Gugur Tidaknya Praperadilan Jadi Fokus Persidangan
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari Senin (11/12) ini menggelar lanjutan sidang praperadilan yang diajukan Setya Novanto, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang kini ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.
Dalam persidangan, terjadi perdebatan ihwal gugurnya proses praperadilan ketika perkara pokok mulai disidangkan di pengadilan.
Persidangan hari ini dilaksanakan dengan agenda menghadirkan tiga saksi ahli yang diajukan pemohon. Mereka adalah ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mudzakir; ahli hukum dari Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno; dan ahli hukum dari Universitas Khairun Ternate, Margarito Kamis.
Pemohon dalam hal ini adalah tim kuasa hukum Novanto yang diketuai Ketut Mulya Arsana, sementara pihak termohon adalah tim kuasa hukum KPK yang diketuai Kepala Biro Hukum KPK Setiadi.
Hari ini merupakan hari ketiga sidang digelar. Sebelumnya, sidang praperadilan dilangsungkan pada Kamis dan Jumat, 7-8 November 2017.
Hakim tunggal Kusno yang memimpin perkara mengagendakan akan memutuskan perkara pada Kamis (14/12) sore. Sidang semula diagendakan digelar pada 30 November, tetapi sidang ditunda satu pekan karena pihak termohon tidak hadir.
Dalam ketentuan hukum acara, perkara peradilan wajib diputuskan paling lambat tujuh hari setelah sidang pertama dimulai.
Mengenai gugurnya perkara praperadilan yang diajukan Novanto menjadi perhatian publik ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjadwalkan untuk menggelar sidang pokok perkara Novanto pada Rabu (13/12).
Pasal 82 Ayat I KUHAP menjelaskan, perkara praperadilan gugur ketika sidang pokok pertama digelar.
Kepada dua ahli hukum yang memberikan kesaksian, yaitu Mudzakir dan Basuki, pemohon selalu mengawali pertanyaan dengan meminta pendapat terkait gugurnya praperadilan saat sidang perkara pokok dimulai.
Pasal 82 Ayat I KUHAP menjelaskan, perkara praperadilan gugur ketika sidang pokok pertama digelar.
Terkait hal itu, kedua saksi berpendapat, sebaiknya persidangan pokok perkara dimulai setelah perkara praperadilan selesai diputus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mudzakir, misalnya, menilai, pihak termohon dan pengadilan tipikor seharusnya dapat menghargai proses praperadilan yang sedang berlangsung.
”Saya berpikir, gugur itu maksudnya secara teknis, artinya selesaikan dulu praperadilannya, baru disidangkan perkaranya,” ujar Mudzakir.
Adapun Basuki menilai, sidang pokok perkara dan praperadilan seharusnya tidak bersifat saling menggugurkan. Hal itu karena dua obyek hukum dalam dua persidangan itu merupakan hal yang berbeda.
Obyek yang diperiksa pada praperadilan ialah menguji proses penyidikan hingga menetapkan tersangka dan juga menguji barang bukti yang diperoleh penyidik, apakah sah atau tidak.
Sementara itu, obyek yang diperiksa pada sidang pokok perkara ialah surat dakwaan terdakwa.
Hakim Kusno mempertanyakan kepada Basuki, apa dasar hukum yang digunakan ketika KUHAP telah jelas mengatur ketentuan gugurnya praperadilan.
Basuki menjawab, dasar hukumnya ialah interpretasi dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan ketentuan tersebut.
”Salah satu pertimbangan MK menerbitkan putusan itu ialah agar tidak ada satu perkara yang diperiksa secara bersamaan atau ganda. Dalam kasus ini, obyek hukumnya berbeda antara praperadilan dan sidang pokok perkara,” ujar Basuki.
Sementara itu, Setiadi membantah pihaknya telah merampas hak hukum pemohon. Ia mengatakan, tidak ada ketentuan hukum atau batasan hukum apa pun yang membatasi pendaftaran perkara pokok harus menunggu sidang praperadilan selesai diputus.
Setiadi juga mengatakan, pihak termohon telah mencoba memberikan kesempatan kepada tersangka datang menggunakan haknya untuk membela diri.
”Tersangka sebelumnya telah dipanggil secara formal, namun tidak hadir, tetapi melakukan kegiatan yang lain,” ucap Setiadi.
Kuasa hukum KPK juga menyebutkan, penegak hukum telah menjalankan tugasnya dengan baik. Pengambilan keputusan yang cepat dilakukan untuk mementingkan keadilan bagi kedua belah pihak, antara tersangka dan korban. Dalam hal ini, korban adalah negara yang dirugikan atas kasus korupsi.
Hakim pengadilan tipikor juga dinilai kuasa hukum KPK tidak memiliki kewenangan menunda persidangan pokok perkara. Sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku, saat perkara didaftarkan, paling lambat tiga hari ketua pengadilan tipikor membentuk majelis hakim untuk menyidangkan. Majelis hakim tersebut paling lambat tujuh hari harus menentukan jadwal persidangan.
”Apa dasar hukum yang harus digunakan majelis hakim untuk menunda sidang pokok perkara?” kata Setiadi.
Saat ditanya Hakim Kusno, saksi ketiga yang dihadirkan pemohon, yaitu Margarito Kamis, menilai bahwa ketentuan gugurnya perkara praperadilan saat sidang perkara pokok dimulai sudah tepat. ”Sudah singkron yang mulia,” ujar Margarito.
Selain mengenai gugurnya praperadilan, saksi ahli yang dihadirkan pemohon juga memberikan kesaksian dalam hal lain. Saksi ahli memberikan kesaksian tentang proses penetapan tersangka yang dianggap pemohon tidak sah hingga status penyidik KPK bernama Ambarita Damanik yang juga dianggap tidak sah.
Dalam akhir persidangan, walau kuasa hukum pemohon berkeberatan, hakim tunggal Kusno memutarkan bukti rekaman video yang diserahkan pihak termohon.
Video tersebut memperlihatkan jalannya sidang pokok perkara salah satu terdakwa dalam kasus yang disangkakan kepada Novanto, yaitu Andi Agustinus alias Andi Narogong. Dalam persidangan tersebut, Andi menyebut keterlibatan Novanto.
Sidang praperadilan akan dilanjutkan Selasa (12/12) besok dengan agenda mendengarkan kesaksian dari ahli yang didatangkan pihak termohon. Pihak termohon menurut rencana akan menghadirkan lima saksi. (DD14)