Guardiola Berubah, ”The Citizens” Tak Terbendung
Kemenangan Manchester City di Old Trafford hari Minggu (10/12) lalu tidak hanya menyisakan keributan massal di lorong ruang ganti, tetapi juga sejumlah pertanyaan, apakah persaingan menuju gelar juara telah berakhir? Apakah dengan keunggulan selisih poin sekarang, City telah menjadi satu ”kuda pacu” yang sulit dikejar lagi oleh siapa pun, termasuk Manchester United, rival terdekatnya saat ini?
Pertanyaan lain, apa yang membedakan pasukan Pep Guardiola musim lalu dengan pasukannnya saat ini yang belum terkalahkan dalam 16 laga Liga Primer, bahkan baru kehilangan dua poin sejauh ini? Siapa mampu menghentikan Guardiola?
Hari Minggu lalu di Old Trafford yang diselingi hujan salju tipis, City memperlebar jaraknya dengan United berkat kemenangan 2-1 atas pasukan Jose Mourinho. Kemenangan itu membuat pasukan ”Biru Langit” unggul 11 poin atas United yang baru pertama kali kalah di kandang sendiri musim ini.
Bagi United, tertinggal 11 poin bisa berarti berharap City kalah dalam empat laga dan mereka harus memenangi setiap laga sepanjang periode pengejaran tersebut untuk bisa kembali bersaing di jalur juara. Meski masih lebih dari 20 laga tersisa hingga akhir musim, berarti masih ada lebih 60 poin diperebutkan, tetapi lomba perebutan gelar memang tampaknya bukan lagi prioritas United. Mourinho pun mengakui hal pahit tersebut.
Mantan striker Blackburn Rovers dan legenda timnas Inggris, Alan Shearer, bahkan dengan tegas menyatakan perebutan gelar juara telah terakhir selepas kemenangan City di Old Trafford. ”Saya tidak melihat ada yang mampu menghentikan City merebut gelar juara,” ujar Shearer seperti dikutip BBC Sports.
Menurut Shearer yang juga pernah membela Newcastle United semasa jayanya, keyakinannya pada pasukan Guardiola bukan saja karena selisih 11 poin dengan rival terdekat, melainkan juga cara mereka unggul jauh atas pesaing langsungnya di Liga Primer. ”Mereka sangat dominan dan memang layak memetik tiga angka di Old Trafford,” ujar Shearer yang sepanjang karier profesionalnya mencetak 283 gol dari 559 penampilan.
”Mereka baru kehilangan dua poin sejauh ini, dan saya tidak melihat mereka akan kalah empat atau lima kali sejak sekarang sampai akhir musim nanti,” kata Shearer yang juga mencetak 30 gol saat membela ”The St George Cross” Inggris (1992-2000).
Shearer juga menyatakan keheranannya terhadap taktik dan strategi yang diterapkan Mourinho di Old Trafford, yang memberikan ruang begitu besar bagi pasukan Guardiola untuk mendominasi dan menekan. Mou memilih bertahan sangat dalam meskipun menempatkan sejumlah pemain cepat di lini depan, seperti Jesse Lingard, Anthony Martial, dan Marcus Rashford, untuk menyokong striker yang juga cepat dan kuat, Romelu Lukaku.
”Sebagai tim, United tidak cukup berbuat untuk menjalankan rencana permainan di lapangan,” ujar Shearer.
Dari data statistik terlihat, City seperti biasa memang mendominasi penguasaan bola (ball possession) dengan 64,6 persen. Ditambah 31,5 persen peredaran bola berada di sepertiga akhir pertahanan United jelas sekali dominasi pasukan ”Biru Langit” atas ”Setan Merah” malam itu.
Perubahan radikal
Dua gol kemenangan di Old Trafford yang diciptakan David Silva dan Nicolas Otamendi tidak hanya memperlebar jarak dengan seteru terdekat, tetapi juga menggenapi rekor City yang mencatat 14 kemenangan beruntun musim ini, melewati 13 kemenangan beruntun Chelsea saat menjadi juara musim lalu. Dengan 46 gol yang dilesakkan, City juga menjadi tim paling produktif dengan catatan pertahanan yang juga cemerlang, baru kebobolan 11 gol, sama dengan United.
Catatan prestasi Guardiola ini agak bertolak belakang dengan pencapaiannya pada musim pertamanya di Etihad, 2016-2017. Pada 10 laga pertama, City tampil sempurna tetapi kemudian tidak pernah menang pada enam laga berikutnya.
Mengakhiri musim dengan 15 poin tertinggal dari sang juara Chelsea benar-benar membuat guncang Guardiola yang sukses luar biasa sebagai manajer di Barcelona dan Bayern Muenchen. Analis sepak bola Jamie Jackson di harian The Guardian awal Desember lalu menulis, salah satu kunci sukses Guardiola melalukan transformasi timnya adalah kesediaan dia menerima masukan-masukan dari para stafnya.
Guardiola juga lebih terbuka dalam menganalisis calon lawan melalui masukan para stafnya.
Guardiola berjanji lebih terbuka untuk masukan dan kritik setelah akhir yang ”memalukan” di musim pertamanya di Etihad. Oleh sebab itu, peran staf intinya, yakni Mikel Arteta sebagai asisten pelatih bersama Brian Kidd, Rodolfo Borrell, dan Domenec Torrent, menjadi sangat sentral.
