Aceh Utara dalam Ancaman Banjir Tahunan
Kabupaten Aceh Utara yang berada di pesisir timur utara Pulau Sumatera menjadi salah satu daerah yang sangat rentan terhadap bencana banjir di Provinsi Aceh. Pemicunya beragam, mulai dari intensitas hujan tinggi, kerusakan hutan, daya tampung sungai turun, infrastruktur buruk, hingga rendahnya kesadaran warga. Kerugian ekonomi akibat banjir di daerah itu diperkirakan mencapai Rp 70 miliar per tahun.
Jamilah (38), warga Desa Cot U Sibak, Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Kamis (7/12) pagi, tampak murung. Perempuan beranak tiga itu menerobos banjir yang menggenangi jalan di depan rumahnya dengan lesu.
”Gagal panen. Padi saya tenggelam. Banjir sudah seminggu tidak surut,” kata Jamilah. Ketinggian air di desa itu mencapai 1 meter. Rumah-rumah warga yang umumnya berkonstruksi kayu terendam.
Tanaman padi di sawahnya seluas 5.000 meter persegi seharusnya dua pekan lagi sudah bisa panen. Namun, banjir yang mulai merendam desa dan persawahan sejak Jumat (1/12) hingga Kamis (7/12) memupuskan harapan itu. Tanaman padinya terancam puso. ”Sepertinya tidak mungkin selamat. Walaupun selamat, padinya jelek,” ujar Jamilah.
Sebagai petani kecil, hasil sawah adalah satu-satunya harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, saat bencana datang, sumber pendapatan itu hilang. ”Saat ini beras pun tidak ada lagi dan terpaksa berutang kepada tetangga,” ujar Jamilah.
Derita serupa dialami Aswir (45), warga Desa Ceubrek, Kecamatan Lhoksukon. Saat ditemui di rumahnya pada Rabu (6/12) malam, dia mengaku, sejak banjir melanda, ia tidur di meunasah (mushala). Bukan hanya rumah, banjir juga merendam bengkel sepeda motor tempat dia mencari nafkah.
Sebagai petani kecil, hasil sawah adalah satu-satunya harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, saat bencana datang, sumber pendapatan itu hilang.
”Sejak banjir (melanda) tidak ada pemasukan. Tidak bisa bekerja, bengkel saya banjir,” kata Aswir.
Banjir bukan hanya menggenangi rumah, melainkan ”merampas” mata pencarian mereka. Bagi mereka, banjir sudah menjadi tamu akhir tahun menyapa desa. Mereka hanya bisa pasrah dan berharap banjir segera surut.
Tahun ini, banjir berlangsung cukup lama, lebih dari seminggu. Wilayah yang tergenang juga luas mencapai 19 kecamatan dari 27 kecamatan di Aceh Utara. Lebih dari 15.000 warga mengungsi, 6.971 hektar sawah terancam gagal panen, puluhan sekolah diliburkan, dan sejumlah infrastruktur publik rusak.
Ini bukan kali pertama Aceh Utara dilanda banjir parah. Pada Desember 2014, banjir menggenangi 23 kecamatan dan berlangsung selama dua minggu. Pendidikan terganggu, roda ekonomi lumpuh, dan pelayanan publik tersendat.
Lalu, pertanyaannya sejauh mana bencana itu dijadikan pelajaran?
Banyak pemicu
Dosen Ilmu Teknik Sipil Universitas Malikussaleh, Weslei, menuturkan, pembangunan belum mengakomodasi mitigasi bencana. Buktinya, infrastruktur mitigasi banjir tidak dibangun. Saluran pembuangan air tidak disiapkan secara integrasi. Akibatnya, saat banjir menggenangi permukiman, air bertahan lama sebab tidak ada saluran pembuangan.
Dalam penelitiannya yang berjudul ”Pengaruh Penggunaan Lahan dan Partisipasi Masyarakat Pengendalian Banjir di Aceh Utara” menyebutkan, banyak pemicu terjadinya banjir di kabupaten itu. Faktor pemicu di antaranya intensitas hujan yang tinggi, degradasi hutan, tidak adanya sistem drainase, dan minimnya partisipasi warga.
”Aceh Utara tidak memiliki sistem drainase yang terintegrasi. Salurannya putus-putus. Seharusnya saluran kecil di permukiman terhubung dengan saluran primer agar air dapat mengalir ke laut,” kata Weslei.
Aceh Utara tidak memiliki sistem drainase yang terintegrasi. Salurannya putus-putus. Seharusnya saluran kecil di permukiman terhubung dengan saluran primer agar air dapat mengalir ke laut.
Memang kawasan permukiman di Aceh Utara tidak memiliki saluran pembanguan air yang memadai. Seperti terlihat di kawasan Kecamatan Matang Kuli. Anak sungai di sepanjang jalan dengan lebar 1 meter terlihat dangkal dan penuh sampah sehingga menyebabkan air tidak mengalir lancar. Sementara di Kota Lhoksukon, parit tersumbat sampah pasar.
Weslei menambahkan, sebagai daerah yang memiliki intensitas hujan tinggi, banjir sukar dihentikan. Namun, dengan infrastruktur yang bagus, risiko banjir dapat ditekan. ”Tetapi saya lihat pembangunan belum mengarah ke sana. Artinya, bencana banjir tetap mengancam,” katanya.
Secara geografis, Aceh Utara berada di hilir pesisir utara Aceh, sedangkan hulunya berada di Kabupaten Bener Meriah. Banjir kerap melanda Aceh Utara merupakan air kiriman dari hulu. Kerusakan hutan di hulu juga memicu bencana hidrologi.
Hasil pemantauan Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA) pada periode Januari-Juni 2017, kerusakan hutan di Bener Meriah mencapai 728 hektar dan di Aceh Utara 18 hektar. Sementara jumlah temuan kayu ilegal di Bener Meriah 107 meter kubik dan di Aceh Utara 233 meter kubik.
Wakil Bupati Aceh Utara Fauzi Yusuf mengatakan, pemerintah telah bekerja keras untuk menanggulangi banjir. Namun, karena intensitas hujan yang tinggi dan lemahnya daya tampung sungai, membuat banjir sulit dihalau. Banyak tanggul sungai yang jebol setelah dihantam arus.
”Di Aceh Utara banyak sungai yang kewenangannya berada di bawah provinsi dan pusat. Pemkab tidak cukup anggaran untuk menormalkan sungai-sungai tersebut,” kata Fauzi.
Namun, kata Fauzi, Waduk Keureutoe di Kecamatan Paya Bakong akan menjadi solusi menangani banjir. Peletakan batu pertama pembangunan waduk itu dilakukan Presiden Joko Widodo pada 2015 dan ditargetkan rampung pada 2019. ”Kalau waduk sudah rampung, saya yakin banjir tidak separah saat ini,” kata Fauzi.