Jalan Panjang Pulihkan Citarum
Bagi warga Kabupaten Bandung, musim hujan di akhir tahun adalah ujian. Puluhan tahun, ribuan warga di sekitar Sungai Citarum dan anak-anak sungainya harus menderita. Banjir akibat sampah, sedimentasi, dan alih fungsi lahan menjadi penyebabnya.
Jumat (8/12), ruas Sungai Cikapundung, anak Sungai Citarum, di bawah Jembatan Cijagra, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kembali menjadi cerita. Sampah menggenang lagi, tertahan badan jembatan sepanjang 18 meter.
Luas genangan sampahnya sekitar 180 meter persegi, setebal 1 meter di bawah permukaan air. Isinya mulai dari styrofoam, kayu dan ranting, kursi panjang, hingga kasur. Terus menumpuk dan padat.
”Sampahnya tidak habis-habis. Begitu juga rencana memulihkan sungai ini tak kunjung nyata,” ujar Yahya (65) sambil memungut botol plastik dari sungai. Ia menduga sebagian besar sampah itu residu warga Kota Bandung dan Bandung Barat, yang berada di hulu Cikapundung. Namun, dia tak memungkiri, sampah juga turut disumbangkan oleh warga sekitar.
Sampahnya tidak habis-habis. Begitu juga rencana memulihkan sungai ini tak kunjung nyata.
Perkiraan itu didukung data Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung yang menyebut produksi sampah 1.500-1.600 ton per hari. Namun, hanya 1.100-1.200 ton yang terangkut ke tempat pembuangan sampah. Sebanyak 150-250 ton sampah diolah warga menjadi energi, seperti gas, listrik, dan pupuk. Namun, sekitar 250 ton sampah menumpuk di tempat pembuangan sampah liar, atau dibuang ke Cikapundung.
Imbasnya, tumpukan sampah menyumbat aliran air di hulu sungai dan memicu banjir di Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot. Bulan November lalu, banjir hingga 1,5 meter merendam sekitar 1.500 rumah di kawasan terendah cekungan Bandung itu. Ribuan orang mengungsi.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar Dicky Saromi mengatakan, timbunan sampah membuat daya tampung sungai berkurang. Sampah yang menyumbat aliran air juga membuat banjir surut lebih lama. ”Bersama sedimentasi akibat alih fungsi lahan, sampah membuat banjir mudah terjadi,” katanya. Mengutip data Balai Besar Wilayah Sungai Citarum tahun 2016, jumlah lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum terbilang luas, mencapai 26,022 hektar.
Kondisi itu memicu tingkat erosi lahan di DAS Citarum, mencapai 592,11 ton per hektar per tahun, dan menyumbangkan sedimentasi tanah dan lumpur ke Citarum hingga 7,9 juta ton per tahun. Maraknya lahan pertanian tak ramah lingkungan hingga permukiman di bantaran sungai jadi beberapa penyebab.
Berbagai upaya dilakukan. Ratusan miliar rupiah dikucurkan. Sejumlah kementerian dan BUMN terlibat memulihkan Citarum. Namun, Citarum masih saja sama, menjadi bulan-bulanan diejek sebagai sungai terkotor di dunia. Langganan banjir.
Empat tahun terakhir, Pemerintah Provinsi Jabar juga punya program ”Citarum Bestari”. Tahun 2016/2017, dana yang didedikasikan Pemprov Jabar untuk program ini mencapai Rp 120 miliar. Sebanyak 227 desa di DAS Citarum dibina. Namun, jika melihat Cijagra dan banjir tahunan yang masih terjadi, program itu jelas membutuhkan eksekusi lebih matang.
Guna mematangkan itu, kerja sama dilakukan lagi. Pemprov Jabar bersama Kodam III/Siliwangi dan sejumlah instansi lain menggulirkan babak baru pemulihan Citarum lewat ”Kembalikan Harum Citarum”.
Pemulihan sungai sepanjang 269 kilometer itu juga melibatkan Polri, balai besar wilayah sungai, dan komunitas peduli lingkungan. Pemulihan Citarum dibagi dalam 20 sektor. Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi Mayor Jenderal Doni Monardo turun langsung mengawal program ini.
”Targetnya, Citarum bersih dalam enam bulan. Menurut rencana segera dieksekusi pertengahan Januari 2018,” ujar Kepala Penerangan Kodam III/Siliwangi Kolonel M Desi Ariyanto. Pencemaran Citarum mengancam kualitas hidup warga Jabar. Sekitar 25 juta orang tinggal di DAS Citarum sehingga rentan terdampak pencemaran sungai.
Targetnya, Citarum bersih dalam enam bulan. Menurut rencana segera dieksekusi pertengahan Januari 2018.
Citarum juga mengairi ratusan ribu hektar sawah. Akibatnya, padi dan tanaman lain di sekitar DAS Citarum juga bisa terpapar pencemaran itu. ”Selain air, padi dari sawah di sekitar Citarum dikonsumsi masyarakat. Ini berbahaya karena warga mengonsumsi makanan yang tercemar,” ucapnya.
Ariyanto mengatakan, warga perlu diedukasi untuk tidak membuang sampah sembarangan. Setiap sektor juga akan dipasang kamera pengawas untuk mengamati warga yang masih membuang sampah ke sungai.
Gerakan mandiri
Sebagian masyarakat di sekitar sungai juga tak ingin berpangku tangan. Saat solusi pemerintah terus ditunggu, mereka aktif bergerak mandiri. Di Kabupaten Bandung, Garda Caah dan Jaga Balai masih setia menjadi komunitas pendamping warga menghadapi bencana. Selain rutin bertemu, percakapan dan tukar informasi dilakukan melalui media sosial. Informasi ilmiah tentang kondisi cuaca dan potensi bencana juga dipaparkan dan didiskusikan.
Warga di sembilan kecamatan mereka dampingi, antara lain Majalaya, Paseh, Rancaekek, Ibun, Banjaran, Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang. Caranya, pendampingan secara sederhana dan mudah diaplikasikan masyarakat.
Koordinator Garda Caah Riki Waskita mencontohkan, mereka mengajak warga membuat papan kayu pembendung air di teras rumah. Pembendung luapan air itu dibuat dari papan kayu yang direkatkan dengan bahan antibocor. Selain itu, ada juga imbauan menyimpan dokumen di tempat aman hingga meletakkan terminal listrik ke tempat lebih tinggi.
”Pembuatan alat pengukur air di tiang listrik atau tembok rumah warga juga dilakukan. Tujuannya agar warga bisa langsung mendapat informasi akurat sehingga bisa menghindari kabar bohong. Kami ingin melakukan hal paling sederhana agar semua warga bisa melakukannya,” katanya.
Citarum menyimpan segudang persoalan. Pendekatan infrastruktur, seperti normalisasi sungai dan pembangunan kolam retensi, bukan solusi tanpa diikuti pemulihan lahan kritis sebagai kawasan resapan air. Perilaku warga juga perlu berubah.