dengan pendekatan seni budaya asli pedesaan. Dia menyebut eksperimennya sebagai “Social Corporate Berbasis Keluarga”.
Secara riil, pengembangan yang dilakukan dinamakan Teori Mekar, yang tak lain ingin menyingkapkan mekarnya sekuntum bunga yang semerbak wanginya menyebar ke berbagai penjuru.
Trisno meyakini teori itu dapat diwujudkan dalam kebersamaan antar-warga di tiga desa. Desa Ngrawan dengan potensi unggulan berupa seni budaya dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), kemudian Desa Wates yang memiliki potensi mengolah keripik sayur peganggan dan waluh serta Desa Nagasaren memiliki keunggulan wisata alam.
Sewaktu diuji sebagai kontestan Satu Indonesia Award 2015, Trisno mengakui, terminologi Desa Wisata yang sudah kerap digunakan dalam berbagai kontestasi hanyalah dijadikan “pintu masuk”.
Terserah, mau dijadikan pintu depan atau pintu belakang, karena yang terpenting fungsinya adalah untuk membuat orang-orang mau melirik desa yang tidak pernah masuk skala prioritas pembangunan selama puluhan tahun.
“Kami sendiri juga tidak mau menjadikan desa ini akhirnya menjadi destinasi wisata massal, karena lingkungan yang tercipta begitu alami akhirnya akan rusak. Biarpun kami mulai mencoba membentuk paket-paket wisata emosial stres ringan, seperti outbound pedesaan, pemandunya tetap melibatkan warga desa, sehingga terbangun kebersamaan dari dan oleh warga desa. Itulah basis keluarga,” ujar Trisno, yang tak pernah bosan mendorong warga untuk bersih-bersih lingkungan supaya terlihat asri.
Cermin Desa Menari, cermin membangun dari yang kecil.