Keraton Yogyakarta yang Semakin Terbuka
Keraton Yogyakarta secara resmi dibuka untuk wisatawan asing dengan masuknya rombongan wisatawan yang pertama. Mereka disuguhi acara-acara puncak pergelaran Srimpi di keraton, di Bangsal Ksatrian.
Tujuan dibukanya keraton untuk lebih memperkenalkan kegiatan kesenian keraton seperti tari-tarian, kerajinan tangan, dan sungging atau penatahan wayang kulit ke dunia luar. Terbukanya Keraton Yogyakarta diharapkan bisa menarik lebih banyak kedatangan wisatawan asing ke Yogyakarta.
Tarif masuk Keraton Yogyakarta ditetapkan sebesar lima dollar AS per orang. Biaya itu sudah termasuk hidangan makan siang dengan gaya keraton (duduk bersila). Tur keraton menjadi acara tetap dua kali dalam seminggu.
Berita tentang dibukanya pintu Keraton Yogyakarta sebagai salah satu tempat tujuan wisata itu ditulis harian Kompas yang terbit pada 15 Desember 1973 atau tepat 44 tahun lalu.
Keraton Yogyakarta yang didirikan tahun 1757 itu dalam perjalanan panjangnya selalu dinamis. Banyak kejutan yang muncul dari dan di dalam Keraton Yogya. Penguasa Keraton Yogyakarta bisa dikatakan sebagai sosok raja yang tidak cuma duduk di menara gading. Tanpa banyak cakap, keraton menjadi bagian dari derap kehidupan rakyat.
Sultan Hamengku Buwono IX atau HB IX, misalnya, tak hanya menjadi salah satu pendukung awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga menyilakan berlangsungnya kegiatan belajar-mengajar mahasiswa-dosen di keraton pada masa awal berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Perguruan tinggi yang kini berusia 68 tahun itu menggunakan ruangan-ruangan yang ada di keraton untuk kegiatan sehari-harinya, seperti di Sitihinggil dan Pagelaran. Baru pada 1973 seiring dengan selesainya pembangunan kampus UGM di Bulaksumur, Sitihinggil dan Pagelaran dipugar dan diserahkan kembali ke keraton (Kompas, 2 November 1973).
Para tokoh dunia pun menjadikan Keraton Yogyakarta sebagai salah satu tujuan kunjungan. Salah satunya Raja Boudewijn dan Ratu Fabiola dari Belgia yang mengunjungi keraton. Mereka disambut sekitar 500 prajurit keraton dipimpin BRM Prastowo (Kompas, 28 Oktober 1974). Selain bertemu HB IX, keduanya juga berkeliling keraton dan menonton pertunjukan wayang kulit yang kisahnya dipetik dari cerita Ramayana.
Keraton Yogyakarta juga semakin terbuka sebagai salah satu destinasi wisata para turis mancanegara mulai akhir 1973. Di sisi lain upacara-upacara adat tradisional pun tetap dilaksanakan, misalnya acara Gunungan yang diadakan setiap bulan Syawal.
Gunungan berbahan baku utama makanan yang dibentuk lancip seperti gunung itu setiap tahun menjadi salah satu acara yang dinanti-nanti rakyat Yogyakarta. Ke luar dari keraton, gunungan dikawal prajurit khusus keraton ke Alun-alun utara, lalu disambut tembakan salvo.
Ketika arak-arakan itu berlangsung, banyak warga sudah menunggu di halaman Masjid Agung. Gunungan yang kemudian dibawa ke Masjid Agung menjadi bahan rebutan karena sejumlah warga percaya, makanan dari gunungan itu merupakan berkah yang akan memberi pengaruh positif dalam kehidupan mereka (Kompas, 19 Oktober 1974).
Adapun di dalam keraton diadakan acara Ngabekten, yakni saat Sang Sultan berkenan menerima keluarga dan pegawai keraton menghadap raja. Biasanya Ngabekten diadakan di Bangsal Kencana dan tertutup untuk orang luar (Kompas, 24 September 1976).
Di samping itu, sebagian benda pusaka keraton yang biasanya hanya digunakan pada acara-acara tertentu kemudian juga bisa dinikmati rakyat. Misalnya kereta pusaka Kiai Jetayu dan Kiai Kutokoharjo ditampilkan dalam Festival Andong 1983. Dulu, kereta itu digunakan Sultan untuk meninjau keadaan di luar keraton.
