Perspektif Pemprov DKI terhadap Tanah Abang, Kunci Penataan
JAKARTA, KOMPAS — Perspektif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang seberapa parah kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, dianggap sebagai kunci seberapa genting penataan kawasan itu. Semakin lama mereka menunda dapat memberi kesan bahwa kawasan itu tidak terlalu gawat untuk segera ditata.
Kesemrawutan kawasan Tanah Abang seolah menjadi persoalan yang tak kunjung usai. Okupasi trotoar oleh pedagang kaki lima di beberapa titik memaksa pejalan kaki terpaksa di bahu jalan yang dilalui banyak kendaraan bermotor. Selain itu, kemacetan menambah ruwet kawasan itu.
Delapan mobil angkot berderet menanti penumpang di seberang pintu masuk lama Stasiun Tanah Abang, Selasa (12/12). Praktis, salah satu sisi Jalan Jatibaru Raya yang seharusnya memiliki dua lajur tinggal menyisakan satu lajur. Akibatnya, kendaraan lain yang melintas di jalan itu hanya bisa memacu kendaraannya dengan kecepatan di bawah 8 kilometer per jam.
Di sisi jalan yang arusnya berlawanan, belasan pengojek konvensional memarkirkan sepeda motornya secara melintang. Dengan begitu, mereka memakan satu lajur jalan yang digunakan untuk lalu lintas kendaraan. Para pengendara maksimal memacu kendaraannya dengan kecepatan 8-10 kilometer per jam. Kemacetan diperparah oleh angkot dan bus kota yang menurunkan penumpang seenaknya di tengah jalan. Bunyi klakson dari pengendara lain membalas aksi para supir angkutan umum itu.
Sebelumnya, Semiarto Aji Purwanto, antropolog dari Universitas Indonesia, memandang, persoalan di Tanah Abang itu sudah terlalu kompleks. Cara penyelesaian persoalan itu bergantung pada bagaimana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melihat status Tanah Abang.
Persoalannya adalah apakah Tanah Abang itu merupakan suatu hal yang darurat sehingga perlu segera ditata atau biasa saja.
”Sekarang, persoalannya adalah apakah Tanah Abang itu merupakan suatu hal yang darurat sehingga perlu segera ditata atau biasa saja,” kata Semiarto.
Menurut Semiarto, ada dua pendekatan untuk menyelesaikan persoalan di kawasan Tanah Abang, yaitu cara revolusioner dan persuasif. Setiap cara memiliki kelebihan dan kekurangan.
Semiarto menjelaskan, bentuk penanganan secara revolusioner sudah diperkenalkan oleh Gubernur DKI Jakarta era sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama. ”Ahok (Basuki) menganggap Tanah Abang itu darurat. Harus segera dibenahi. Jadi, dia menindak tegas. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar, yaitu rasa kemanusiaan,” kata Semiarto. ”Ya, bisa jadi Ahok tidak disukai orang karena kebijakannya yang keras itu.”
Cara kedua adalah persuasif. Cara tersebut sudah pernah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo saat menjadi Wali Kota Solo. Semiarto mengatakan, untuk menertibkan pedagang Pasar Klewer, Jokowi mengajak mereka makan siang puluhan kali agar bisa luluh dan mau diatur.
Untuk menertibkan pedagang Pasar Klewer, Jokowi mengajak mereka makan siang puluhan kali agar bisa luluh dan mau diatur.
”Mungkin, Anies punya caranya sendiri. Kalau saya lihat, dia ingin menggunakan cara persuasif. Kesannya tidak memaksa dan pro-rakyat. Itu bisa saja dilakukan, tetapi apakah Anies punya cukup waktu untuk itu?” kata Semiarto. ”Jika melihat dari Jokowi, waktu itu dia tidak diburu waktu. Konteks masyarakat juga berbeda. Masyarakat Jakarta cenderung lebih vokal untuk memprotes sesuatu.”
Pada berita Kompas (21/11), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan akan menggunakan pendekatan yang berbeda daripada periode pemerintah sebelumnya dalam menata pedagang kaki lima (PKL). Saat itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, penataan PKL yang bertumpu pada cara penertiban hanya membuat PKL kembali lagi ke trotoar. Sandiaga ingin mengakomodasi keinginan PKL untuk tetap berjualan.
PKL selalu kembali ke trotoar setelah dua kali direlokasi oleh pemerintah. Alasan mereka kembali ke berjualan di trotoar selalu sama, yaitu berkurangnya pendapatan setelah direlokasi ke tempat yang baru. Dalam dua kali relokasi itu, PKL dipindahkan dari trotoar ke Pasar Blok G, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Kompas (18/10) memuat, relokasi pertama dilakukan pada tahun 2005 oleh Sutiyoso, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI dari 1997-2007. Sementara, relokasi kedua dilakukan pada tahun 2013 oleh Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta waktu itu. Sunarto, Manajer Pasar Tanah Abang Blok A-G, mengatakan, PKL kembali ke trotoar dalam waktu kurang dari setahun pada kedua relokasi itu.
Terkait bagaimana kawasan Tanah Abang akan ditata, dinas terkait belum berkenan memberikan penjelasan. Riri Asnita, Kepala Seksi Perencanaan Prasarana Jalan dan Utilitas Dinas Bina Marga DKI Jakarta, mengatakan, soal penataan Tanah Abang nanti akan diinformasikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Selasa siang itu, pada beberapa titik trotoar di seberang Stasiun Tanah Abang terlihat dipasangi pembatas jalan bercat kuning. Belum semua pembatas dicat. Pembatas beton itu tingginya 70 sentimeter dan terbuat dari beton.
Keberadaan pembatas itu tampak membuat PKL semakin nyaman berdagang, sedangkan trotoar semakin menyempit. Di beberapa titik, para pejalan kaki harus berdesak-desakan ketika berjalan di trotoar, sedangkan PKL berdagang sambil duduk bersandar di pembatas itu.
Siku dan lengan pejalan kaki yang saling berlawanan arah saling beradu akibat sempitnya trotoar yang lebarnya tinggal kurang dari 1 meter. Padahal, lebar trotoar semula itu sekitar 5 meter.
Mei (25), pegawai toko di Pasar Tanah Abang Blok A, kesal dengan adanya PKL di trotoar itu. ”Saya jadi tidak bisa jalan dengan cepat. Kita harus berimpit-impitan. Padahal, awalnya trotoar ini cukup luas,” keluh Mei. (DD16)