MSF: Sebulan Sekitar 6.700 Warga Rohingya Dibunuh
YANGON, KAMIS — Sedikitnya 6.700 warga Rohingya dibunuh dalam bulan pertama operasi militer untuk memerangi milisi Rohingya di Negara Bagian Rakine, Myanmar, akhir Agustus lalu.
Organisasi amal medis Dokter Lintas Batas (MSF) mengungkapkan fakta tersebut berdasarkan hasil wawancara langsung mereka dengan keluarga para korban yang dirilis pada Kamis (14/12).
Jumlah kematian itu merupakan angka tertinggi sejak kekerasan pecah pada 25 Agustus, yang kemudian memicu gelombang pengungsi hingga sekitar 700.000 orang lari ke Bangladesh.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amerika Serikat telah mendeskripsikan operasi militer Myanmar itu sebagai ”pembersihan etnis” atas minoritas Muslim Rohingya meski tanpa data rinci.
”Setidaknya 6.700 warga Rohingya, menurut perkiraan paling sederhana, telah terbunuh, termasuk sekitar 730 anak di bawah usia lima tahun,” kata MSF dalam keterangannya, Kamis.
Temuan kelompok tersebut berasal dari enam survei terhadap lebih dari 11.426 orang di kamp pengungsian Rohingya dan meliputi kasus yang terjadi selama satu bulan pertama setelah krisis terjadi.
Apa yang kami temukan sangat mengejutkan, baik dari jumlah orang yang melaporkan anggota keluarganya yang tewas akibat kekerasan maupun cara-cara mengerikan yang menimpa para korban.
”Kami bertemu dan berbicara dengan mereka yang selamat dari kekerasan di Myanmar yang kini meringkuk di kamp-kamp yang padat dan tak sehat di Bangladesh,” kata Direktur MSF Sidney Wong.
”Apa yang kami temukan sangat mengejutkan, baik dari jumlah orang yang melaporkan anggota keluarganya yang tewas akibat kekerasan maupun cara-cara mengerikan yang menimpa para korban.”
Pengungsi Rohingya telah mengejutkan dunia dengan cerita yang konsisten tentang pasukan keamanan dan gerombolan etnis lokal Rakhine yang mengusir mereka.
Kaum minoritas Rohingya dilaporkan diusir dari rumah-rumah mereka dengan todongan senjata, pemerkosaan, dan pembakaran yang membuat ratusan desa berubah menjadi abu.
Kelompok-kelompok pegiat hak asasi manusia mengatakan, tindakan keras tersebut adalah puncak dari tahun-tahun penganiayaan dan diskriminasi terhadap kelompok Rohingya.
Kelompok-kelompok pegiat hak asasi manusia mengatakan, tindakan keras tersebut adalah puncak dari tahun-tahun penganiayaan dan diskriminasi terhadap kelompok Rohingya.
Mereka secara efektif tidak diakui sebagai warga negara, dicap imigran ilegal, dan direndahkan sebagai kaum pendatang yang hina.
Awal Desember ini, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra’ad Al Hussein mengatakan, kekerasan militer Myanmar memenuhi ”unsur genosida”.
Survei MSF memberi angka kekerasan yang kengerian. Sekitar 69 kasus kematian disebabkan luka tembak.
Di luar itu, 9 persen mati karena dibakar hidup-hidup di dalam rumah, sementara 5 persen lagi meninggal akibat penyiksaan atau pemukulan yang sadis.
Untuk 730 anak balita yang tewas, hampir 60 persen karena tertembak, demikian MSF.
Operasi militer yang disebut-sebut untuk ’pemberantasan militan Rohingya’ memang menunjukkan bahwa ’kaum Rohingya telah menjadi sasaran utama’.
MSF mengatakan, operasi militer yang disebut-sebut untuk ”pemberantasan militan Rohingya” memang menunjukkan bahwa ”kaum Rohingya telah menjadi sasaran utama”.
Pemerintah Myanmar tidak bersedia memberikan tanggapan atas temuan organisasi amal medis itu. Namun, sejak awal, baik militer maupun pemerintah sipil Myanmar secara konsisten membantah.
Militer hanya menyebutkan angka resmi 400 orang tewas, termasuk 376 ”teroris” Rohingya. Juga militer mengakui telah memberikan sanksi kepada tentaranya yang melakukan pelanggaran.
Richard Horsey, analis politik independen yang di Yangon, mengatakan, perkiraan MSF ”cukup mengejutkan”. Harus ada pertanggungjawabannya secara internasional.
Rohingya tidak diakui sebagai kelompok etnis di Myanmar dan secara sistematis telah kehilangan hak hukum mereka akibat tidak diakui sebagai warga negara, kecuali disebut kaum ”Bengali”.
Saya pikir jumlah yang disampaikan MSF itu jangan dianggap remeh, kata Mohammad Zuabir, guru beretnis Rohingya yang telah 25 tahun menjadi pengungsi di Bangladesh.
Sebelum krisis terakhir, Bangladesh sudah menampung ratusan ribu warga Rohingya yang melarikan diri dari gelombang penganiayaan sebelumnya.
”Saya pikir jumlah yang disampaikan MSF itu jangan dianggap remeh,” kata Mohammad Zuabir, guru beretnis Rohingya yang telah 25 tahun menjadi pengungsi di Bangladesh.
”Hampir setiap keluarga Rohingya setidaknya ada satu atau beberapa anggotanya yang tewas dalam kekerasan itu,” katanya.
Indonesia termasuk negara anggota ASEAN yang paling cepat memberikan bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi Rohingya di Bangladesh dan mendorong Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan atas minoritas Muslim tersebut. (AFP/REUTERS)