”Kendaraan (kereta buatan pabrik Kuhisten, Berlin, Jerman) itu dikeluarkan dari garasinya di Pagedongan Rotowijayan dan dinaiki para joki dan sais yang berpakaian lengkap seperti tempo dulu,” demikian ditulis Kompas, 30 Oktober 1983.
Keluarga keraton pun tak menunjukkan dirinya ”eksklusif”. Sejak lama HB IX tak mensyaratkan putra-putrinya menikah dengan orang dari kalangan berdarah biru. Tahun 1974, misalnya, empat putra-putrinya memilih jodoh bukan dari kalangan bangsawan (Kompas, 6 April 1974).
BRM Herdjuno (HB X) menikah dengan Tati Drajat Supono, BRA Kuswardjanti memilih Mayor Kavaleri Subono, BRA Murjwati dengan Ir Sujono, dan BRA Murdijatun dengan Djoko Suprapto (Kompas, 15 April 1974 dan 21 Mei 1974). Untuk para pria menantunya itu, HB IX memberi gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT).
Tari dan Macapat
Sebagai pusat sosial-budaya, Keraton Yogyakarta menjadi salah satu tempat pendidikan tari bergaya Yogyakarta. Meskipun banyak tarian diciptakan para raja, rakyat biasa pun bisa mempelajarinya di keraton. Kompas, 7 Maret 1979, menulis, pendidikan tari di Keraton Yogyakarta meliputi seluruh aspek budaya. Tak sekadar belajar gerakan-gerakan tari, tetapi di sini juga diajarkan tata krama dan tata susila.
Meskipun tanpa sistematika, latihan dasar tari keraton biasanya terdiri dari dua bentuk, yakni Kalakinantang untuk tarian gagah dan Impur untuk tarian halus. Untuk kedua tahap itu, siswa harus belajar disiplin keras untuk menguasai tujuh unsur pokok gerak tari seperti arah pandangan (pandengan), gerak leher (pacak gulu), dan posisi tubuh merendah (mendhak).
Tari menjadi salah satu budaya keraton yang kemudian menyebar di tengah masyarakat. Keraton membuka diri untuk rakyat yang ingin belajar menari setiap hari, kecuali Kamis malam dan Jumat. Zaman keemasan tari keraton berlangsung pada era HB VIII. Selama 18 tahun bertakhta, tak kurang dari 11 kali pertunjukan besar wayang orang gaya Yogyakarta dipentaskan. Setiap kali pertunjukan berlangsung selama empat hari berturut-turut.
Tari gaya Yogyakarta pun semakin menyebar di luar tembok keraton. Pada 1918 pihak keraton membentuk organisasi Kridha Beksa Wirama untuk mengurusi penyebaran tari gaya Yogyakarta di luar keraton. Sayang, semakin hari, jumlah empu tari keraton terus menipis (Kompas, 20 November 1994).
Di samping tari, Macapat atau tembang Jawa juga diminati warga Yogyakarta. Jumlah siswa kursus Macapat yang diselenggarakan Sanggar Pamulang Sekar Macapat Kridha Mardawa Keraton Yogyakarta mulai tahun 2003 terus bertambah (Kompas, 2 November 2005).
Tahun 2003 jumlah peserta kursus Macapat tingkat I sekitar 20 orang, lalu naik menjadi 25 orang pada 2004 dan pada 2005 sekitar 30 orang. Setiap delapan bulan kursus Macapat membuka kelas baru. Ada tiga tingkat dalam kursus macapat ini, dengan jumlah peserta semuanya sekitar 50 orang.
Selain Macapat, keraton juga membuka tempat pengajaran aksara Jawa bagi masyarakat umum di Balai Sukawati (Kompas, 26 November 2005).
Pertunjukan
Keraton Yogyakarta juga menyediakan diri untuk berbagai pertunjukan yang sebenarnya tak ada kaitan langsung dengan tradisi dan urusan keraton. Hajatan Festival Seni Pertunjukan Rakyat tahun 1983, misalnya, diadakan di Pagelaran Keraton Yogya pada 22-26 Februari. Di sini pertunjukan seni dari sejumlah daerah tampil, seperti teater Wayang Gong dari Kalimantan Selatan (Kompas, 18 Februari 1983).
