Bersampan 3,5 Jam demi Sinyal
Sepekan sekali, Julianus Sagulu (51) bersampan 3,5 jam dari kampungnya untuk mencari sinyal ke Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Harus bersampan ke Muara Siberut adalah jalan satu-satunya agar ia bisa menelepon anaknya yang bersekolah di Kota Padang Panjang, melepas rindu sekaligus mengecek kabar anaknya.
Julianus tinggal di Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, sekitar 7 kilometer dari Muara Siberut. Meski memiliki perangkat pintar berupa tablet, petani itu tak bisa berbuat banyak. Menelepon atau mengirimkan pesan dengan gawai miliknya menjadi hal yang mustahil di Bekkeiluk.
Dusun Bekkeiluk, di pedalaman Pulau Siberut, hingga kini belum terjangkau sinyal seluler. Listrik juga belum masuk. Untuk mengisi baterai gawai, warga memakai genset, dengan catatan ada bensin untuk menghidupkannya. "Di kampung, tablet ini hanya untuk mendengarkan musik. Jika mau menelepon, harus ke Muara Siberut karena hanya di sana ada sinyal," ujar Julianus, akhir November lalu.
Hingga kini, akses darat juga belum menembus Bekkeiluk. Untuk mencapai Muara Siberut, perjalanan harus melalui sungai. Saat arus besar, perjalanan ke Muara Siberut membutuhkan waktu 3,5 jam. Jika dangkal, dibutuhkan waktu 4 jam, bahkan bisa lebih.
Bagi Julianus dan warga Bekkeiluk lain, perjalanan ke Muara Siberut untuk bisa menelepon selama kurang dari 30 menit juga bukan hal sepele. Mereka harus membayar banyak ongkos.
Warga yang memiliki sampan menghabiskan bensin 10 liter untuk perjalanan pergi-pulang, atau sekitar Rp 100.000 jika harga bensin Rp 10.000 per liter. Bagi yang tidak punya sampan, perlu biaya Rp 200.000 pergi-pulang untuk sewa sampan. Anggaran itu belum termasuk biaya makan di Muara Siberut. Untuk penginapan, biasanya mereka menumpang di rumah kerabat.
Tidak hanya warga Bekkeiluk, warga Dusun Salappak, Desa Muntei, yang lebih dekat dengan Muara Siberut melakukan hal serupa. Boni Fasius Salaesek (50), warga Salappak, mengatakan, sebulan sekali ia perlu bersampan selama 30 menit ke Muara Siberut untuk menelepon dua anaknya yang bersekolah di Padang dan Makassar.
Anak-anak Boni terlebih dulu mengirim pesan ke kerabatnya di Muara Siberut. Pesan itu disampaikan kepada warga yang ke Salappak, lalu diteruskan kepada Boni. "Kalau ada pesan, biasanya mereka meminta uang. Saya ke Muara Siberut menyewa sampan sambil membawa babi untuk dijual," ucapnya.
Kalau ada pesan, biasanya mereka meminta uang. Saya ke Muara Siberut menyewa sampan sambil membawa babi untuk dijual
Mendaki bukit
Berbeda dari warga Bekkeiluk dan Salappak, warga Dusun Madobak, Desa Madobak, Siberut, memiliki cara berbeda. Mereka mendaki bukit untuk mendapatkan sinyal. "Di kampung tidak ada sinyal. Jika ada keperluan mendadak, kami mendaki bukit dulu. Itu perlu waktu satu jam. Itu pun sinyalnya terbatas," ujar Adrianus Sabaggalet (32), warga Madobak.
Adrianus mengatakan, jika ingin mendapatkan sinyal bagus, mereka juga harus ke Muara Siberut yang berjarak sekitar 19,3 kilometer. "Dulu kami berjalan kaki tiga jam ke Muara Siberut. Sekarang, setelah ada jalur Trans-Mentawai, bisa satu jam asalkan cuaca bagus. Kalau cuaca buruk, bisa berjam-jam," kata Adrianus.
