JAKARTA, KOMPAS — Kampanye program imunisasi yang kerap mendapat penolakan sejumlah warga perlu melibatkan komunitas, termasuk tokoh agama, untuk mengatasinya di lapangan. Cara ini diyakini efektif untuk memberikan pemahaman kepada warga yang semula ragu atau menolak imunisasi menjadi menerima imunisasi sebagai upaya mencegah penyakit.
Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Husein Habsyi, Selasa (12/12), di Jakarta, mengatakan, pada era media sosial saat ini, memberikan informasi imunisasi yang benar melalui media sosial merupakan upaya yang bisa dilakukan untuk menangkal informasi keliru. Namun, hal itu tidak lantas bisa mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Informasi tersebut baru sebatas menambah pengetahuan.
Pada era media sosial saat ini, memberikan informasi imunisasi yang benar melalui media sosial merupakan upaya yang bisa dilakukan untuk menangkal informasi keliru.
Karena itu, pelibatan komunitas, termasuk tokoh masyarakat dan agama, serta pendampingan oleh kader kesehatan di lapangan, tetap perlu dilakukan. Tujuannya untuk memastikan terjadi perubahan perilaku masyarakat dari yang semula ragu atau menolak menjadi menerima program imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit.
Dokter anak di RSUD Pasar Rebo, Jakarta, sekaligus penulis buku Pro Kontra Imunisasi, Arifianto, mengatakan, pemerintah juga bisa memberdayakan kelompok masyarakat yang selama ini mendukung program imunisasi dalam kampanye dan advokasi.
Kegiatan sosial
Di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pemerintah daerah setempat memanfaatkan berbagai kegiatan sosial masyarakat untuk memasukkan program kesehatan, termasuk imunisasi. Dengan cara itu, imunisasi bisa diterima dan cakupannya melebihi target pemerintah.
Salah satu kegiatan yang diselipkan program kesehatan adalah pengajian ibu-ibu dan arisan warga. Program itu sudah berjalan lebih dari dua tahun.
Pujiani (26), kader Posyandu di Puskesmas Tampo, Kecamatan Cluring, mengatakan, sebulan sekali dalam acara pengajian mereka masuk memberikan informasi akan pentingnya hidup sehat. Imunisasi, jamban sehat, dan posyandu lansia juga menjadi bagian pembicaraan itu.
Sebulan sekali dalam acara pengajian mereka masuk memberikan informasi akan pentingnya hidup sehat. Imunisasi, jamban sehat, dan posyandu lansia juga menjadi bagian pembicaraan itu.
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur Kohar Hari Santoso mengatakan, yang paling dekat dan dipercaya masyarakat menjadi ujung tombak dalam menyosialisasikan imunisasi adalah tokoh masyarakat. Mereka terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat desa, kader kesehatan, dan bidan. Ajakan tokoh masyarakat mendapat kepercayaan lebih dibandingkan dengan orang luar yang belum mengenal masyarakat itu.
”Tidak hanya PKK dan kader posyandu yang diajak menyosialisasikan imunisasi, tetapi juga Majelis Ulama Indonesia, camat, lurah, dinas pendidikan, dan organisasi profesi turut dilibatkan,” kata Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Febria Rachmanita.
Sementara itu, Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan, selama ini tokoh dan lembaga agama telah dilibatkan dalam kampanye imunisasi, tetapi belum cukup intensif dilakukan.
Selama ini tokoh dan lembaga agama telah dilibatkan dalam kampanye imunisasi, tetapi belum cukup intensif dilakukan.
Menurut Ni’am, jika dikelompokkan, terdapat dua kelompok masyarakat yang menolak imunisasi terkait dengan keyakinan agamanya. Pertama, mereka yang secara teologis menolak imunisasi sebagai pencegahan penyakit. Kedua, mereka yang sebenarnya menerima imunisasi sebagai upaya mencegah penyakit, tetapi menolak vaksin yang masih mengandung unsur najis.
Terhadap kelompok yang pertama, pendekatan keagamaan oleh tokoh dan lembaga keagamaan perlu dilakukan. Andaikan kelompok ini tetap menolak imunisasi, setidaknya dialog keagamaan bisa mencegah mereka memengaruhi masyarakat awam.