Meski Keraton Yogyakarta seakan identik dengan keberadaan masa kerajaan di Tanah Air dahulu kala, faktanya keraton mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Salah satunya bisa dilihat dari diadakannya Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1984 di Pagelaran Keraton Yogya (Kompas, 12 Mei 1984 dan 5 Agustus 1984).
Bagian dari kompleks Keraton Yogyakarta pada malam itu, Sabtu 4 Agustus 1984, tampak terang-benderang dan ramai orang. Lagu ”Indonesia Raya” mengalun. Panggung tak hanya diisi aktor dan aktris film, tetapi juga menampilkan prajurit keraton lengkap dengan tombak dan bedil kuno sebagai bagian dari perjalanan budaya bangsa.
Keramaian tak hanya muncul di Pagelaran, tetapi juga di Sitihinggil dan alun-alun utara. Warga Yogyakarta seakan ikut ”berpesta”, para pejabat negara yang hadir pun ditemani sang tuan rumah Sri Sultan HB IX.
Tahun 1993 ketoprak yang sebelumnya dikenal sebagai kesenian rakyat dipertunjukkan di Pagelaran Keraton Yogyakarta. Mengambil judul ”Mangkubumi Wisuda”, produksi kelompok Ketoprak Sapta Mandala Kodam IV Diponegoro pimpinan Bagong Kussudiardja ini bercerita tentang pendiri kerajaan pada 1755.
Rakyat pun turut menonton dan bersorak saat Pangeran Mangkubumi mendapat tombak pusaka Kiai Pleret dan mengawali dinasti Hamengku Buwono. ”Keraton ingin lebih terbuka, transparan,” demikian HB X seperti dikutip Kompas, 19 Januari 1993. Tak sekadar mengizinkan ketoprak naik panggung di lingkungan keraton, HB X turut menjadi supervisi tahap akhir penggarapan naskah lakon ini.
Dari arsip Kompas tercatat bahwa Keraton Yogyakarta juga menjadi tempat pemersatu dua aliran olahraga taekwondo di Tanah Air. Dua aliran itu, yaitu Federasi Taekwondo Indonesia (FTI) dan Persatuan Taekwondo Indonesia (PTI), menjadi Taekwondo Indonesia. Penyatuan dua aliran taekwondo ini penting agar cabang olahraga ini bisa dipertandingkan dalam PON tahun 1985 (Kompas, 3 April 1984).
Dipugar
Keterbukaan Keraton Yogyakarta sebagai tempat tujuan wisata semakin diperluas dengan pelestarian bangunan dan pemugaran yang dilakukan. Selain Keraton Yogyakarta, Keraton Paku Alam dan Kotagede juga menjadi bagian kota lama yang dilestarikan untuk tujuan wisata.
Tahun 1985 Yogyakarta tercatat dikunjungi 74.598 turis asing. Tahun 1986 (sampai November) jumlah turis asing meningkat menjadi 85.218 orang. Selama kunjungan mereka di Yogyakarta, 11 juta-13 juta dollar AS ditukarkan di sini (Kompas, 27 Februari 1987).
Pelestarian benda pusaka keraton juga dilakukan untuk naskah dan arsip kuno yang tersimpan di keraton. Naskah dan arsip kuno itu dipindahkan dalam bentuk tulisan dan mikrofilm. Untuk itu, Keraton Yogyakarta bekerja sama antara lain dengan Departemen Agama.
Sultan HB X dan Menteri Agama Munawir Sjadzali menandatangani kerja sama tersebut. Kerja sama ini terutama untuk menerjemahkan naskah kapujanggan keraton yang bernilai agama. ”Semuanya itu memiliki arti penting bagi kajian yang lebih luas tentang sejarah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa,” kata HB X seperti dikutip Kompas, 1 Juni 1990.
Keraton kembali berperan dalam memperluas tempat tujuan wisata dengan membuat dua museum, yakni museum wayang dan museum batik. Kedua museum itu memakai area bekas kandang kuda di belakang Regol Gapuro (Kompas, 3 Januari 1997).
Sebelumnya, tahun 1992 dibangun museum pribadi HB IX yang mengambil tempat di kantor konco silir (bagian listrik). Peresmian museum ini dilakukan bersamaan dengan ulang tahun ke-237 Keraton Yogyakarta (Kompas, 6 November 1992).
