Perguruan Tinggi Didorong untuk Membangun Kampus Hijau
Oleh
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Perguruan tinggi yang ada di Indonesia didorong untuk menjadi contoh dalam program pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development goals), khususnya dalam program pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan ini diaplikasikan ke dalam program kampus hijau. Namun, masalah yang dihadapi ialah sebagian besar perguruan tinggi masih terkendala di pengelolan energi terbarukan dan keterbatasan lahan terbuka hijau.
Ketua UI GreenMetric Riri Fitri Sari menjelaskan ada enam indikator yang dijadikan acuan sebuah perguruan tinggi untuk memenuhi kriteria kampus hijau yang ramah lingkungan. Enam indikator tersebut ialah keadaan infrastruktur kampus, pengelolaan energi dan perubahan iklim, pengelolaan sampah, penggunaan air, ketersediaan transportasi, dan bidang pendidikan.
Ada enam indikator yang dijadikan acuan sebuah perguruan tinggi untuk memenuhi kriteria kampus hijau yang ramah lingkungan, yaitu keadaan infrastruktur kampus, pengelolaan energi dan perubahan iklim, pengelolaan sampah, penggunaan air, ketersediaan transportasi, dan bidang pendidikan.
”Indikator yang paling sulit dipenuhi adalah mengenai pengelolaan energi dan perubahan iklim. Kita harus seimbang antara kemajuan teknologi dan penggunaan sumber daya. Di satu sisi kita mendorong agar penggunaan listrik dibatasi. Namun, di sisi lain, kita butuh juga butuh listrik agar nyaman dalam belajar,” kata Riri dalam acara UI GreenMetric World Universities Ranking 2017 di Gedung Makara Art Centrum, Universitas Indonesia, Depok, Senin (11/12).
Dalam acara ini, Universitas Wegeningen, Belanda, dinobatkan sebagai kampus terhijau di dunia versi UI GreenMetric. Di Indonesia, tiga besar kampus terhijau diraih oleh Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Instititut Teknologi Sepuluh Nopember. Sayangnya, belum ada universitas di Indonesia yang masuk dalam daftar 20 besar kampus terhijau di dunia.
”Jika memang ingin masuk dalam world class university, perguruan tinggi di Indonesia harus menyesuaikan QS Ranking. Butuh upaya dari berbagai stakeholder, mulai dari pimpinan universitas, pengajar, mahasiswa, hingga petugas K3L, untuk turut serta dalam perubahan ini,” kata Riri.
Perubahan tersebut dapat dimulai dari beberapa hal, seperti pembangunan infrastruktur atau gedung yang mulai menggunakan energi terbarukan. Selain itu, ketersediaan transportasi umum dan area pedestrian di beberapa kampus juga perlu diperhatikan sebagai penunjang kampus ramah lingkungan.
”Masalahnya adalah menciptakan teknologi energi terbarukan seperti penggunaan matahari dan angin untuk pembangkit listrik ini cukup sulit. Hal tersebut identik dengan biaya mahal dan belum menjadi prioritas di beberapa kampus,” kata Riri.
Menciptakan teknologi energi terbarukan seperti penggunaan matahari dan angin untuk pembangkit listrik ini cukup sulit. Hal tersebut identik dengan biaya mahal dan belum menjadi prioritas di beberapa kampus.
Untuk meningkatkan kesadaran akan pembangunan yang berkelanjutan, UI GreenMetric menghimpun sejumlah perguruan tinggi dari seluruh dunia untuk membahas hal ini. Pada tahun 2017 sudah ada 619 universitas yang tergabung dari 76 negara yang berpartisipasi untuk ikut serta dalam mendorong berkembangnya kampus hijau.
Rektor UI Muhammad Anis mengatakan, dengan berbagai indikator yang sudah ada, diharapkan semakin banyak perguruan tinggi yang berkomitmen dalam pengelolaan lingkungan hidup. ”Saya berharap perguruan tinggi di dunia mampu mengambil upaya preventif dalam rangka mitigasi perubahan iklim,” ungkap Anis.
Keterbatasan Lahan
Direktur Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Ocky Karna Radjasa mengatakan, belum semua perguruan tinggi mampu menjadi kampus hijau karena keterbatasan lahan.
”Khususnya perguruan tinggi di Pulau Jawa dan beberapa perguruan tinggi swasta yang ada di tengah kota tentunya sulit untuk menyediakan lahan terbuka hijau. Oleh sebab itu, bangunan harus dibuat semakin ke atas dan jangan melebar agar masih ada lahan untuk ruang terbuka hijau,” kata Ocky.
Perguruan tinggi yang memiliki keterbatasan lahan ini tentunya masih dapat berkontribusi dengan cara lain. Ocky menjelaskan, perguruan tinggi dapat melakukan penelitian yang dapat diterapkan untuk pengelolaan lingkungan.
”Perguruan tinggi juga tidak hanya melakukan pengajaran, tetapi juga riset. Contohnya teknologi pengolahan limbah di fakultas yang punya jurusan pengolahan limbah,” kata Ocky.
Ristekdikti sudah memiliki Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) untuk pembangunan berkelanjutan, seperti manajemen bencana dan terkait perubahan iklim terhadap pertanian serta kesehatan. Selain itu, Ristekdikti juga melakukan penugasan kepada perguruan tinggi untuk melakukan riset sesuai dengan prioritas masing-masing.
”Pada prinsipnya, peran perguruan tinggi sangat penting. Perguruan tinggi sudah punya Rencana Induk Penelitian (RIP). Setiap perguan tinggi wajib membuat RIP dan menentukan bidang unggulannya,” kata Ocky.
Selain itu, untuk membuat RIP, Ristekdikti memberikan penugasan berdasarkan indeks kluster riset nasional. ”Kami menggunakan peta riset seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan dihasilkan 10 universitas terbaik dari masing-masing kluster ini. Ada dua prioritas riset yang nantinya harus dilakukan universitas tersebut, contohnya UI yang mendapat penugasan untuk riset di bidang energi dan pangan,” kata Ocky.
Ocky mengatakan, idealnya semua perguruan tinggi dapat memenuhi enam indikator yang sudah ada. Namun, jika tidak harus semuanya dapat dipenuhi dalam waktu bersamaan, perguruan tinggi dapat memenuhi indikator tersebut secara bertahap. (DD05)