Pada musim panas 2016, Arteta meninggalkan Arsenal setelah menjalani sejumlah musim dengan cukup sukses. Pengalamannya sebagai pemain Everton dan Arsenal selama 11 musim menjadikan Arteta figur yang sangat penting untuk menjadi jembatan antara Guardiola dan para pemain, terutama jembatan komunikasi.
Sejak awal, Arteta ditarik ke Etihad juga dengan pertimbangan dia adalah pemain Spanyol, berbahasa Spanyol, dan paham benar seluk-beluk permainan sepak bola Inggris. Selain sebagai asisten pelatih, pria berusia 35 tahun itu pun kini berkembang menjadi penasihat taktik bagi Guardiola yang terkenal sangat keras kepala pada prinsip-prinsipnya.
Guardiola kini mau lebih mendengarkan nasihat Arteta dalam kaitan taktik dan strategi yang harus dijalankan. Guardiola juga lebih terbuka dalam menganalisis calon lawan melalui masukan para stafnya.
Guardiola juga mempunyai jajaran ”konstituen” untuk menyakinkan direksi dan pemilik klub, yakni para pemainnya sendiri. Setiap keraguan akan taktik, metode, dan strateginya akan langsung dijawab di lapangan latihan dan pertandingan.
Pria Catalonia tulen itu juga menjawab keraguan sementara pihak yang menganggap suksesnya di Barcelona hanya berkat keberadaan Lionel Messi dan di Bayern Muenchen berkat klub yang memang kekuatan utama di Bundesliga selama berpuluh tahun dan nyaris tanpa pesaing berarti.
Adaptasi
Salah satu pemain yang paling diandalkan dalam ”konstituen” Guardiola tentu saja Kevin De Bruyne yang mengaku paham benar apa yang dimaui sang pelatih terhadap dirinya. Demikian pula Raheem Sterling yang semakin cemerlang berkat kebebasan yang diberikan Guardiola untuk mengeksploitasi agresivitasnya di sisi sayap. Juga Leroy Sane yang mendapat posisi utama di sektor sayap kiri.
Bek tengah John Stones mengatakan, Guardiola adalah pelatih yang sangat menuntut. ”Setiap hari dia bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan pemainnya, dan hasilnya saya rasakan,” ujar Stones. ”Lihat apa yang terjadi pada Raheem dan Leroy,” kata Stones yang dibeli City dengan nilai 47,5 juta poundsterling dari Everton, musim panas 2016.
Menurut Stones, Guardiola telah membawa level pemikiran sepak bolanya naik ke tingkat yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. ”Saya kini lebih paham bermain dengan sistem yang berbeda, paham bagaimana bermain menghadapi tim yang berbeda, dan yang terpenting saya semakin memahami peran di lapangan,” ujar Stones yang musim ini banyak didera cedera meski diandalkan untuk menggantikan posisi kapten Vincent Kompany.
Orang-orang tadinya berpikir kami tidak bisa memainkan gaya Barcelona di Inggris.
Guardiola juga selalu memberikan instruksi yang sederhana dengan cara penyampaian yang sederhana pula sehingga mudah dimengerti. ”Cara Pep menyampaikan instruksi sangat jelas dan sederhana, dan itu menolong Anda untuk memahami tanpa harus berpikir keras,” lanjut Stones.
Tuntutan tinggi Guardiola juga terlihat dari perubahan besar pada diri Otamendi. Setelah tiga tahun bergabung di Etihad, akhirnya pemain Argentina itu mau belajar bahasa Inggris atas permintaan pelatihnya.
Guardiola sendiri meyakini, perjalanan mulus City musim ini sebagai dampak makin beradaptasinya para pemain dengan gaya bermain Barcelona yang jadi landasan taktik dan strateginya.
”Orang-orang tadinya berpikir kami tidak bisa memainkan gaya Barcelona di Inggris,” ujar Guardiola yang memenangi tiga gelar La Liga selama empat musim di Camp Nou. ”Tapi ternyata itu mungkin dan kami melakukannya,” kata Guardiola yang juga memenangi dua gelar Liga Champions dan dua gelar Copa del Rey di ibu kota Catalonia tersebut.
Gaya bermain dengan filosofi pengusaan bola memang menjadi kunci perjalanan City musim ini. Bermain melawan tim kelompok lima besar sekalipun, dominasi penguasaan bola City selalu di atas 60 persen.
Filosofi ini membutuhkan pergerakan pemain yang sangat dinamis dengan jumlah umpan akurat yang juga superior. Rata-rata umpan sukses City tiga kali lipat dibandingkan lawan-lawannya dan metode ini menjadi tulang punggung filosofi penguasaan bola seperti yang selalu ditunjukkan Messi dan kawan-kawan.
Dengan catatan konsistensi ini, tak heran Shearer meragukan ada tim yang mampu menahan laju penampilan gemilang The Citizens. Guardiola tampaknya memang tidak tertahankan untuk kembali membawa City juara setelah terakhir kali mereka menjadi terbaik Liga Primer pada 2013-2014.