Pada 1996 Tamansari yang dibangun pada masa HB I sekitar tahun 1758 mulai diteliti untuk dipugar. Luas gugusan bangunan Tamansari yang terletak di samping keraton itu sekitar 12 hektar. Kompleks Tamansari sempat bertahun-tahun dihuni warga yang membangun rumah permanen.
Kegiatan lain yang bisa dilakukan wisatawan di sekitar keraton adalah Jemparingan atau panahan tradisional. Di Kampung Langenastran, Kelurahan Panembahan, Kecamatan Keraton, dengan memakai pakaian tradisional lengkap dengan belangkon atau ikat kepala, kita bisa turut menarik panah dari gendewa (Kompas, 2 April 2017).
Di kampung ini pula terdapat bangunan lama yang dilestarikan, seperti Dalem Madukusuman, Masjid Margoyuwono, Dalem Drajaten, Dalem Supraban, Pendopo Yudaningrat, dan Pendopo Prabantaran.
Abdi dalem
Bagi sebagian warga Yogyakarta, kharisma keraton menjadi pilihan hidup untuk mengabdi. Para prajurit keraton, misalnya, mengabdikan dirinya secara sukarela. Sebagian di antara mereka menjadi abdi dalem keraton secara turun-temurun. Ada sekitar 2.000 abdi dalem di Keraton Yogyakarta (Kompas, 1 Agustus 2004).
Kapan pun diperlukan mereka siap dengan pakaian seragam masing-masing. Ada di antara mereka yang berjalan kaki, menggowes sepeda, atau bersepeda motor (Kompas, 28 Oktober 1974). Dekat ataupun jauh rumahnya, tak ada suara mengeluh yang terdengar. Bisa mengabdi di keraton saja menjadi berkah bagi mereka.
Salah seorang di antaranya adalah Kanjeng Mas Temanggung (KMT) Projosuwasono yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri di Kabupaten Bantul. Di lingkungan keraton, tugasnya adalah mengelola Sanggar Pamulangan Krido Mardawa, tempat masyarakat belajar Macapat dan membaca aksara Jawa di Balai Sukawati (Kompas, 26 November 2005).
Hal serupa dinyatakan Yudowilogo yang ditemui di Bangsal Magangan, sisi selatan keraton. Pria berusia 82 tahun itu sudah 22 tahun menjadi abdi dalem. Tugasnya menjaga keamanan dan membunyikan lonceng pada jam-jam tertentu. Upahnya hanya Rp 7.000 per bulan, tetapi menurut dia, kepuasan batinnya tak bisa dibandingkan dengan apa pun.
Di sisi lain, kemurahan Sultan Yogyakarta juga pernah diselewengkan. Salah satunya pada pelaksanaan Sekaten, perayaan tradisional untuk menyambut hari lahir Nabi Muhammad SAW ini biasanya diadakan di Alun-alun Utara (Kompas, 2 Januari 1980). Sekaten bagi warga Yogyakarta juga berarti pasar malam.
Pada Sekaten 1982, sebagian alun-alun tempat warga berjualan itu diborong calo, yang kemudian menaikkan harga sewa sampai dua kali lipat kepada warga yang ingin berdagang selama Sekaten berlangsung sekitar sebulan.
”Kasihan perajin kecil, yang mau menjajakan hasil produksinya, terpaksa menyewa tanah lebih mahal,” kata Wali Kota Yogyakarta Soegiarto yang dikutip Kompas, 27 November 1982.
Dinamika Keraton Yogyakarta akan terus berlangsung seiring kehidupan sang raja bersama rakyatnya. Bagi Indonesia, Sultan tidak hanya berjasa bagi warga Yogyakarta. Kompas, 29 Juni 1991, antara lain menulis, ”Tanpa ragu HB IX menggunakan kekayaan keraton miliknya untuk membantu tegaknya RI. Oleh karena itulah, pengabdiannya bagi bangsa Indonesia memiliki bobot yang tinggi.”
Salah satu ucapan HB IX yang dikenang orang antara lain muncul pada pidato pelantikannya sebagai sultan pada 18 Maret 1940.
”... sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa. Maka, selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam keraton yang kaya akan tradisi ini” (Kompas, 23 April 1994).