Surat-menyurat juga masih diandalkan. Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Siberut Selatan Hijon Tasirilotik mengatakan, karena terkendala sinyal, koordinasi dengan kepala sekolah di Siberut Selatan lebih banyak menggunakan surat.
"Kalau yang di Muara Siberut masih bisa dikontak dengan telepon seluler. Namun, yang di hulu (sungai) tidak bisa. Jadi, harus berkirim surat seminggu sebelum rapat. Kami menitipkan surat kepada warga yang akan ke sana," kata Hijon.
Kalau yang di Muara Siberut masih bisa dikontak dengan telepon seluler. Namun, yang di hulu (sungai) tidak bisa.
Saat warga daerah lain bisa berkomunikasi dalam berbagai bentuk dari teks, audio, hingga video saat itu juga (real time), di Kepulauan Siberut komunikasi masih jadi masalah klasik yang tak kunjung tuntas. Kondisi serupa ditemui di Kepulauan Pagai. Satu-satunya wilayah yang sinyal selulernya bagus hanya di Kepulauan Sipora, pusat kabupaten.
Sampai Padang
Jika jaringan seluler saja sulit, apalagi internet. Hanya Kepulauan Sipora yang mendapatkan sinyal 3G. Di kepulauan lain, yakni Siberut dan Pagai, hanya ada 2G atau EDGE. Pada jaringan 2G, jangankan untuk membuka media sosial, laman daring saja sulit dibuka.
Hijon mengatakan, jaringan internet yang buruk di Mentawai membuat kepala sekolah di Siberut Selatan mesti ke Padang untuk mengirimkan laporan data pokok pendidikan, termasuk laporan dana operasional sekolah. Pergi ke Padang hanya perlu waktu tiga jam dengan kapal Fast Mentawai, yang tersedia tiga kali seminggu. Ke Sipora, ibu kota kabupaten, perlu lima jam, itu pun dengan kapal kayu yang baru ada dua kali seminggu. "Memang ada Wi-Fi, tetapi sulit sekali tersambung. Jadi, mau tidak mau harus ke Padang yang internetnya kencang," ujarnya.
Wi-Fi yang dimaksud Hijon adalah fasilitas bantuan Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang masuk Mentawai setahun terakhir. Menurut Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Mentawai Jhoni Anwar, saat ini total ada 105 titik Wi-Fi, khususnya untuk pelayanan kesehatan dan desa.
Di Dusun Salappak, misalnya, Wi-Fi dipasang di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) pembantu. Sementara di Dusun Madobak, jaringan Wi-Fi dipasang di salah satu gedung SMP. Namun, Wi-Fi tak bisa digunakan setiap saat. Di Salappak, Wi-Fi memakai tenaga surya. Jika hujan turun, tidak ada tenaga. Jika tidak ada energi surya, warga meminjam genset untuk menyalakan Wi-Fi. "Setelah menyala, juga terbatas karena Wi-Fi hanya untuk perangkat jenis tertentu," kata Ekkei Satoinong (30), warga Salappak.
"Kalau disuruh memilih, kami lebih meminta jaringan seluler, bukan Wi-Fi. Kalau Wi-Fi, yang pakai terbatas. Jaringan seluler bisa dipakai semua warga," kata Adrianus.
Menurut Jhoni, pihaknya terus berupaya mendorong perbaikan jaringan komunikasi di Mentawai. Tahun ini ada bantuan 28 base transceiver station (BTS) dari Kementerian Kominfo untuk area tanpa jaringan. Saat ini baru 13 BTS yang terpasang dan ditargetkan semua terpasang akhir tahun ini.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Provinsi Sumbar Yeflin Luandri menambahkan, Mentawai menjadi prioritas. Apalagi, Mentawai termasuk satu dari tiga wilayah kategori 3T, yakni terdepan, terluar, dan tertinggal, di Sumbar, selain Pasaman Barat dan Solok Selatan.
Menurut Yeflin, 13 BTS yang terbangun ditargetkan bisa aktif digunakan publik pada Januari 2018. Adapun 15 BTS lain akan mulai dibangun pada 2018.